Rabu, 24 July 2013 (sumber : Haluan Kepri)
Imbas Tata Niaga Hortikultura
BATAM (HK) - Tata niaga impor hortikultura oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian berakibat lahirnya monopoli impor. Akibatnya, perusahaan yang telah mengantongi izin impor menjual kuotanya kepada pengusaha lain dengan fee Rp40 juta per kontainer.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Ir Cahya, Selasa (23/7) menyebutkan, ia bertemu dengan sejumlah pengusaha yang telah lama bermain di sektor impor hortikultura. Mereka mengadu ke Apindo terkait sulitnya mendapatkan RIPH (rekomendasi impor produk hortikultura) dari pemerintah pusat.
"Mereka pemain lama loh. Sesuai aturan pemerintah, mereka urus surat ijinnya di Badan Pengusahaan Batam, akan tetapi RIPH sampai sekarang tak turun-turun, jadinya mereka tak bisa impor. Padahal mereka sudah mengikuti semua prosedur yang ada, semua izin sudah diurus, tinggal RIPH ini. Sementara, yang mendapatkan izin impor dan telah melakukan impor hanya satu perusahaan, itupun tidak murni pengusaha Batam, melainkan Jakarta. Artinya, dengan tata niaga impor hortikultura yang baru telah melahirkan monopoli impor," tegas Cahya.
Cahya juga telah menyampaikan permasalahan ini ke salah satu pejabat BP Kawasan Batam, namun merekapun mengaku tidak bisa berbuat banyak karena RIPH dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Malahan saat ini, lanjut Cahya, pelaku impor dari Jakarta banyak yang menawarkan ijin kuota untuk importir-importir Batam dengan fee per kotainer Rp40 juta. "Ini gila, masak mereka nawarin izin kuota dengan fee Rp40 juta per kontainer," ujar Cahya.
Karena itu, Cahya meminta BP Batam dan Dewan Kawasan untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. Apabila dibiarkan berlarut-larut, akan berdampak pada kelangkaan kebutuhan pokok di Batam, terutama produk-produk yang selama ini impor.
"Ini ironis ya, padahal kita punya UU FTZ yang mana semua barang konsumsi boleh masuk ke Batam dengan seizin BP Batam, tetapi dengan PP ini kita kesulitan memasukan kebutuhan pokok. Tak heran harga-harga mahal, karena yang bermain cuma satu, monopoli namanya," ujar Cahya.
Dalam hal ini, Cahya juga meminta Ketua DK FTZ untuk tegas dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di Kepri, khususnya BBK. "Masalah sudah banyak seperti ini tidak bisa kita cincai-cincai saja dengan pemerintah pusat, harus tegas. Janganlah kita dikebiri begini, apa artinya FTZ kalau harga kebutuhan pokok melambung seperti sekarang," pungkas Cahya. (pti)
BATAM (HK) - Tata niaga impor hortikultura oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian berakibat lahirnya monopoli impor. Akibatnya, perusahaan yang telah mengantongi izin impor menjual kuotanya kepada pengusaha lain dengan fee Rp40 juta per kontainer.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Ir Cahya, Selasa (23/7) menyebutkan, ia bertemu dengan sejumlah pengusaha yang telah lama bermain di sektor impor hortikultura. Mereka mengadu ke Apindo terkait sulitnya mendapatkan RIPH (rekomendasi impor produk hortikultura) dari pemerintah pusat.
"Mereka pemain lama loh. Sesuai aturan pemerintah, mereka urus surat ijinnya di Badan Pengusahaan Batam, akan tetapi RIPH sampai sekarang tak turun-turun, jadinya mereka tak bisa impor. Padahal mereka sudah mengikuti semua prosedur yang ada, semua izin sudah diurus, tinggal RIPH ini. Sementara, yang mendapatkan izin impor dan telah melakukan impor hanya satu perusahaan, itupun tidak murni pengusaha Batam, melainkan Jakarta. Artinya, dengan tata niaga impor hortikultura yang baru telah melahirkan monopoli impor," tegas Cahya.
Cahya juga telah menyampaikan permasalahan ini ke salah satu pejabat BP Kawasan Batam, namun merekapun mengaku tidak bisa berbuat banyak karena RIPH dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Malahan saat ini, lanjut Cahya, pelaku impor dari Jakarta banyak yang menawarkan ijin kuota untuk importir-importir Batam dengan fee per kotainer Rp40 juta. "Ini gila, masak mereka nawarin izin kuota dengan fee Rp40 juta per kontainer," ujar Cahya.
Karena itu, Cahya meminta BP Batam dan Dewan Kawasan untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. Apabila dibiarkan berlarut-larut, akan berdampak pada kelangkaan kebutuhan pokok di Batam, terutama produk-produk yang selama ini impor.
"Ini ironis ya, padahal kita punya UU FTZ yang mana semua barang konsumsi boleh masuk ke Batam dengan seizin BP Batam, tetapi dengan PP ini kita kesulitan memasukan kebutuhan pokok. Tak heran harga-harga mahal, karena yang bermain cuma satu, monopoli namanya," ujar Cahya.
Dalam hal ini, Cahya juga meminta Ketua DK FTZ untuk tegas dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di Kepri, khususnya BBK. "Masalah sudah banyak seperti ini tidak bisa kita cincai-cincai saja dengan pemerintah pusat, harus tegas. Janganlah kita dikebiri begini, apa artinya FTZ kalau harga kebutuhan pokok melambung seperti sekarang," pungkas Cahya. (pti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar