| | |
Written by ARHAM , Tuesday, 23 February 2010 08:59 (sumber Batam Pos,versi asli) |
Good News, ya Good News SESI paling menarik bagi peserta workshop termasuk saya, adalah saat membedah sudut pandang media dalam mengomunikasikan kebebasan berserikat dan perundingan bersama. Spesialis media internasional dari Amerika Serikat, Eric May kelihatannya mencoba untuk menggali persepsi pengusaha terhadap pemberitaan media di Indonesia. Ia langsung menunjuk satu persatu peserta workshop, khususnya dari pengusaha supaya mau memberikan pandangannya mengenai apa saja tentang media. Sedangkan peserta dari media atau wartawan, hanya mendengarkan saja. Pengusaha yang terdiri dari anggota Apindo memang sangat antusias mengemukakan pendapatnya. Mereka kelihatannya sudah lama menunggu momen seperti ini untuk mengungkapkan perasaannya terhadap media. Poin-poin persepsi mengusaha terhadap media dengan cepat memenuhi papan tulis yang digunakan Eric untuk merangkum satu persatu dari pendapat mereka. Wartawan dan media yang memelototi poin-poin itu hanya bisa bergeming dan geleng-geleng kepala. Eric pun mencoba memberikan pengertian pada wartawan supaya menyimpan dulu apa pun persepsi mereka terhadap pengusaha. Hasilnya, setelah dirangkum-rangkum oleh Eric, ternyata pengusaha Indonesia merasa mereka sering disudutkan oleh media melalui pemberitaan. Banyak sekali berita yang dari persepsi pengusaha, sangat tidak lengkap. Seringkali terjadi salah pengertian antara pengusaha dan wartawan dalam memberitakan sesuatu. Wartawan juga dinilai susah sekali untuk mengekspos kemajuan-kemajuan dan kebaikan dari pengusaha. Mereka merasa sudah berjuang dan melakukan berbagai cara untuk kelangsungan usaha mereka, namun itu dianggap tidak ada nilainya bagi wartawan. Memerhatikan poin-poin itu, Eric terlihat mengangguk-angguk sembari tersenyum-senyum. Pengusaha pun terlihat begitu puas mengungkapkan perasaannya di dalam forum yang dihadiri para wartawan media nasional dan terkemuka itu. Secara umum media di dunia bahkan cenderung pemberitaannya menjadi seragam. Di Amerika Serikat yang mempunyai lebih kurang 3.000 media, terkesan pemberitaannya hanya dikendalikan oleh empat atau lima grup besar saja. Tak jauh beda dengan Indonesia, yang secara nasional juga cenderung menggarap berita yang sama. Kondisi itu bisa diperparah dengan kepemilikan silang yang dilakukan oleh para pemain besar media. Untuk menjawab masalah itu, menurut Eric, tidak banyak cara kecuali para wartawan maupun pengusaha yang mempunyai staf kehumasan, mau mengubah persepsi atau perspektif mereka terhadap suatu berita. Lebih menukik lagi, Eric menekankan pentingnya sudut pandang (engle ataupun slant) dalam memperlakukan sesuatu informasi ataupun berita. Berita dalam pandangan Eric, bukanlah persoalan besar atau masalah yang sangat rumit. Berita adalah cerita tentang bagaimana masyarakat biasa yang terkena dampak adanya persoalan besar atau masalah yang sangat rumit. Untuk mengidentifikasi sudut cerita yang menarik, maka media harus menemukan masyarakat biasa yang terkena dampak langsung dari persoalan. Lalu buatkanlah bingkai ceritanya yang terkait dengan mereka. Paling penting yang diingatkan Eric, jangan menanyakan cerita itu tentang ”apanya”, tapi tanyakanlah cerita itu tentang siapanya (who). Ia merincikan kunci yang membuat suatu cerita menjadi menarik bagi pembaca. Pertama, media cetak harus menyentuh kemanusiaan atau perasaan manusia. Kedua, penyampaian ceritanya harus menggambarkan masyarakat biasa yang terkena dampak persoalan besar, menyampaikan bagaimana masyarakat biasa bereaksi terhadap situasi yang luar biasa, atau sesuatu yang dapat membuat pembaca bertanya-tanya: Bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri saya? Ketiga, berita juga sudah pasti menyangkut sesuatu yang baru. Dia adalah sesuatu yang tidak biasa atau keluar dari stereotipe pada umumnya. Keempat, cerita tentang suatu hal yang menyentuh kehidupan masyarakat biasa secara langsung. Khusus media cetak, Eric memberikan sedikit tips supaya sesuai dengan keinginan pembacanya. Bahwa media cetak hendaknya memuat para ahli yang mampu berbicara tentang sesuatu persoalan secara mendalam. Cetak juga harus memiliki opini yang kuat dan mendalam yang tidak bisa diperoleh masyarakat pembaca melalui media televisi, radio, dan online. Sedangkan kelemahan bagi reporter baru yang diturunkan media ke lapangan, menurut Eric, seringkali pertanyaannya tidak spesifik saat melakukan wawancara. Pertanyaan yang dilontarkan jarang bersifat langsung, serta kebanyakan melontarkan pertanyaan yang tidak jelas dan bertele-tele. Seorang reporter muda, ia juga menyarankan supaya membangun sebuah kepercayaan dengan cara persuasi. ”Reporter harus bersifat persisten,” ujar warga Oregon AS ini. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Hariyanto turut memperkaya apa yang disampaikan Eric. Ia mengemukakan kelemahan kebanyakan media di Indonesia, adalah space yang terbatas yang tidak diimbangi liputan mendalam. ”Media juga harus take and give,” ujar bekas wartawan majalah Forum ini. Isu perburuhan dan ketenagakerjaan seharusnya dikemas dengan isu-isu yang menarik. Media juga harus menyampaikan kisah-kisah kesuksesan buruh migran dan TKI di luar negeri. Tidak melulu kisah-kisah tentang penderitaan mereka. Media tidak seharusnya menggambarkan perjuangan buruh migran yang selalu murung. Kisah-kisah keberhasilan yang inspiratif, harus diberi tempat yang memadai di media. ”Jika bad news adalah good news bagi media, maka good news, ya tetap harus good news,” paparnya. Alur pemberitaan TKI di luar negeri, bahkan dengan mudah bisa ditebak. Menurut Ignatius, biasanya hanya diawali dengan kesedihan, lalu wartawan bertanya soal komitmen pemerintah, namun tanpa ending yang jelas. Berita seperti itu sangat membosankan dan tidak memberikan harapan. ”Mestinya diberikan juga perspektif yang indah-indah tentang mereka,” tegasnya. Ia menyarankan kepada peserta workshop dari media supaya juga mencoba memahami masalah-masalah yang kompleks. Bukan hanya fokus kepada ”gebuk-gebuk” ataupun konflik fisik. ”Kenapa tidak melihat lebih dalam tentang suatu persoalan?” kata Ignatius mengingatkan media. (bersambung) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar