Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Selasa, 23 Februari 2010

Catatan Workshop ILO untuk Pengusaha dan Media (1)





Written by ARHAM ,
Monday, 22 February 2010 09:30 (simber Batam Pos,versi asli)

Outsourcing Jadi Tren

PEKAN lalu, koran ini diundang khusus oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) PBB untuk membahas kebebasan berserikat dan perundingan bersama bagi pekerja.

Saya menyebutnya khusus, karena Batam Pos satu-satunya media luar Jakarta yang didaulat ke workshop yang digelar di Lumire Hotel Convention Centre (dulu bernama Aston Atrium) di bilangan Senen Raya.

Peserta dari pengusaha juga dibatasi. Hanya 15 orang dari anggota Apindo. Satu-satunya yang diajak hadir dari luar Jawa adalah anggota Apindo Sumatera Utara. Laksamana, teman dari Medan itu mengaku tertarik hadir ke forum ini karena bisa bertatap muka langsung dengan wartawan, dengan harapan bisa menggali persepsi mereka terhadap dunia usaha di Indonesia.

Membaca undangan yang dikirimkan ILO, saya sebenarnya kurang tertarik, apalagi yang namanya membahas masalah pekerja dan buruh. Di Batam, topik satu ini sudah menjadi rutinitas akhir tahun yang membosankan. Memasuki bulan Februari 2010 saja, masalah Upah Minimum Kota (UMK) Batam belum bisa tuntas.

Tapi saat menghadiri forum ILO, ketidaktertarikan saya itu berubah 180 derajat. Sebagai organisasi pekerja yang bernaung di bawah PBB, ILO justru berupaya untuk mencairkan kebekuan-kebekuan antara pengusaha, pekerja, dan media. Penekanannya, terutama menyangkut kebebasan berserikat dan perundingan bersama antara pekerja dan pengusaha. Organisasi ini tidak semata-mata targetnya memperjuangkan kepentingan pekerja. Tentu saja dengan alasan, memperjuangkan kepentingan pengusaha akan sama pentingnya dengan membela hak-hak pekerja.

Kondisi di tiap negara sebenarnya cukup berbeda. Di Tanzania, training ILO semacam ini justru bermitra dengan pemerintah. Di Paraguay, ILO bermitra dengan serikat pekerja. Sedangkan di Indonesia, training yang dibiayai Norwegia ini bermitra dengan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Apindo bagi ILO adalah organisasi pengusaha yang kuat di Indonesia. Apindo dianggap berperan strategis dalam perundingan terkait pekerja.

Pada era sebelum reformasi, banyak sekali aktivis buruh dan pekerja yang ditahan. Namun seiring bergulirnya reformasi, pada tahun 1998 pengusaha dan pemerintah Indonesia akhirnya mengadopsi inti hak-hak asasi manusia di tempat kerja. Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dan konvensi ILO Nomor 98 tahun 1949 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Perundingan Bersama. Hingga tahun 2000 lahirlah UU Nomor 21 tentang Serikat Buruh/Serikat pekerja dan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pengesahan dua UU itu, menurut Lusiana Julia dari ILO Jakarta, menimbulkan kekuatiran yang tidak perlu bagi pengusaha. Satu contoh, pengusaha menganggap aturan tiap 10 pekerja bisa membentuk satu serikat pekerja di perusahaan, sebagai sesuatu yang menakutkan.

”Ada pula kewajiban bagi perusahaan untuk menyediakan sekretariat bagi mereka untuk rapat,” ungkap Djimanto, Ketua Dewan Pengurus Nasional Apindo bidang Organisasi Pengembangan Daerah. Sehingga kedua UU itu kontraproduktif dengan kondisi dan kemampuan pengusaha Indonesia.

Lebih sangar lagi, menurut Djimanto, UU itu membolehkan pekerja/buruh untuk menuntut kepemilikan saham di perusahaan. Masalah ini makin rumit setelah UU Perseroan melarang kepemilikan saham kosong.
Tetapi Lusiana tetap saja menganggap kekuatiran pengusaha itu sesuatu yang berlebihan. Ia yakin kemajuan-kemajuan yang telah dicapai Indonesia di bidang ketenagakerjaan tidak akan merugikan pengusaha. Sebagai contoh, meski dibolehkan tiap 10 pekerja membentuk satu serikat, satu perusahaan di Indonesia kini paling banyak memiliki dua sampai tiga serikat pekerja.

Katherine Torres dari ILO Jenewa yang menghadiri workshop, juga menilai aturan tiap 10 pekerja boleh membentuk satu serikat pekerja, bukanlah sesuatu yang berlebihan. ”Dalam banyak kasus, ILO berpendapat, aturan pembentukan serikat pekerja oleh 50 orang cukup berlebihan. Tapi, kalau hanya 10, itu tidak berlebihan,” tegasnya.

Contoh lain tidak terjadinya kekuatiran pengusaha, dari 28 juta pekerja formal Indonesia, baru sekitar 3 juta atau sekitar 10 persen saja yang sudah tergabung dalam serikat pekerja atau buruh. Padahal menurut ketentuan konvensi ILO, semua pekerja formal maupun informal harus mendapat perlindungan.
Lusiana juga menyebutkan pelanggaran hak kebebasan berserikat di sektor swasta Indonesia tidak terlalu sering terjadi. Yang lebih banyak terjadi justru di perusahaan-perusahaan milik pemerintah.
Secara khusus ia menyoroti banyaknya pelanggaran di daerah zona ekspor seperti Batam. Banyak sekali bentuk kontrak kerja yang tidak jelas. Pekerja subkontrak (outsourcing) sering menimbulkan masalah bagi pekerja.

Tetapi bentuk apapun model perjanjian kerjanya, bukanlah masalah asalkan ada niat dari pekerja bersangkutan untuk membentuk serikat pekerja. Walau apapun bentuk lembaga serikat pekerja itu.
Outsourcing bagi Lusiana, hanyalah efek dari sebuah globalisasi ekonomi. Model ini akan semakin tren di era pasar bebas ASEAN-China. ”Outsourcing sah-sah saja, tidak akan merugikan pekerja, asal hak-haknya mereka tetap terbela melalui serikat yang dibentuk,” ujarnya memberi solusi. (bersambung)

1 komentar:

  1. Outsourcing bagi Lusiana, hanyalah efek dari sebuah globalisasi ekonomi. Model ini akan semakin tren di era pasar bebas ASEAN-China. ”Outsourcing sah-sah saja, tidak akan merugikan pekerja, asal hak-haknya mereka tetap terbela melalui serikat yang dibentuk,” ujarnya memberi solusi.

    yg saya tau OUTSOURCING selalu merugikan kaum buruh. Buktinya banyak sekali demo kaum buruh OUTSOURCING yg merugikan pengusaha

    BalasHapus