| | |
Written by Redaksi , Monday, 19 April 2010 07:54 (sumber Batam Pos,versi asli) |
Arief bergegas membuka pintu kiri depan mobilnya, saat Batam Pos melambaikan tangan, di depan terminal kedatangan Bandara Hang Nadim, Jumat (9/4) petang. ”Ke mana, Bang?’’ tanya pengemudi taksi resmi bandara itu. Setelah diberitahu tujuannya ke Tiban, Arief menyergah, ‘’Rp80 ribu,’’ katanya. Ia lantas menunjukkan selembar kertas putih berisi tarif taksi sesuai daerah tujuan di dalam Kota Batam. ‘’Ini daftar tarif sesuai kesepakatan supir taksi bandara,’’ ujarnya. Ditanya, kenapa tidak menggunakan argo, bukankah Pemerintah Kota Batam sudah menerapkan tarif berargo untuk taksi resmi di bandara dan pelabuhan internasional? Sembari tertawa, pria asal Sumatera Barat yang sudah lima tahun mengemudi taksi resmi Hang Nadim itu menjawab, ‘’Itu kan hanya untuk syarat KIR saja. Kalau mau bawa penumpang tetap seperti biasa,’’ katanya sambil memegang argometer di dashboard mobil Corolla miliknya, yang tidak menyala. Menurut Arief, sejak sistem argo diberlakukan Pemko Batam tanggal 1 Maret lalu, hampir semua penumpang menolaknya. Indra, supir taksi milik Koperasi Pengemudi Taksi Domestik Sekupang (KPTDS), yang ditemui di depan perumahan mewah Bukit Indah Sukajadi, Kamis (8/4), juga mengeluhkan hal serupa. Para supir, kata dia, harus mengikuti keinginan penumpang. ”Kalau kita paksakan pakai argo, nanti tidak dapat penumpang,’’ katanya. Dari 167 armada taksi khusus Hang Nadim, seluruhnya sudah memasang argometer. Tapi, kata Arief, tak ada supir yang mengaktifkannya saat menaikkan penumpang. ‘’Mati semua. Lumayanlah buat asesoris mobil,’’ katanya terkekeh. Ketua Ikatan Pengemudi Taksi Bandara Ardi Oyong membenarkan bahwa argometer di taksi hanya pajangan belaka. “Kami tak bisa memaksa mereka. Nanti kalau kami paksa semua harus pakai argo, kami tak dapat penumpang,” kata Oyong, Selasa (6/4). Bukankah itu melanggar aturan? Oyong mengatakan, sebenarnya semua anggotanya siap beroperasi dengan argometer. ”Masalahnya bukan kami yang tak mau, tapi calon penumpangnya,’’ katanya. Pernah, katanya, ia membawa penumpang dari Pelabuhan Punggur ke Nagoya. Namun saat melintas di Simpang Kabil, penumpangnya minta turun dengan alasan akan dijemput temannya. ”Saya kira bukan karena dijemput temannya, tapi karena penumpang itu keberatan melihat tarif argo yang terus berjalan,” tuturnya. Tanda-tanda kegagalan penerapan taksi argo sebenarnya sudah terlihat jauh-jauh hari. Setidaknya, ada dua indikasi yang bisa dibaca. Pertama, pelaksanaannya tertunda selama empat kali. Penyebab utama penundaan ada di Dinas Perhubungan sebagai pelaksana teknis. Instansi ini tidak siap. Rencana pertama akan diterapkan mulai Juli 2009, kemudian mundur ke 1 Januari 2010. Pada akhir tahun 2009, Kepala Dinas Perhubungan Kota Batam, Muramis dengan berapi-api menjelaskan, program taksi argo akan lancar jaya. ”Rencana ini harus jalan. Tidak ada istilah mundur lagi. Kalau mundur atau batal lagi, berarti gagallah selamanya. Tidak akan pernah taksi di Batam pakai argo. Karena ini momentum yang paling tepat. Tanggal 1 Januari 2010 nanti sudah bisa jalan,’’ kata Muramis dalam wawancara dengan Batam Pos, pertengahan Desember 2009. Setelah 1 Januari terlampaui tanpa realisasi, Dishub memasang target baru 1 Maret 2010. Walau sempat ada seremoni peluncuran taksi argo di pelataran terminal kedatangan Hang Nadim oleh Wakil Wali Kota Batam Ria Saptarika, hasilnya sama saja: para supir ogah menghidupkan argometer di mobil mereka. Tenggat baru pun dibuat lagi: 1 April 2010. Lalu bagaimana kenyataannya kini? “Baru sukses dalam pemasangan argometer. Pelaksanaan di lapangan belum. Masih banyak taksi yang berargo, tapi (masih) beroperasi seperti angkot,” kata Ketua DPC Organda Batam Mulawarman. Tanda kedua adalah ketidaksiapan Dishub menguasai situasi di lapangan. Lingkungan di Batam tidak -atau belum- mendukung penerapan taksi berargo. Misalnya, untuk jarak Batam Center-Nagoya, dengan naik sistem ketengan seperti yang berlaku selama ini, meski harus berdesak-desakkan, penumpang hanya membayar Rp6.000. Tapi dengan taksi argo, untuk buka pintu saja, penumpang sudah kena biaya Rp5.000 ditambah beban per kilometer Rp3.500. ”Kalau untuk keperluan rutin berangkat dan pulang kerja harus naik taksi argo mana kita sanggup. Lebih baik yang ketengan, murah,’’ kata Fadhil, karyawan bank perkreditan rakyat di Nagoya, yang tinggal di Perumahan Marcelia. Sebelum mewajibkan seluruh taksi menerapkan tarif sistem argo, seharusnya Dishub memikirkan dulu nasib orang-orang seperti Fadhil ini. Tapi itu tak dilakukan. Pasalnya, ukuran kesuksesan yang dipakai Dishub adalah berapa banyak taksi yang sudah memasang argometer, bukan pada pelaksanaannya. Pada jalur-jalur tertentu, hingga kini, terlihat betapa Pemko Batam tidak siap. Pada rute Sekupang-Jodoh, umpamanya, sejauh ini belum ada angkutan kota yang melayani rute itu. Di jalur lain, meski sudah ada angkutan kota, kondisinya masih jauh dari harapan. Belum pantas untuk diberi label layak. Jumlahnya juga terbatas. Bayangkan apa yang terjadi, jika taksi tak bisa diecer lagi, sementara angkot tak ada pula, warga dengan kemampuan ekonomi pas-pasan yang hendak berangkat kerja dan sekolah menumpuk di pinggir jalan? Pemerintah akan dituding menelantarkan rakyatnya. Bila situasi seperti ini terus berlangsung, dan tak bisa diatasi Dishub, hanya ada dua kemungkinan yang bakal berlaku. Pertama, taksi sistem ketengan terus berlangsung, meski seluruh armada taksi sudah dipasangi argometer, dan itu sudah terjadi saat ini. ”Daripada taksi kehilangan penumpang,’’ kata Ketua Organda Batam Mulawarman. Razia taksi berargo yang digelar Dishub tak akan ada manfaatnya. Kemungkinan kedua, taksi plat hitam makin membeludak, Mulawarman menilai Dishub tak tanggap membaca situasi. “Padahal, kalau kami diminta untuk mengisi kekosongan jalur itu, kami siap. Anggota kami pasti mau,” katanya. Kadis Perhubungan Muramis berjanji akan mengisi jalur-jalur kosong, seperti Sekupang-Jodoh tersebut dengan angkutan alternatif, dalam waktu dekat. “Sekarang sudah ada pengusaha yang melakukan survei. Nanti pasti akan kami isi,” ujarnya. Ia mengakui penerapan argometer belum maksimal. Dengan jumlah taksi berargo yang kini mencapai 1.145 taksi, kata Muramis, ia yakin di akhir bulan nanti semua taksi di Batam sudah berargo. Bandara Hang Nadim, Pelabuhan Internasional Sekupang dan Batam Center sudah berargo 100 persen. “Dari tujuh pelabuhan di Batam, rata-rata 80 persen lebih sudah berargo,” kata Muramis. Blue Print Pemko Batam sebetulnya sudah memiliki cetak biru atau blue print sistem transportasi di Batam untuk tahun 2004-2025. Menurut Asisten Ekonomi Pembangunan Pemko Batam Syamsul Bahrum, sistem transportasi Batam dibagi dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk jangka menengah, misalnya, angkutan kota seperti mikrolet tak boleh beroperasi di jalur-jalur jalan arteri. Mikrolet hanya boleh beroperasi di kawasan permukiman. Di Batam misalnya, mikrolet harusnya hanya beroperasi di kawasan seperti Batuaji, Sagulung, dan permukiman lain yang jauh dari jalan raya. Sementara di jalan raya, hanya boleh ada bus-bus besar dengan sistem zonasi. Sementara untuk jangka panjang, Batam membutuhkan ruas-ruas jalan tol dan transportasi massal seperti monorel. ”Hanya saja, monorel ini baru bisa jalan kalau penduduk Batam sudah sekitar 3 hingga 5 juta jiwa,” tukas Syamsul, Senin (5/4). Saat ini, katanya, transportasi umum di luar taksi, yang ideal di Batam sesuai hasil kajian tersebut adalah bus-bus sedang dengan kapasitas 20 kursi. Bus-bus inilah yang mestinya beroperasi di jalan-jalan raya Batam. ”Saya tak tahu bagaimana rencana teman-teman di Dinas Perhubungan, tapi mestinya bus-bus sedang itulah yang sekarang beroperasi,” katanya. Bahkan seandainya biaya operasional bus massal itu lebih besar dari pendapatannya, pemerintah berkewajiban memberikan subsidi. ”Seperti Bus Pilot Project (BPP) Batam misalnya, setiap tahun kan disubsidi APBD,” kata Syamsul. Carut-marutnya sistem transporasi di Batam, seperti penerapan argometer pada taksi yang belum maksimal, karena penerapannya masih dalam masa transisi. Di sisi lain, masyarakat masih memandang taksi sebagai sebuah angkutan umum, seperti tahun-tahun lalu. Yang bisa dilakukan Pemko Batam saat ini, kata Syamsul, adalah dengan tak lagi menambah jumlah taksi atau mikrolet di Batam. Jika ada satu taksi rusak atau masa berlakunya habis, penggantinya harus sama dengan yang rusak atau habis berlakunya itu atau 1 in 1 out. ”Taksi di Batam sudah over suplai, tak boleh ada lagi penambahan. Begitu juga dengan mikrolet,” tuturnya. Mulawarman menantang Pemko Batam untuk mewujudkan konsep itu. Organda, katanya, selalu siap jika nanti jalan-jalan arteri dan kolektor di Batam hanya boleh dilewati bus-bus kecil berkapasitas 20-an kursi. “Semoga saja kalau Syamsul Bahrum jadi Wali Kota Batam, konsep itu bisa terwujud,” kata Mulawarman. (med/uma/bal) |
Pendapat saya sebagai penumpang Taxi, penggunaan Argo lebih aman dan jelas dibanding harga dari sopir.
BalasHapusTerkadang sopir memberikan harga yg terlalu mahal dan terkesan membodohi penumpang, apalagi bagi pendatang.
Cobalah Blue Bird masuk ke Batam pasti masyarakat lebih pilih mereka yg ber Argo