Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Senin, 05 April 2010

Negosiasi ACFTA 'gagal'

Pengawasan barang impor China diperketat (sumber Bisnis Indonesia)

JAKARTA: Pemerintah dinilai gagal menegosiasikan penundaan 228 pos tarif dalam perjanjian perdagangan bebas Asean-China (ACFTA).

Guna menekan dampak negatif perjanjian itu, pemerintah harus menata ulang pengelolaan industri yang memihak kepentingan nasional.

Renegosiasi 228 pos tarif itu merupakan salah satu tuntutan dari kalangan industri nasional yang khawatir terhadap dampak ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) yang diimplementasikan sejak 1 Januari 2010.

Namun, dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commission Meeting) Indonesia-China ke-10 di Yogyakarta pekan lalu, kedua negara tetap sepakat mengimplementasikan perjanjian perdagangan itu secara penuh. Artinya, tidak ada perubahan apa pun dalam tahapan ACFTA atau tetap mengacu pada perjanjian yang disepakati pada 2004.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu membantah terganjalnya renegosiasi 228 pos tarif itu merupakan imbas dari penolakan Pemerintah China.

Menurut dia, kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut justru merupakan solusi yang lebih baik.

"Intinya adalah menjaga perdagangan dua arah agar seimbang dan kalaupun nanti ada masalah akan ada langkah-langkah berikutnya," kata Mari saat jumpa pers tentang hasil Pertemuan Komisi Bersama ke-10 Indonesia-China di Yogyakarta, akhir pekan lalu.

Menteri Perdagangan China Chen Deming juga menegaskan ACFTA tetap berjalan normal. Dia mengatakan perjanjian itu telah dibahas selama 10 tahun terakhir dan telah menjadi salah satu perdagangan terbesar di dunia.

Chen meyakini dampak positif ACFTA tidak hanya dinikmati China, tetapi juga negara anggota Asean lain, termasuk Indonesia.

Dia menilai perdagangan dalam 2 bulan pertama 2010 menunjukkan perkembangan yang bagus. Ekspor negara-negara anggota Asean ke China naik 18%, sementara ekspor China ke Asean meningkat 50%. "Investasi China ke Indonesia juga akan meningkat," ujarnya.

Argumentasi senada disampaikan Mari yang menyebutkan ekspor Indonesia ke China sejak implementasi ACFTA justru melonjak hingga 138%, sedangkan impor hanya naik 50%. Melihat perkembangan tersebut, dia memproyeksikan nilai perdagangan dengan China akan mencapai US$50 miliar dalam 5 tahun ke depan, jauh lebih tinggi dari target sebelumnya US$30 miliar.

Tutup mata


Suryo Bambang Sulisto, anggota Dewan Pembina Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, menilai pemerintah terkesan tutup mata terhadap sektor industri yang belum siap menghadapi ACFTA.

"Dalam renegosiasi, pemerintah seharusnya bisa meyakinkan China bahwa kita belum siap dan kalau tetap dilaksanakan justru akan berdampak negatif bagi kedua negara," katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan kegagalan lobi terkait dengan upaya penundaan 228 pos tarif ACFTA seharusnya mendorong pemerintah segera menata ulang pengelolaan industri dan membuat kebijakan yang memihak kepentingan nasional.

"Kebijakan energi harus diubah untuk meningkatkan daya saing. Energi harus digunakan sebesar-besarnya untuk mendukung industri dalam negeri, bukan untuk meningkatkan daya saing industri China. Karena itu, ekspor energi [ke China] harus dibatasi," ujarnya.

Meski demikian, kata Benny, lobi Indonesia terhadap China sejauh ini masih sebatas pembicaraan diplomatik tanpa ada perincian mendetail guna mendorong tata kelola industri dalam negeri menjadi lebih baik.

"Kalau tak ada perincian riil percuma karena diplomatic talk ini kelihatannya saja menyenangkan. Padahal, pada kenyataan sebaliknya."

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika mengatakan pemerintah harus memanfaatkan rencana kunjungan Perdana Menteri China Wen Jiabao ke Indonesia pada 14 April untuk merenegosiasikan penun daan 228 pos tarif tersebut.

Dia menilai kunjungan PM China tersebut merupakan momentum yang tepat untuk menegosiasikan 228 pos tarif dari delapan sektor industri itu.

Pemerintah harus menyiapkan seluruh data, argumentasi, dan skenario agar seluruh proses itu berjalan sesuai dengan rencana.

Namun, Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan renegosiasi tersebut kemungkinan tidak masuk dalam agenda pembicaraan antara pemimpin kedua negara.

Pasalnya, kunjungan PM China lebih bertujuan menjalankan komitmen negara-negara di kawasan terkait dengan integrasi Asean sehingga tidak ada pembicaraan bilateral secara langsung.

"Sepertinya tidak [tidak ada renegosiasi 228 pos tarif] karena itu urusan teknis. Kunjungan ini terkait masalah komitmen dalam komunitas Asean, bukan bilateral langsung," tegasnya.

Perketat pengawasan


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Dedi Mulyadi mengungkapkan pemerintah akan memperketat pengawasan terhadap barang nonstandar asal China yang masuk ke Indonesia menyusul kegagalan renegosiasi 228 pos tarif.

Dia mengatakan upaya tersebut bukan tindakan balasan Indonesia kepada China, melainkan untuk menegakkan asas fair trade bagi setiap anggota WTO.

"Renegosiasi sudah gagal. Mau tak mau kita harus all out. Pemerintah akan lebih giat menghambat masuknya barang-barang tidak bermutu melalui penerapan SNI wajib. Seperti kita tahu, produk-produk China yang masuk ke Indonesia tak sesuai dengan standar. Ini yang akan dicegah agar fair trade bisa diwujudkan," katanya.

Menurut Dedi, pemerintah hingga sekarang telah memiliki 58 daftar Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku wajib.

Dari 58 SNI wajib itu, sekitar 44 SNI wajib sudah dinotifikasi ke WTO, di antaranya terigu, kakao bubuk, air minum dalam kemasan, pupuk urea, ban, kaca pengaman, semen, helm, baja tulangan, kompor dan tabung gas, dan lampu swa-balast.

Adapun 14 SNI lainnya segera berlaku wajib a.l. baja lembaran dingin, kabel listrik, baja profil, elektronik, korek api gas, motor bakar, kaca lembaran, meteran dan tangki air, sepada roda dua, hingga pelek kendaraan bermotor.

"Penetapan SNI menjadi wajib dilakukan untuk mencegah praktik perdagangan yang curang [deceptive practices]," katanya.

Berdasarkan data Kemenperin, dari enam produk yang paling dikhawatirkan terjadi lonjakan impor, produk alas kaki dan makanan serta minuman mencatatkan nilai impor di atas penggunaan skema bea masuk normal atau MFN (most favoured nations). (01/Arif Pitoyo/Agust Supriadi/ Yusuf Waluyo Jati/JIBI) (hery. lazuardi@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar