Ada yang aneh dalam peristiwa tertabraknya Jembatan VI Barelang,
kemarin. Tongkang APC Aussie 1 yang menabrak jembatan seperti
dikemudikan. Meliuk-liuk menghindari terumbu karang, kelong, dan Pulau
Penyabung.
Pukul 02.10, hujan deras mengguyur perairan Pulau Panjang, Galang. Toar dan Yeri, dua watch man, yang bertugas di atas kapal tongkang APC Aussie 1 berdiri di atas dek utama. Mereka memandang perairan yang gelap, kilat menyambar-nyambar.
Sudah dua bulan keduanya bertugas menjaga tongkang. Hujan deras sudah biasa terjadi. Tak ada yang aneh. Hanya angin seperti menderu-deru di bawah dan lambung tongkang.
Tiba-tiba terdengar bunyi krek, semacam suara besi yang patah. Tongkang terasa bergerak. Toar menyenter lambung kapal. Besi jangkar sudah putus. “Kapal seperti tak ada penyanggahnya, terasa ringan,” kata Toar.
Kapal pun bergerak. Lewat radio komunikasi, Toar dan Yery menghubungi base PT Bias Delta Pratama. Di radar, tongkang tersebut bergerak ke arah Galangbaru.
Yeri mencoba tenang. Toar was-was. Dia takut kapal menghantam perumahan penduduk di pulau-pulau sekitar Galangbaru.
“Kalau kena perumahan, habis mereka,” ujar Toar.
Tongkang terus bergerak ke timur. Aneh, tongkang sama sekali tak menabrak terumbu karang. Beberapa kelong, pelantar penduduk, sama sekali tak tersentuh. “Macam ada nakhodanya,” kata Yeri.
Padahal, tongkang merupakan kapal tanpa kemudi dan nakhoda. Agar bisa bergerak, tongkang harus ditarik oleh tug boat. Satu-satunya mesin di atas tongkang adalah generator untuk menghidupkan lampu dan instalasi di dalam tongkang.
Di depan pulau Penyabung, tongkang seperti berbelok. Meliuk melewati sisi luar pulau, masuk ke selat pulau Penyabung. Semuanya berlangsung lancar. Tak ada hantaman, benar-benar seperti dikemudikan.
Sekitar 100 meter jembatan 6 menghadang. Toar dan Yeri berpegangan ke pagar. Benturan keras terdengar. Tubuh Toar dan Yeri goyah, hampir tersungkur. Jembatan retak, bergeser satu meter. Namun pulau Penyabung sama sekali tak tersentuh.
Warga Galang kembali percaya akan keangkeran pulau Penyabung. Pulau itu disebut penyabung karena menjadi lokasi adu nyawa para bajak laut. para lanun itu, berkelahi menyabung nyawa di pulau tersebut. Dua lanun dibenamkan tubuhnya sedalam pinggang. Lalu dengan bersenjatakan tombak, mereka menyabung nyawa. Yang bertahan akan bergabung membajak kapal-kapal yang lalu lalang di Selat Malaka. “Pulau ini angker. Dulu sebelum ada jembatan Barelang selat ini disebut selat penyabung,” kata Alwi, 43, warga pulau penyabung. (ABDUL HAMID)
Pukul 02.10, hujan deras mengguyur perairan Pulau Panjang, Galang. Toar dan Yeri, dua watch man, yang bertugas di atas kapal tongkang APC Aussie 1 berdiri di atas dek utama. Mereka memandang perairan yang gelap, kilat menyambar-nyambar.
Sudah dua bulan keduanya bertugas menjaga tongkang. Hujan deras sudah biasa terjadi. Tak ada yang aneh. Hanya angin seperti menderu-deru di bawah dan lambung tongkang.
Tiba-tiba terdengar bunyi krek, semacam suara besi yang patah. Tongkang terasa bergerak. Toar menyenter lambung kapal. Besi jangkar sudah putus. “Kapal seperti tak ada penyanggahnya, terasa ringan,” kata Toar.
Kapal pun bergerak. Lewat radio komunikasi, Toar dan Yery menghubungi base PT Bias Delta Pratama. Di radar, tongkang tersebut bergerak ke arah Galangbaru.
Yeri mencoba tenang. Toar was-was. Dia takut kapal menghantam perumahan penduduk di pulau-pulau sekitar Galangbaru.
“Kalau kena perumahan, habis mereka,” ujar Toar.
Tongkang terus bergerak ke timur. Aneh, tongkang sama sekali tak menabrak terumbu karang. Beberapa kelong, pelantar penduduk, sama sekali tak tersentuh. “Macam ada nakhodanya,” kata Yeri.
Padahal, tongkang merupakan kapal tanpa kemudi dan nakhoda. Agar bisa bergerak, tongkang harus ditarik oleh tug boat. Satu-satunya mesin di atas tongkang adalah generator untuk menghidupkan lampu dan instalasi di dalam tongkang.
Di depan pulau Penyabung, tongkang seperti berbelok. Meliuk melewati sisi luar pulau, masuk ke selat pulau Penyabung. Semuanya berlangsung lancar. Tak ada hantaman, benar-benar seperti dikemudikan.
Sekitar 100 meter jembatan 6 menghadang. Toar dan Yeri berpegangan ke pagar. Benturan keras terdengar. Tubuh Toar dan Yeri goyah, hampir tersungkur. Jembatan retak, bergeser satu meter. Namun pulau Penyabung sama sekali tak tersentuh.
Warga Galang kembali percaya akan keangkeran pulau Penyabung. Pulau itu disebut penyabung karena menjadi lokasi adu nyawa para bajak laut. para lanun itu, berkelahi menyabung nyawa di pulau tersebut. Dua lanun dibenamkan tubuhnya sedalam pinggang. Lalu dengan bersenjatakan tombak, mereka menyabung nyawa. Yang bertahan akan bergabung membajak kapal-kapal yang lalu lalang di Selat Malaka. “Pulau ini angker. Dulu sebelum ada jembatan Barelang selat ini disebut selat penyabung,” kata Alwi, 43, warga pulau penyabung. (ABDUL HAMID)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar