Rencana pembangunan pelabuhan peti kemas di Pulau Tanjungsauh
butuh dana investasi hampir Rp7 triliun atau sekitar 805,8 juta dolar
Amerika.
Dana ini, menurut Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, terdiri dari pembangunan fisik sekitar Rp4 triliun dan pengadaan peralatan sekitar Rp3 triliun.
Namun demikian, PT Pelindo II, menurut Lino, belum dapat mewujudkannya sebelum kejelasan status lahan Pulau Tanjungsauh masuk kawasan free trade zone (FTZ).
Pelindo II sendiri, menurut dia, butuh waktu untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan transhipment peti kemas tersebut dalam waktu dua tahun dan bisa dimulai tahun depan. Lino juga mengklaim kapasitas tampung di pelabuhan ini capai 4 juta TEUs.
Hal ini dikemukakan Lino di sela-sela kunjungan kerja Komisi VI DPR RI dan Ketua BP Batam Mustofa Widjaya, Jumat (22/6).
Komisi VI menurut ketuanya, Airlangga Hartanto, mendukung rencana pembangunan Pelabuhan Tanjungsauh ini. Namun, pihaknya berharap agar sebelum dibangun, status lahan kawasan itu telah jelas agar tidak menimbulkan masalah kemudian hari. Untuk anggaran, Airlangga berjanji akan membantu dalam pembahasan di DPR RI nantinya.
Komisi VI DPR RI juga meminta Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian dan Badan Pengusahaan Batam agar segera mengajukan rancangan revisi peraturan pemerintah (PP) yang mengatur masuknya Pulau Tanjungsauh ke FTZ Batam.
Airlangga Hartarto mengungkapkan proyek pembangunan Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjungsauh masih mengalami hambatan karena pulau itu ternyata belum masuk ke kawasan FTZ.
Sehingga rencana pembangunan senilai Rp7 triliun itu pun belum bisa dimulai. Selain itu, sampai saat ini tidak ada jembatan penghubung antara Pulau Batam dan Pulau Tanjungsauh.
Menurutnya, rencana BP Batam dan Pelindo II untuk membangun pelabuhan transhipment di Pulau Tanjungsauh harus didorong agar bisa merealisasikan pelabuhan berstandar internasional di FTZ Batam mengingat ramainya lalu lintas kapal kargo di Selat Melaka.
Dengan target kapasitas di Tanjungsauh mencapai 4 juta TEUs diharapkan pelabuhan transhipment ini dapat mengambil potensi lalu lintas kargo di Selat Melaka yang selama ini dikuasai Singapura dan Malaysia.
Selain soal memasukkan Tanjungsauh ke FTZ Batam, Komisi VI juga meminta agar Pelindo II mencari mitra dalam proyek pembangunan itu.
“Agak lucu rasanya kalau kita punya wilayah luas di Selat Melaka tapi tidak menikmati kargo yang lalu lalang. Selama ini kargo di Selat Melaka dikuasai Singapura lebih dari 30 juta TEus, Malaysia sekitar 7 juta TEus, nah Indonesia masak bengong-bengong saja,” tuturnya
Komisi VI juga berkesempatan meninjau lokasi pembangunan dermaga utara Terminal Batuampar dengan total biaya senilai Rp366 miliar.
Proyek ini kata Direktur PTSP dan Humas BP Batam Dwi Djoko Wiwoho, rencananya akan selesai dalam tiga tahun dengan target menambah kapasitas peti kemas Terminal Batuampar sebanyak 600.000 TEUs. (spt)
Dana ini, menurut Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, terdiri dari pembangunan fisik sekitar Rp4 triliun dan pengadaan peralatan sekitar Rp3 triliun.
Namun demikian, PT Pelindo II, menurut Lino, belum dapat mewujudkannya sebelum kejelasan status lahan Pulau Tanjungsauh masuk kawasan free trade zone (FTZ).
Pelindo II sendiri, menurut dia, butuh waktu untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan transhipment peti kemas tersebut dalam waktu dua tahun dan bisa dimulai tahun depan. Lino juga mengklaim kapasitas tampung di pelabuhan ini capai 4 juta TEUs.
Hal ini dikemukakan Lino di sela-sela kunjungan kerja Komisi VI DPR RI dan Ketua BP Batam Mustofa Widjaya, Jumat (22/6).
Komisi VI menurut ketuanya, Airlangga Hartanto, mendukung rencana pembangunan Pelabuhan Tanjungsauh ini. Namun, pihaknya berharap agar sebelum dibangun, status lahan kawasan itu telah jelas agar tidak menimbulkan masalah kemudian hari. Untuk anggaran, Airlangga berjanji akan membantu dalam pembahasan di DPR RI nantinya.
Komisi VI DPR RI juga meminta Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian dan Badan Pengusahaan Batam agar segera mengajukan rancangan revisi peraturan pemerintah (PP) yang mengatur masuknya Pulau Tanjungsauh ke FTZ Batam.
Airlangga Hartarto mengungkapkan proyek pembangunan Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjungsauh masih mengalami hambatan karena pulau itu ternyata belum masuk ke kawasan FTZ.
Sehingga rencana pembangunan senilai Rp7 triliun itu pun belum bisa dimulai. Selain itu, sampai saat ini tidak ada jembatan penghubung antara Pulau Batam dan Pulau Tanjungsauh.
Menurutnya, rencana BP Batam dan Pelindo II untuk membangun pelabuhan transhipment di Pulau Tanjungsauh harus didorong agar bisa merealisasikan pelabuhan berstandar internasional di FTZ Batam mengingat ramainya lalu lintas kapal kargo di Selat Melaka.
Dengan target kapasitas di Tanjungsauh mencapai 4 juta TEUs diharapkan pelabuhan transhipment ini dapat mengambil potensi lalu lintas kargo di Selat Melaka yang selama ini dikuasai Singapura dan Malaysia.
Selain soal memasukkan Tanjungsauh ke FTZ Batam, Komisi VI juga meminta agar Pelindo II mencari mitra dalam proyek pembangunan itu.
“Agak lucu rasanya kalau kita punya wilayah luas di Selat Melaka tapi tidak menikmati kargo yang lalu lalang. Selama ini kargo di Selat Melaka dikuasai Singapura lebih dari 30 juta TEus, Malaysia sekitar 7 juta TEus, nah Indonesia masak bengong-bengong saja,” tuturnya
Komisi VI juga berkesempatan meninjau lokasi pembangunan dermaga utara Terminal Batuampar dengan total biaya senilai Rp366 miliar.
Proyek ini kata Direktur PTSP dan Humas BP Batam Dwi Djoko Wiwoho, rencananya akan selesai dalam tiga tahun dengan target menambah kapasitas peti kemas Terminal Batuampar sebanyak 600.000 TEUs. (spt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar