BATAM: Komisi VI DPR meminta Kemenko Perekonomian dan Badan Pengusahaan
Batam agar segera mengajukan rancangan revisi peraturan pemerintah (PP)
yang mengatur masuknya Pulau Tanjung Sauh ke Free Trade Zone Batam.
Dalam kunjungan kerja ke Tanjung Sauh, Kabil, Airlangga Hartarto, Ketua Komisi VI DPR RI, mengungkapkan proyek pembangunan Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjung Sauh masih mengalami hambatan karena pulau itu ternyata belum masuk ke kawasan FTZ.
Sehingga rencana pembangunan senilai Rp7 triliun itu pun belum bisa dimulai. Selain itu, sampai saat ini tidak ada Jembatan penghubung antara Pulau Batam dan Pulau Tanjung Sauh.
"Ternyata hambatan utamanya Tanjung Sauh belum masuk FTZ. Ini yang kami dorong BP Batam agar diselesaikan dan direvisi PP-nya, kalau tidak, proyek ini tidak akan jalan," ujarnya usai meninjau Pulau Tanjung Sauh, Jumat 22 Juni di Batam.
Menurutnya, rencana BP Batam dan Pelindo II untuk membangun Pelabuhan Transhipment di Pulau Tanjung Sauh harus didorong agar bisa merealisasikan Pelabuhan berstandar internasional di FTZ Batam mengingat ramainya lalu lintas kapal kargo di Selat Malaka.
Dengan target kapasitas di Tanjung Sauh mencapai 4 juta TEUs diharapkan pelabuhan transhipment ini dapat mengambil potensi lalu lintas kargo di Selat Malaka yang selama ini dikuasai Singapura dan Malaysia.
Selain soal memasukkan Tanjung Sauh ke FTZ Batam, Komisi VI juga meminta agar Pelindo II mencari mitra dalam proyek pembangunan itu.
"Agak lucu rasanya kalau kita punya wilayah luas di Selat Malaka tetapi tidak menikmati kargo yang lalu lalang di Selat Malaka. Selama ini kargo di Selat Malaka dikuasai Singapura lebih dari 30 juta TEus, Malaysia sekitar 7 juta TEus, nah Indonesia masak bengong-bengong saja," katanya.
Disamping itu, Komisi VI juga tidak mempermasalahkan belum selesainya proyek Pelindo II dalam pembangunan Pelabuhan Kalibaru namun tetap merencanakan Pelabuhan di Tanjung Sauh.
Menurut Airlangga, soal Pelabuhan di Tanjung Sauh termasuk rencana investasi BUMN Pelindo II bersama BP Batam dalam meningkatkan iklim investasi di kawasan ini.
"Persoalan pelabuhan bukan cuma domain investasi di Jakarta, untuk di Tanjung Sauh perlu didorong, termasuk didorong untuk bermitra dengan swasta," kata dia.
Mustafa Widjaja, Ketua BP Batam mengatakan, pihaknya sudah mematangkan konsep pembangunan pelabuhan kargo di Pulau Tanjungsauh termasuk memasukkannya dalam FTZ Batam melalui penerbitan revisi PP baru.
Namun demikian, proyek pembangunan belum dapat dilaksanakan karena Tanjungsauh belum masuk kawasan FTZ Batam yang menjadi wilayah kerja BP Batam. Saat ini, menurutnya meski secara kewenangan Pulau Tanjung Sauh masuk dalam wilayah kerja Pemkot Batam namun Pemkot Batam sudah menyatakan mendukung rencana itu.
"Ini (Tanjung Sauh) masuk wilayah Pemerintah Kota Batam, sekarang dalam proses pembahasan menjadi kawasan FTZ, jika sudah, otomatis masuk ke pengelolaan BP Batam," jelasnya.
Dirut Pelindo II RJ Lino mengatakan total investasi untuk membangun Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjung Sauh senilai Rp7 triliun dengan rincian Rp4 triliun untuk pembangunan dan Rp3 triliun untuk pengadaan fasilitasnya.
Pelabuhan itu ditargetkan beroperasi pada 2015 dan memiliki kapasitas 4 juta TEUs untuk melayani jasa transhipment peti kemas yang berasal dari kawasan Asia menuju Eropa dan sebaliknya. Pelabuhan Tanjung Sauh pun diyakini ideal untuk bersaing dengan Port Klang dan PSA.
Sejauh ini, lanjut dia, CMA CGM sudah menyatakan siap menggunakan jasa transhipment Pulau Tanjung Sauh. Sementara untuk investasi fasilitas di Tanjung Sauh sudah ada investor yang siap.
"Tanjung Sauh akan jadi Transhipment barang-barang yang mau ke eropa, dari Jepang, China. Baru CMA CGM yang membawa 70% barang dari China," katanya. (faa)
Dalam kunjungan kerja ke Tanjung Sauh, Kabil, Airlangga Hartarto, Ketua Komisi VI DPR RI, mengungkapkan proyek pembangunan Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjung Sauh masih mengalami hambatan karena pulau itu ternyata belum masuk ke kawasan FTZ.
Sehingga rencana pembangunan senilai Rp7 triliun itu pun belum bisa dimulai. Selain itu, sampai saat ini tidak ada Jembatan penghubung antara Pulau Batam dan Pulau Tanjung Sauh.
"Ternyata hambatan utamanya Tanjung Sauh belum masuk FTZ. Ini yang kami dorong BP Batam agar diselesaikan dan direvisi PP-nya, kalau tidak, proyek ini tidak akan jalan," ujarnya usai meninjau Pulau Tanjung Sauh, Jumat 22 Juni di Batam.
Menurutnya, rencana BP Batam dan Pelindo II untuk membangun Pelabuhan Transhipment di Pulau Tanjung Sauh harus didorong agar bisa merealisasikan Pelabuhan berstandar internasional di FTZ Batam mengingat ramainya lalu lintas kapal kargo di Selat Malaka.
Dengan target kapasitas di Tanjung Sauh mencapai 4 juta TEUs diharapkan pelabuhan transhipment ini dapat mengambil potensi lalu lintas kargo di Selat Malaka yang selama ini dikuasai Singapura dan Malaysia.
Selain soal memasukkan Tanjung Sauh ke FTZ Batam, Komisi VI juga meminta agar Pelindo II mencari mitra dalam proyek pembangunan itu.
"Agak lucu rasanya kalau kita punya wilayah luas di Selat Malaka tetapi tidak menikmati kargo yang lalu lalang di Selat Malaka. Selama ini kargo di Selat Malaka dikuasai Singapura lebih dari 30 juta TEus, Malaysia sekitar 7 juta TEus, nah Indonesia masak bengong-bengong saja," katanya.
Disamping itu, Komisi VI juga tidak mempermasalahkan belum selesainya proyek Pelindo II dalam pembangunan Pelabuhan Kalibaru namun tetap merencanakan Pelabuhan di Tanjung Sauh.
Menurut Airlangga, soal Pelabuhan di Tanjung Sauh termasuk rencana investasi BUMN Pelindo II bersama BP Batam dalam meningkatkan iklim investasi di kawasan ini.
"Persoalan pelabuhan bukan cuma domain investasi di Jakarta, untuk di Tanjung Sauh perlu didorong, termasuk didorong untuk bermitra dengan swasta," kata dia.
Mustafa Widjaja, Ketua BP Batam mengatakan, pihaknya sudah mematangkan konsep pembangunan pelabuhan kargo di Pulau Tanjungsauh termasuk memasukkannya dalam FTZ Batam melalui penerbitan revisi PP baru.
Namun demikian, proyek pembangunan belum dapat dilaksanakan karena Tanjungsauh belum masuk kawasan FTZ Batam yang menjadi wilayah kerja BP Batam. Saat ini, menurutnya meski secara kewenangan Pulau Tanjung Sauh masuk dalam wilayah kerja Pemkot Batam namun Pemkot Batam sudah menyatakan mendukung rencana itu.
"Ini (Tanjung Sauh) masuk wilayah Pemerintah Kota Batam, sekarang dalam proses pembahasan menjadi kawasan FTZ, jika sudah, otomatis masuk ke pengelolaan BP Batam," jelasnya.
Dirut Pelindo II RJ Lino mengatakan total investasi untuk membangun Pelabuhan Transhipment Peti Kemas Tanjung Sauh senilai Rp7 triliun dengan rincian Rp4 triliun untuk pembangunan dan Rp3 triliun untuk pengadaan fasilitasnya.
Pelabuhan itu ditargetkan beroperasi pada 2015 dan memiliki kapasitas 4 juta TEUs untuk melayani jasa transhipment peti kemas yang berasal dari kawasan Asia menuju Eropa dan sebaliknya. Pelabuhan Tanjung Sauh pun diyakini ideal untuk bersaing dengan Port Klang dan PSA.
Sejauh ini, lanjut dia, CMA CGM sudah menyatakan siap menggunakan jasa transhipment Pulau Tanjung Sauh. Sementara untuk investasi fasilitas di Tanjung Sauh sudah ada investor yang siap.
"Tanjung Sauh akan jadi Transhipment barang-barang yang mau ke eropa, dari Jepang, China. Baru CMA CGM yang membawa 70% barang dari China," katanya. (faa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar