BATAM (HK)- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam meminta polisi bertindak cepat mengatasi aksi reklamasi besar-besaran di Pantai Utara Tiban III. Pasalnya, reklamasi tersebut diduga tidak mengantongi izin lingkungan sehingga menyalahi Undang-Undang.
Reklamasi tersebut kini sudah menjorok sekitar ratusan meter ke Pulau Bokor. Jika tidak diatasi secara serius, reklamasi ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan nelayan setempat.
Anggota Komisi I DPRD Kota Batam, Helmy Hemilton mengatakan polisi seharusnya sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Sebab dari informasi di lapangan bahwa reklamasi itu belum mengatongi izin lengkap.
"Komisi I minta agar polisi segera melakukan penyelidikan. Sebab reklamasi itu sudah menyalahi UU No 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Dalam UU itu kan sudah jelas pelaku reklamasi pantai tanpa mengantongi izin akan dikenakan denda Rp300 juta dan hukuman penjara 1 tahun," katanya, kemarin.
Selain polisi lanjut Helmy, Pemko Batam melalui dinas terkait juga jangan berdiam diri di balik meja. Sebab, kerusakan hutan bakau dan reklamasi pantai yang terjadi belakangan ini, akan membawa dampak luar biasa terhadap kawasan padat penduduk dan merusak ekosistem laut.
"Sebagai warga negara yang baik, tentu semua pihak, terutama pelaku reklamasi pantai wajib taat pada aturan perundang-undangan yang ada. Jangan membuat nelayan resah," imbuh politisi Demokrat ini.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi III, Irwansyah mengatakan, reklamasi pantai di kawasan Tiban itu dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat luar biasa, seperti banjir dan ekosistem laut akan rusak. Jadi katanya perusahaan sebelum melakukan reklamasi harus mengantongi izin analisa dampak lingkungan (Amdal). Sebab, dengan mengantongi amdal, dapat diketahui rencana pembangunan yang akan dilakukan. Dengan begitu, bisa diantisipasi dampak dari pada pembangunan tersebut.
"Pembangunan tentu kita dukung. Tapi sebaiknya pembangunan tidak merusak lingkungan, dengan memperhatikkan dampak yang akan terjadi, apa lagi banjir," kata Irwansyah.
Sisi lain, lanjut Irwansyah, banyak hutan bakau di sana menjadi korban akibat aktivitas reklamasi pantai. Untuk itu, ia mengimbau Dinas Kelautan, Perikanan, Kehutanan dan Pertanian (KP2K) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam segera turun ke lapangan.
"Kita minta KP2K dan Bapedalda urun mengecek izin-izinnya. Dan Komisi III juga menghimbau, agar pihak pengusaha mentaati peraturan yang ada dengan melengkapi izinnya," harapnya.
Disinggung perusahaan reklamasi diduga tidak memiliki izin, Irwansyah berjanji Komisi III akan memanggil pihak-pihak terkait untuk mempertanyakan izin tersebut.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua II DPRD Kota Batam Zainal Abidin meminta agar komisi III tidak hanya berdiam diri melihat maraknya aktivitas reklamasi di Batam. Komisi III pun harus turun ke lokasi.
"Kalau tidak ada izinnya, instansi terkait segera hentikan kegiatan reklamasi itu. Komisi III juga harus segera mengecek ke lapangan," tandas Zainal.
Proyek reklamasi besar-besaran ini diduga dilakukan lima perusahaan besar di antaranya PT AM, PT TM dan PT GL. Hingga saat ini area penimbunan bibir pantai sudah mendekati Pulau Tanye Rawe, bersebelahan dengan Pulau Bokor. Pulau Bokor akan dibangun tempat wisata dan perhotelan. Akses untuk menuju ke pulau tersebut nantinya juga akan dibangun jembatan dari Tanjunguma.
Sejumlah nelayan Tanjung Teritip menyebutkan, aktifitas reklamasi ini diketahui sudah berlangsung sejak satu tahun belakangan ini.
Majid, salah satu nelayan mengatakan reklamasi ini akan mengancam kehidupan nelayan kelong. Sebab para nelayan di sini masih tergolong tradisional, baik pengetahuan maupun peralatannya. Sehingga, setiap perubahan dari kebiasaan, jelas sangat meresahkan karena mengganggu tata cara mencari nafkah, sebagai tulang punggung ekonomi keluarganya.
Satu contoh pelaksanaan reklamasi, membuat ratusan nelayan kelong yang hanya mengandalkan jaring dan lampu sorot, tidak bisa lagi menangkap ikan. Sebab ikan-ikan yang ada telah kabur, akibat suara keras dari penimbunan. Selain nelayan juga tidak bisa memasang jaring di perairan pesisir untuk menjebak ikan. Jaring mereka tertimbun oleh material penimbunan.
" Susahlah pokoknya sekarang, karena sejak reklamasi penghasilan kita langsung menurun drastis. Apalagi jika hari hujan tidak ada ikan laut yang akan masuk ke kelong miliknya," tutur Majid.
Berkaca dari hal itu, Majid, berharap pihak-pihak terkait harus mempertimbangkan kembali mengenai kelanjutkan reklamasi tersebut. Karena persoalan ini bukan saja memandang kebutuhan pengusaha, namun juga mengenai hajat hidupa nelayan.
"Jelas kehidupan kita semakin susah jika kegiatan ini terus dibiarkan. Di mana tanggungjawab pemerintah dalam memberikan jaminan kenyamanan hidup bagi nelayan di sini jika daerah yang menjadi tumpuan telah tiada," tukas Majid.
Semantara Ketua Rumpun Nelayan Patam Lestari, Sani meminta pihak berwenang untuk mengevaluasi aktifitas reklamasi besar-besaran tersebut. Jika memang sudah ada izin, pemerintah diminta mengkaji ulang termasuk analisis dampak lingkungan yang baru. Kajian ini penting karena proyek triliunan itu memutus mata rantai kehidupan nelayan.
"Area tangkap para nelayan, sekarang mulai rusak. Dampak buruk yang sudah dirasakan adalah, mulai lumpuhnya aktifitas melaut karena akses ke laut tertutup. Padahal, aktifitas penangkapan ikan merupakan tulang punggung hidup kami sebagai nelayan di sini. Sebab sekali tertimbun maka nelayan di sini selama-lamanya tidak akan bisa melaut lagi," katanya. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar