|
Jumat, 15 Januari 2010 (sumber batam Pos,versi asli) | |
Kembalikan Izin Operasional ke Pemko Himpunan Pengusaha Pengelola Limbah Industri (HPPLI) Kota Batam mengaku sangat dirugikan dengan sistem swastanisasi sampah. Kebijakan yang mengharuskan HPPLI, sebagai mitra, meminta izin operasional pengangkutan sampah kepada PT SS/PT SSET, dinilai mengancam usaha mereka. Penasihat HPPLI Batam, H Dorlan Naibaho menyebutkan, secara hukum pengurus dan anggota HPPLI sejak tahun 1985 adalah legal. Mereka tercatat di akta notaris, terdaftar di Depkum HAM, ada SIUP Pemko Batam, dan ada izin dinas/instansi terkait. ”Lantas, kenapa kami harus meminta izin pengelolaan sampah ini kepada PT SSET? Harusnya kan kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Batam. Sementara izin dari DKP telah transforter (HPPLI) miliki. Kami minta, izin kami hanya dikeluarkan DPK Batam saja,” ujar Dorlan bersama belasan anggota dan pengurus HPPLI, Rabu (13/1) lalu. Kondisi ini, tambah Dorlan, sangat bertentangan dari syarat tender swastanisasi sampah pada April 2009 lalu. Ketika itu, DKP Kota Batam membuat tender pengelolaan sampah. Ini untuk mengurangi beban APBD dan menambah PAD Batam. Dalam tender ini terpilih lima perusahaan, yaitu PT SSET, PT IBL, PT Royal Gensa, PT BRB, dan PT IBT. Terakhir, tender dimenangkan PT SSET. Dalam tender disebutkan, PT SSET harus mempunyai 70 armada (mobil) sampah. Lalu, PT SSET tetap memberikan kesempatan pada mitra (HPPLI, red) mengangkut sampah sesuai Perda No.5/2007 perubahan dari Perda No.5/2001 tentang kebersihan. ”Kenyataannya, semua itu tidak terealisasi. PT SSET hingga kini hanya mempunyai tujuh armada. Dan HPPLI harus minta izin kepada mereka. Malah, izin anggota HPPLI berlaku sampai Juli 2010, tapi sudah ditutup. Anggota tadi harus mengurus dan mengikuti lagi aturan PT SSET. Kebijakan ini terindikasi monopolisi usaha dan merugikan kami,” ujar Dorlan. Masalah lain, sebut Dorlan, PT SSET memungut retribusi ke perusahaan-perusahaan, toko, mall, perumahan, ruko dan lainya. Lalu transporter yang mengangkut sampah itu. Setelah itu, transpforter harus membayar lagi tarif dumping fee Rp70 ribu per ton sampah dari yang mereka angkut atau membayar Rp25 ribu per meter kubik sampah. ”Kami yang mengangkut 300 ton sampah per hari, harus membayar pula ke PT SSET. Kami rugi Rp22,5 juta per hari dan tak dapat apa-apa. Kami mencoba minta biaya jasa tambahan ke perusahaan. Tapi investor menolak dan mereka mengancam hengkang. Tak kondusif jadinya,” ujar Dorlan. HPPLI juga tidak terima bila 300 pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur harus membayar kepada PT SSET bila memungut sampah. Rinciannya, sampah plastik Rp250 per kg, besi Rp225 per kg, tembaga Rp2.000 per kg, valet Rp55 ribu per lori, aluminium Rp750 per kg. Pimpinan PT SSET Indradi Sumarjan saat dikonfirmasi menyebutkan, semua masalah tarif, retribusi diatur pemerintah. PT SSET tidak berhak menentukan semua itu. Mereka hanya menjalankan aturan kebersihan. Semua telah dikaji tim analisa dan tim ekonomi Batam. ”Mengenai pemulung dipungut biaya per jenis barang, itu saya baru tahu dari Batam Pos,” ujarnya. (sta) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar