Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Selasa, 19 Januari 2010

Pemerintah kaji subsidi ekspor

Selasa, 19/01/2010 (sumber Bisnis Indonesia)
DPR panggil lima menteri terkait masalah ACFTA

BANDUNG: Pemerintah tengah serius mengkaji kemungkinan pemberian subsidi ekspor produk manufaktur apabila renegosiasi liberalisasi pasar Asean-China (ACFTA) menemui jalan buntu.

Langkah tersebut dinilai sebagai jalan paling mudah untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur dari serbuan produk impor asal China yang juga mendapatkan fasilitas export VAT rebate (subsidi ekspor) sekitar 9%-17% dari pemerintahnya.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan daya saing produk industri bisa ditingkatkan melalui berbagai cara seperti jaminan bahan baku, penerapan standar produk SNI, penghapusan pungli, suku bunga dan pembiayaan kompetitif.

"Tetapi [langkah] itu butuh waktu lama dibandingkan dengan pemberian subsidi ekspor. Namun, subsidi butuh kepastian anggaran," katanya kemarin.

Usulan subsidi tersebut, ungkapnya, telah bergulir sampai ke kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Saya sudah sampaikan hal ini kepada Menteri Keuangan [Sri Mulyani] dan Anggito Abimanyu [Kepala Badan Kebijakan Fiskal] bahwa ada indikasi yang memungkinkan diterapkannya pola semacam itu," katanya.

Menurut Hidayat, penerapan subsidi ekspor tersebut bisa dengan berbagai macam pola. Salah satunya melalui mekanisme penetapan subsidi ekspor seperti yang dilakukan China. "Bisa juga berbentuk subsidi lain yang tak kelihatan," katanya.

Hingga implementasi ACFTA tahap II berlaku, jelasnya, China belum menghapuskan fasilitas ekspor itu. Bahkan terhitung mulai 15 Desember 2009, China menerapkan kebijakan terbaru soal subsidi tersebut.

Saat ini terdapat ribuan pos tarif produk industri China yang masih mendapatkan fasilitas pajak ekspor 9%-17%. Bahkan porsi dan alokasi subsidi itu ditambah dari sebelumnya.

Sektor industri China yang menikmati fasilitas itu di antaranya pertanian, produk agroindustri, kimia dasar anorganik, besi, dan baja. China juga memberikan subsidi pajak ekspor ke sektor elektronik, permesinan, peralatan komunikasi, otomotif, kapal, hingga furnitur dan kerajinan.

Dengan adanya subsidi secara terang-terangan maupun terselubung produk manufaktur China semakin kompetitif di pasar ekspor.

"Kunci ACFTA ini terletak pada kekuatan daya saing. Industri kita terus dibebani berbagai biaya tinggi seperti tingginya bunga kredit dan pungli, sedangkan di negara tidak," jelasnya.

Tak gegabah

Namun, jelas Menperin, pemerintah tidak akan gegabah menerapkan kebijakan subsidi ekspor mengingat masih ada agenda penting lain yang sedang ditempuh yakni proses renegosiasi 228 pos tarif industri yang akan diajukan ke forum perundingan Asean-China paling lambat 180 hari setelah 1 Januari.

Menurut dia, 228 pos tarif itu merupakan produk industri lokal yang berdaya saing rendah sehingga dinilai tidak siap menghadapi implementasi ACFTA tahap II dalam Normal Track 1 (NT1) yang berlaku mulai 1 Januari 2010.

"Skenario terburuk jika Indonesia gagal dalam negosiasi adalah keterpurukan 18 sektor industri yang terwakili dalam 228 pos tarif itu. Di antara semua sektor tersebut banyak dijumpai berbagai industri strategis penyumbang devisa dan penyerap tenaga kerja besar seperti tekstil dan produk tekstil [TPT], alas kaki, dan petrokimia hilir," jelasnya.

Hidayat menambahkan Komisi VI DPR akan melakukan rapat kerja dengan lima menteri Kabinet Indonesia Bersatu II pada Rabu, 20 Januari, untuk mempertegas kelanjutan proses renegosiasi dan kesiapan industri manufaktur dan IKM merespons ACFTA.

"Kelima menteri itu adalah saya [Menteri Perindustrian], Menteri Perdagangan, Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Negara BUMN, dan Menteri Keuangan," katanya.

Pemerintah, jelasnya, tidak ingin melihat industri manufaktur pada tahun ini terpuruk sehingga akan terus diupayakan agar sektor ini tetap menjadi kontributor utama dalam perekonomian nasional.

Sejumlah kalangan belakangan mengkhawatirkan dampak implementasi ACFTA terhadap daya saing perekonomian Indonesia.

Kalangan pengusaha dan DPR menilai sektor yang paling dirugikan atas implementasi tersebut adalah industri manufaktur dan IKM.

Produk-produk industri lokal secara umum dinilai tak memiliki daya saing sepadan dengan China. Dari sisi makro, perekonomian China dinilai lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia.

"Sesuai dengan komitmen dalam National Summit 2009, kita berupaya mengerem laju deindustrialisasi. Namun, ACFTA telanjur diimplementasikan. Kami khawatir laju deindustrialisasi akan bertambah cepat," kata Ketua Komisi VI-DPR Airlangga Hartarto belum lama ini.

Deindustrialisasi merupakan peristiwa penurunan penciptaan nilai tambah industri terhadap PDB yang terjadi secara konsisten dan merata di seluruh cabang industri. (k37) (yusuf.waluyo@ bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar