BATAM (HK)-Pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di kawasan Batam dan Karimun kekurangan lahan sehingga penanam modal menemui kesulitan.
"Lahan FTZ Karimun sudah habis. FTZ Karimun berlaku enclave atau terpisah, bukan satu pulau secara keseluruhan. Batam juga begitu, lahannya sudah sangat terbatas," kata Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun, HM Sani usai rapat koordinasi FTZ di Panaorama Regency Hotel, Jumat (3/8).
Menurut Gubernur Kepri ini, lahan yang ditetapkan sebagai FTZ Karimun memang terlalu sedikit sehingga pengusaha kekurangan lahan untuk mengembangkan usaha. "Karimun kecil, untuk PT Saipem saja sudah habis," katanya.
Ia mengatakan banyak pengusaha yang tertarik mengembangkan usaha di Negeri Berazam, umumnya industri galangan kapal.
Dewan KPBPB Batam, Bintan dan Karimun akan mengupayakan penambahan kawasan FTZ di Karimun.
"Permintaannya penambahan daerah, bukan meminta untuk FTZ menyeluruh," katanya.
Masih menurutnya, di antara FTZ BBK, hanya Bintan yang memiliki persediaan lahan. Dari 23.000 hektar, masih tersedia 40 persen lahan siap dijadikan sebagai pengembangan kawasan industri. "Hanya di Bintan yang masih ada ketersediaan lahan," ujar Sani didampingi Jon Erizon, Sekretaris DK FTZ BBK.
Sementara di Batam, juga mengalami krisis lahan, karena daerahnya terbilang padat. Selain kepadatan penduduknya juga perkembangan industri sangat pesat sehingga ketersediaan lahan untuk pengembangan kawasan industri sebagai pendukung investasi sangat terbatas.
Untuk mengantisipasi itu, kata Sani, pihaknya berencana memproyeksikan lahan di Rempang dan Galang dijadikan sebagai pengembangan investasi jangka panjang.
"Batam sudah padat, lihat saja penduduknya ditambah lagi keberadaan kawasan indiustri di sini terus berkembang. Jadi tidak dipungkiri, lahan di sini bisa dibilang krisis," ujar Sani.
Menurut Sani soal pengalokasian lahan di Relang, sejauh ini terkendalan status lahan yang belum ada kejelasannya atau status quo. Tapi, karena lahan tersebut secara geografis berada di wilayah Kepulauan Riau (Kepri), maka kemungkinan besar bisa dimanfaatkannya sebagai daerah tujuan pengembangan invesatsi.
Terkait pengalokasian lahan di Relang sebagai pengembangan kawasan investasi, Ketua Badan Pengusahaan (BP) Batam, Mustofa Widjaya belum bisa mengambil langkah konkret terkait pernyataan Ketua DK FTZ BBK, HM Sani.
Katanya, kebijakan tersebut perlu dibahas lebih jauh karena harus melibatkan pihak BPN dan kementrian kehutanan. "Secara yuridis BPN dan pihak terkait juga berkewenangan setelah itu kita ambil langkah selanjutnya," ujarnya.
Kata Mustofa, meskipun BP Batam pihak yang berperan dalam pengalokasian lahan nantinya, namun dalam hal ini butuh kajian yang mendalam agar tidak terjadi persoalan di kemudian hari. "Memang secara geografis dan administrasi masuk dalam wilayah Batam, tapi kita juga perlu kajian mendalam agar tidak terjadi persoalan-persoalan," ujarnya.
Sementara itu, ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah Kepulauan Riau Johanes Kennedy mengatakan akan membentuk tim monitoring lahan untuk mengecek kekurangan lahan di wilayah FTZ. Ia mengatakan permintaan lahan paling banyak untuk industri galangan kapal yang mayoritas dikuasai pemodal asing.
John meminta pemerintah mengutamakan pengusaha lokal dalam pengalokasian lahan agar industri dalam negeri dapat berkembang. Selain Karimun, Batam juga kekurangan lahan pengembangan FTZ.
Sebelumnya, Direktur Kabil Industrial Estate, Pieter Vincent dalam diskusi bersama Menteri Perindustrian mengatakan ada pabrik yang terpaksa alokasi ke Malaysia karena keterbatasan lahan di Batam.
"Ada pabrik pindah ke Kuantan karena lahan kurang," kata Pieter.
Perusahaan itu, hendak membangun dan menyimpan 450 km pipa untuk kebutuhan industri perkapalan. Namun, karena tidak ada lahan, maka terancam pindah ke Kelantan, Malaysia.
Menurut dia, perpindahan industri ke luar negeri menjadi kerugian bagi Batam dan Indonesia.
Reklamasi
Selain lahan, persoalan reklamasi pantai juga menjadi sorotan dalam rapat koordinasi FTZ tersebut.
Ketua Kadin Kepri, Johanes Kenedy Aritonang mengaku banyak pengusaha mengeluh terutama mengurus proses perizinan dan peruntukan lahan yang akan direklamasi.
"Aturannya reklamasi ini perlu dibenahi sehingga pengusaha tidak dikenakan beban berlipat, sebelum dan sesudah reklamasi," ujar Jon biasa disapa kepada wartawan usai rapat koordinasi tersebut.
Menurut Jon, banyak kendala yang dialami pengusaha terkait pengajuan reklamasi ini. Katanya, sebelum dan pada awal pelaksanaan reklamasi pengusaha mengajukan izin reklamasi tersebut ke pihak Bappedal Kota Batam. Namun setelah reklamasi rampung, pihak pengusaha juga dikenakan peraturan oleh BP Batam soal pengalokasian lahan tersebut.
"Istilahnya pengusaha pada awalnya mengajukan izin Amdal dan syarat-syarat lainnya ke Bappedal Kota Batam, tapi setelah reklamasi selesai pengusaha juga dikenakan aturan oleh BP Batam. Nah melihat persoalan ini terjadi aturan yang ganda sehingga sangat membebani pengusaha atau investor," ujarnya.
Kata Jon, sebetulnya yang diinginkan para pengusaha sangat sederhana. "Aturan yang sederhana dan tidak membebani pengusaha," ucapnya.
Persoalan perizinan yang berbelit itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi iklim investasi di Batam. Terkait persoalan reklamasi ini, dia meminta agar ada penyederhanaan perizinan dan perundangan reklamasi. "Maksud saya jika izinnya ke Pemko jadi tidak perlu lagi ada institusi lainnya yang ikut-ikutan," ujarnya.
Wakil Gubernur Kepri, HM Sani mengatakan persoalan reklamasi dalam kawasan FTZ BBK juga menjadi masalah yang serius. Termasuk keluhan pengusaha tersebut akan di pertimbangkan. "Kita juga membicarakan soal keluhan pengusaha terkait reklamasi ini, semua akan kita bahas pada repat selanjutnya," ujarnya. (tea)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar