Kriminal
(sumber Forum Keadilan)
Mafia Tanah
Oleh : MUHAMMAD AGUS FAJRI (Batam-Kepri)
Oleh : MUHAMMAD AGUS FAJRI (Batam-Kepri)
-
Ketua BPKB Mustofa Widjaya (Istimewa)Sebagai kawasan bebas perdagangan dan pelabuhan bebas, pengelola Batam, Bintan dan Karimun harus menjamin investasi dan kegiatan usaha yang ada. Namun, dalam praktiknya kewenangan yang diberikan malah menimbulkan ketidakpastian investor. Khususnya masalah pengadaan lahan.
Untuk mendukung kebijakan yang menjadikan Batam, Bintan dan Karimum (BBK) sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, pemerintah telah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang.
Sejak ditetapkannya PP No 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, dalam kurun waktu tahun 2007-2012 berbagai produk hukum serta turunannya telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Yakni, tiga undang-undang, 12 PP, 4 Keppres, 3 Perpres, serta puluhan Peraturan Menteri Keuangan yang terkait dengan aturan main di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Dari puluhan produk hukum tersebut anehnya aturan hukum untuk pengganti Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) Batam atas Hak Penggunaan Lahan (HPL) di Batam tidak kunjung keluar juklaknya dari Menteri Keuangan. Hal ini kemudian menimbulkan keresahan dan kecurigaan para pengusaha Batam mengingat pada periode tahun 2013 nanti sebagian HPL pengusaha akan berakhir mengingat UWTO yang telah mereka bayar hanya untuk jangka waktu 30 tahun.
Padahal, dalam PP No 46 Tahun 2007 secara tegas menyatakan keberadaan Otorita Batam telah berakhir dan dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BPKB). Kenyataannya keberadaan BPKB dalam berbagai aspek transaksi keuangan termasuk pembayaran UWTO masih menggunakan rekening Otorita Batam dalam lima tahun terakhir.
Demikian dikatakan Gubernur Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Provinsi Kepri Rusmini kepada FORUM, Rabu pekan lalu. “Keberadaan OB itu kan sudah berakhir. Kenapa transaksi keuangan BPKB menggunakan rekening lembaga yang sudah almarhum? Kalau alasannya juklak dari Menkeu belum ada kenapa berani mungut. Lagi pula, masak iya sudah lima tahun PP keluar BPKB belum punya rekening sendiri. Ada apa ini?” ujar Rusmini.
Rusmini yang juga anggota Komisi IV DPRD Kota Batam ini menambahkan, memungut uang tanpa ada legalitas hukum formal sama dengan korupsi. “Kita sangat mendukung keresahan dari para pengusaha di Batam yang menginginkan adanya keterbukaan informasi dan aturan hukum yang jelas tentang pungutan UWTO yang dilakukan BPKB. Sampai kapan keberadaan hukum di Batam ini selalu dibuat abu-abu oleh pemerintah pusat,” ujar Rusmini.
Ia juga mengkritisi ketertutupan Ketua BPKB Mustofa Widjaya. Rusmini mengatakan, keinginan masyarakat untuk bisa mengakses informasi adalah hal yang wajar dan dilindungi undang-undang. “Sudah berapa banyak lahan yang dialokasikan, berapa sisanya, berapa banyak lahan tidur yang ditarik kembali serta berapa pendapatan BPKB dari UWTO sudah saatnya masyarakat Batam dapat mengaksesnya sebagaimana semangat otonomi daerah. Kalau Mustofa menutup diri terus, wajar menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap integritas moralnya,” tegas Rusmini.
Apalagi PP No 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan BPKB, khususnya pada bagian ketiga, tentang akuntansi, pelaporan, pertanggungjawaban keuangan, dan akuntabilitas kinerja, pasal 12 mengamanatkan BPKB wajib menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktik bisnis yang sehat. Selanjutnya Pasal 13 ayat 1 s/d 4 makin mempertegas bahwa BPKB wajib mengakuntansikan setiap transaksi keuangan dan mengelola secara tertib dokumen pendukungnya.
Memang, dalam pasal 17 dinyatakan BPKB menjadi lembaga pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU), tetap saja menimbulkan kecurigaan kalangan pengusaha. “Pertanyaan sederhananya kenapa BPKB tidak membuat rekening sendiri dan masih menggunakan rekening OB, tegas Rusmini.
Apalagi menurutnya PP No 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Badan Layanan Umum sebagai peraturan pelaksanaan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur mengenai implementasi pengelolaan keuangan BLU belum mengakomodasi karakteristik BP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Hal ini karena adanya perbedaan karakteristik kelembagaan BP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam jika dibandingkan dengan karakteristik kelembagaan satuan kerja/instansi pemerintah pada umumnya sebagaimana diatur dalam PP No 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan BLU. Atasa dasar itu, Rusmini mengharapkan agar penerapan pola pengelolaan keuangan di instansi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Selain tentang legalitas pungutan UWTO, berdasarkan pengaduan LIRA Provinsi Kepri, ada dugaan Mustofa Widjaja menjadi penyebab berbagai keluhan calon investor/pengusaha untuk mendapatkan lahan. Padahal, permohonan itu sudah melalui mekanisme permohonan pengajuan HPL ke BPKB.
Sebaliknya, jika permohonan melalui mafia lahan yang diduga melibatkan oknum pejabat teras BPKB, hal itu menjadi mudah. Namun, sebagai konsekuensinya selain UWTO yang harus dibayar, investor harus rela mengeluarkan sejumlah fee yang besarannya berkisar 50 persen hingga 1000 persen dari nilai UWTO. Misalnya, ada lahan UWTO yang nilainya Rp 45 ribu/meter2, tetapi fee-nya mencapai US$ 100/meter2. Besaran fee tergantung letak strategis lahan yang diinginkan investor tersebut. Konon menurut Rusmini dalam persoalan fee ini Mustofa menunjuk langsung Kabiro Keuangan BPKB Umen Darto.
Menurut Rusmini, mafia lahan tersebut dikuasi pengusaha keturunan yang memiliki lahan hingga ratusan hektar. Untuk menekan biaya HPL menjadi murah, BPKB menyederhanakan aturan UWTO dari 30 tahun bisa dicicil sesuai kemampuan. Bisa 1 tahun atau 5 tahun. Namun, sebelumnya BPKB telah mengunci HPL tersebut dengan perjanjian tidak bisa dipindahtangankan. Praktiknya sebagian besar HPL di Batam berpindah tangan kepemilikan asalkan melibatkan pejabat BPKB terkait di Direktorat Lahan dengan konsekuensi bersedia berbagi fee.
Berdasarkan keluhan beberapa pengusaha properti yang ikut bermain lahan mengatakan, beberapa tahun lalu fee untuk pejabat BPKB ditentukan pemilik HPL. Sekarang ini kebalikannya Pejabat BPKB yang menentukan besaran fee untuk mereka. Kalau tidak jangan harap HPL bisa dipindahtangankan.
Selain itu proses untuk mendapatkan HPL melalui berbagai tahapan yang setiap tahapannya kepada investor dikenakan biaya siluman. Tanpa itu, pengajuan HPL tidak akan diproses. BPKB juga tidak mau bertanggungjawab bila HPL yang diinginkan investor ternyata telah menjadi kebun atau didiami puluhan bahkan ratusan rumah liar yang biasa disebut Ruli. Biaya pengusuran pun dibebankan kepada investor.
Lebih gila, informasi yang diperoleh FORUM, ada aturan berupa pernyataan penglepasan tanggungjawab BPKB yang apabila HPL yang dimiliki investor di belakang hari mengalami permasalahan hukum dalam hal kepemilikan. Sebab, bukan hal yang aneh HPL yang dialokasikan BPKB kepada investor ternyata tumpang tindih kepemilikan, alias satu lahan ternyata pemiliknya dua sampai tiga investor sehingga harus berakhir di pengadilan.
Upaya konfirmasi kepada Ketua BP Kawasan Batam Mustofa Widjaja atas berbagai tudingan miring tersebut tidak mendapat respon. Pesan singkat yang dikirimkan FORUM juga tak berbalas. Upaya konfirmasi juga diupayakan FORUM kepada Direktur Humas dan Pemasaran Rustam Hutapea, Kepala Biro Keuangan Umen Darto dan Humas BP Kawasan Batam Joko Wiwoho. Namun, hingga Jumat pekan lalu, tidak satu pun pejabat teras BP Kawasan Batam itu yang merespon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar