Oleh: Darul Qutni, Liputan Batam
Status FTZ yang seharusnya menjamin berbagai fasilitas dan kemudahan ternyata belum berdampak terhadap perekonomian masyarakatnya. Meski didominasi produk impor, tapi harga berbagai komoditi di Kota Batam ternyata masih sama dengan daerah lain.
Anggota Komisi II DPRD Kepri, Onward Siahaan mengatakan, kondisi ini merupakan sebuah preseden buruk dimana sebenarnya yang bisa merasakan dampak FTZ hanya terbatas dikalangan pengusaha saja. Sementara begitu ada regulasi yang berpotensi menghambat keinginan pengusaha maka masyarakatlah yang dikerahkan untuk menolak.
"Belum ada dampak yang dirasakan masyarakat sebagai daerah FTZ yang bebas pajak. Contohnya harga gula, jika didaerah lain harga gula berkisar Rp9 ribu perkilo maka di Batam harga gula Rp8.500, dimana bedanya sangat tipis sekali," kata Onward pada Haluan Kepri, Kamis,(12/7).
Ia menyayangkan kondisi ini, karena Batam adalah daerah FTZ dimana gula yang dijual dipasaran adalah gula impor yang notabene sangat murah harganya dimana harga seharusnya hanya sekitar Rp4-5 ribu perkilonya.
"Disini saja bisa kita baca siapa yang diuntungkan? jelas hanya kalangan pengusaha saja. Dan masyarakat tak mendapat apapun dalam hal ini,"ujarnya.
Jika dilihat dampak FTZ terhadap volume ekspor, lanjut Onward, juga tidak nampak pertumbuhan yang signifikan dalam hal ini jika dibandingkan dengan sebelum FTZ diberlakukan. Ini dapat diartikan status FTZ ternyata juga tidak menimbulkan motivasi bagi dunia usaha untuk meningkatkan ekspor.
Pulau Batam hari ini, kata Politisi Partai Pelopor tersebut, sedang memasuki masa gegap gempita pemasukan mobil CBU. Kondisi ini tidak jauh berbeda ketika Batam juga jor – joran memasukkan mobil rekondisi pada periode 1990 – 2000. Itu sebabnya, Batam dikenal sebagai gudangnya mobil impor dan murah.
Dulu, begitu mudahnya orang membeli mobil eks Singapura dengan ragam merek dan jenis yang bahkan tidak dijual oleh pabrikan dalam negeri. Kini, 20 tahun kemudian, importir mendapatkan izin untuk memasukkan mobil impor brand new dan bukan rekondisi, untuk memenuhi kebutuhan para orang–orang berduit terhadap mobil–mobil kelas premium yang tentunya dengan harga yang mestinya jauh lebih murah.
"Tapi apa kenyataannya? kita lihat sendiri Mobil – mobil CBU yang dimasukkan oleh importir itu tidak murah – murah amat, bahkan harganya hanya beda tipis dibandingkan dengan mobil CBU sejenis yang diimpor oleh importir di Jakarta atau Surabaya," paparnya.
Fasilitas bebas PPN, PPn-BM, dan bea masuk seharusnya membuat harga jual mobil CBU di Batam jauh lebih murah 50% dibandingkan mobil CBU di Jakarta. Tapi mengapa harga mobil CBU di sini masih masuk kategori mahal?
Onward mengungkapkan ada indikasi permainan dari pihak importir terhadap strategi pricing atas mobil CBU yang masuk ke Batam khususnya untuk mobil kelas premium di atas 3.000 cc.
Ia mencontohkan, mobil jenis Toyota Land Cruiser LX-570. Di Batam, mobil LC ini dijual Rp1,1 miliar on the road sementara PT Toyota Astra Motor, pabrikan merek Toyota di Jakarta juga menjual mobil ini dengan harga Rp1,2 miliar. Padahal, Toyota LC di Batam bebas pajak dan bea masuk.
Begitu juga dengan mobil Jeep Wrangler 3,6 L. Di Batam dibanderol Rp690 juta, sedangkan mobil sejenis yang dijual PT Garansindo Chrysler Indonesia sekitar Rp750 juta–Rp850 juta.
Tentu ada yang aneh dengan disparitas harga antara di Batam dan Jakarta. Importir Batam yang bergelimang fasilitas justru memberikan harga jual yang mahal untuk mobil premium. Lantas, apa untungnya mereka diberikan fasilitas bebas pajak? Setelah ditelusuri, ternyata pembengkakan biaya ini terjadi dalam proses bisnis dari si importir tersebut mulai dari proses mendapatkan perizinan, pemasukan mobil di pelabuhan, dan biaya angkut mobil dari pabrikan asal di luar negeri.
"Biaya siluman ini terjadi pada saat mulai proses perizinan hingga pemasukan mobil di pelabuhan dimana kedua proses itu masuk dalam ranah BP Batam dan Bea Cukai Batam. Tanpa bermaksud menghakimi, tapi di dua institusi itulah terjadinya potensi pembengkakan biaya," tukasnya.
Onward menyimpulkan, FTZ dan fasilitas di dalamnya hanya menguntungkan para importir mobil dan minuman keras saja. Karena memang sejak awal ribut – ribut PP 02, yang selalu jadi topik utama adalah bagaimana supaya kran impor mobil dan miras bisa dibuka kembali.Dan entah mengapa keinginan para pengusaha ini direspon cepat oleh Dewan Kawasan FTZ Batam dengan mengeluarkan peraturan khusus soal pemasukan kendaraan bermotor di FTZ Batam.
"saya rasa ini hanya sebuah kebijakan yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan upaya mengoptimalkan status kawasan perdagangan bebas bagi calon investor," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar