Sabtu, 28 Juli 2012 (Sumber : Batam Pos)
Rubrik OPINI
Oleh : Surya Makmur - Sekretaris Komisi II DPRD Kepri
Agaknya gula pasir impor, rasanya lebih manis di Batam. Produk gula asal dari negara India dan Thailand itu membanjiri pasar-pasar di daerah berpenduduk 1 juta jiwa lebih dengan luas 715 kilometer persegi ini. Mulai dari pasar tradisional sampai pasar modern, seperti, swalayan atau super market di mall-mall, gula pasir impor sangat mudah ditemukan tanpa khawatir kekurangan stok.
Berbeda halnya dengan gula pasir produk lokal. Agaknya, rasanya sudah mulai pahit dan sedikit kelat. Di pasar-pasar tradisional dan modern sudah mulai sulit ditemukan atau dijual para pedagang. Sekurang-kurangnya bila ditanyakan ke pedagang ketika hendak mencari gula pasir, maka yang ditawarkan adalah produk gula impor.
Pahitnya gula lokal karena dari harga jual lebih mahal dibandingkan gula impor. Gula lokal harganya Rp9000 per kilogram., sedangkan gula impor Rp 8.500 per kilogram. Konon, harga gula impor tersebut masih ada yang menjual Rp 8000 per kilogram sampai Rp 7000 per kilogram, tergantung dari harga gula lokal. Jika gula lokal menaikkan harga atau menurunkan harga, gula impor pun dipastikan akan turunnya harganya.
Dampak dari disparitas harga itulah para ibu rumah tangga lebih memilih gula impor. Alasan lain, dari sisi kemasan dan warna, gula impor relatif lebih bersih dan putih. Sementara gula lokal warnanya sedikit agak kekuning-kuningan dan bila diseduh dengan teh akan muncul sisa serbuk dari penggilingan tebu sebagai sumber bahan baku utama.
Tentu saja, harga murah dengan kualitas gula yang lebih baik, pantas dan wajar diperoleh warga Batam. Sebagai sebuah kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, kenikmatan tersebut memang layak diterima.
Ketika Komisi II DPRD Kepri melakukan sidak ke pasar dan distributor pedagang gula pasir lokal di Batam, sehari sebelum puasa, Jumat 20 Juli 2012, betapa mengejutkan keadaanya. Pertama,ditemukan fakta bahwa pedagang, seperti Pasar Mitra Raya, justru menjual gula impor. Produk gula lokal sudah jarang dijual karena menurut pedagang agak sulit menjualnya disebabkan harganya lebih mahal.
Kedua,produk gula lokal sudah jarang dijual pedagang. Berdasarkan pengakuan salah satu distributor gula lokal di Kawasan Batam Center, bahwa mereka sejak Juni sudah tidak lagi mendatangkan gula lokal dari Pulau Jawa karena harga lebih mahal dan kualitas gula impor agak lebih baik.
Ketiga,fakta menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Kepri pada tahun 2012 belum memperoleh kuota 13.000 ton gula yang tengah diajukan ke pemerintah pusat di Jakarta, sebagaimana pengakuan Badan Pengusahaan Kawasan. Dengan kata lain, gula impor yang beredar secara luas di masyarakat tidak diketahui asal usul keberadaannya.
Berbeda halnya dengan tahun 2011 lalu, Provinsi Kepri memperoleh quota 11.000 ton dan sudah didistribusikan ke tujuh kabupaten kota di Kepri.
Melihat fakta dan realitas keadaan perdagangan gula di Batam atau Kepri sebagaimana dikemukakan di atas, tentu patut dan wajar jika ditanyakan, dari mana dan siapa yang memasukkan gula impor tersebut?
Logika sederhananya, jika belum ada quota impor yang masuk secara ilegal, berarti yang beredar di pasar-pasar sekarang ini patut diduga masuk secara ilegal. Jika ada yang menjawab kemungkinan masih ada stok, rasanya sulit diterima akal sehat karena stok kuota tahun 2011 yang sudah dilelang BP Kawasan Batam sangat diyakini sudah habis terjual. Apalagi bulan berjalan di tahun 2011 ini sudah memasuki semester pertama.
Oleh karena itu, tiga hari setelah Komisi II DPRD Kepri melakukan sidak, entah secara kebetulan atau tidak, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan amat terkejut ketika melihat membanjirnya gula pasir impor ilegal di Batam.
Bagi warga Batam membanjirnya gula impor yang masuknya diduga kuat secara ilegal sungguh sangat ironi. Harusnya, Batam yang telah diberikan fasilitas kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan (Free Trade Zone) tidak lah dimanfaatkan tanpa mengikuti aturan main yang telah ditentukan. Sebab, tindakan dan perbuatan curang pasti merugikan negara dan masyarakat. Tidak elok rasanya kenikmatan bebas bea masuk, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, disalahgunakan oleh importir gula. Bagaimana pun pengawasan gula impor di kawasan FTZ harus dilakukan utamanya dalam hal jumlah kuota gula yang diimpor.
Pemprov Kepri, Bea dan Cukai, dan aparat keamanan, dan instansi terkait lainnya, harusnya punya komitmen untuk mengawasi gula impor demi melindungi warga untuk memperoleh haknya atas kebutuhan bahan pokok seperti gula pasir.
Sebab, jika keadaan ini terus dibiarkan, impor gula pasir ke Batam atau Kepri tak terkontrol, dapat dipastikn, produk gula lokal kita yang produksinya berasal dari Pulau Jawa dan sebagian Sumatera akan tak mampu bersaing di pasar.
Langkah distributor di Batam yang menghentikan pengiriman gula produk lokal sejak Juni 2012 lalu sungguh sebuah peringatan kepada pemrintah daerah.
Sudah dapat dipastikan, tidak masuknya produk gula lokal ke Kepri akan mempengaruhi terhadap pendapatan petani tebu dan produk pabrik gula lokal di Tanah Air. Di sisi lain, warga masyarakat pun tidak akan memperoleh harga gula yang fix karena sangat bergantung dari harga yang ditentukan oleh sekelompok importir.
Dengan kata lain jika liberalisasi perdagangan gula ini terus menerus dibiarkan terus menerus, tanpa ada kontrol dan pengawasan, maka yang mengeruk keuntungan dari fasilitas FTZ ini adalah para importir gula. Sementara masyarakat Batam atau Kepri hanyalah sebagai obyek pasar dan konsumen saja yang memperkaya importir gula dalam melakukan transaksi perdagangan secara curang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar