BATAM (HK)--Hutan Mangrove di kawasan pantai utara Tiban III dan Kampung Nelayan, Tanjunguma, Batam terancam habis. Hal ini akibat reklamasi besar-besaran di wilayah tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemarin, ratusan hektar hutan mangrove sepanjang lebih kurang dua kilometer berada di pesisir pantai dibabat habis. Hamparan yang dulunya merupakan hutan bakau kini sebagiannya sudah berubah menjadi daratan. Sementara lainnya menyisakan hamparan kosong berisi air dan tumbuhan liar.
Hingga saat ini area penimbunan bibir pantai sudah mendekati Pulau Tanye Rawe, bersebelahan dengan Pulau Bokor. Pulau Bokor akan dibangun tempat wisata dan perhotelan. Akses untuk menuju ke pulau tersebut nantinya juga akan dibangun jembatan dari Tanjunguma.
Midun (51), warga Tiban mengutarakan, sejak reklamasi sekitar setahun lalu hasil tangkapan ikan nelayan semakin berkurang.
"Kini sejak ditebasnya pohon bakau dan ditimbun, bubu-bubu yang kita pasang penuh dengan lumpur dan hasil tangkapan kita juga tidak seperti biasanya," tuturnya.
Dulu katanya di kawasan Tiban III memiliki hutan bakau yang sangat indah. Merupakan tempat berkembang-biaknya biota laut dan sungai. Ada juga beraneka ikan, udang, dan kepiting yang hidup didalamnya. Kawasan hutan ini menjadi sumber mata pencarian penduduk. Namun semuanya itu sekarang tidak ada lagi.
Senada dengan itu, Ruben warga lainnya, mengaku heran dengan kebijakan pemerintah yang memberi izin reklamasi tersebut. Padahal di satu sisi pemerintah justru mencanangkan penanaman bakau, namun anehnya di sisi lain pemerintah justru seolah-olah menganjurkan pengusaha untuk membabat bakau tersebut. Hal ini karena pemerintah mengeluarkan izin reklamasi tersebut.
Ia mengatakan, kerusakan hutan bakau belakangan sudah sangat parah. “Lokasi kawasan hutan bakau semakin hari kian diambang kepunahan. Kenyataan ini perlu diatasi segera oleh pihak terkait,” katanya.
Dia mengatakan, ada lima perusahaan yang diduga melakukan penebangan hutan bakau tersebut di antaranya PT AM, PT TM dan PT GL. Perusahaan itu terus menerus menurunkan peralatan berat mengangkut material seperti tanah dan karang serta melakukan penimbunan ke dalam hutan bakau.
Ia hanya berharap, hutan bakau ini dapat pulih suatu saat. “Mungkin kita hanya menunggu saja kapan hutan tersebut dapat baik agar tidak lagi menjadi ancaman bagi warga.
Di tempat terpisah, Roslan, warga Kampung Nelayan, Tanjunguma mengaku ia hanya mengandalkan bubu untuk menangkap kepiting dan ikan. Namun sekarang bubuh yang dipasang di sekitar lokasi itu penuh dengan lumpur.
" Saya hanya pasang bubuh di sekitar perairan tersebut. Namun kini bubuh saya penuh dengan lumpur dan hasil tangkapan kita tidak ada lagi," tutur Roslan.
Senada dengan itu Sani juga mengeluhkan hal serupa. Ia mengatakan air di perairan itu saat ini keruh dan tidak jernih lagi seperti dulu sebelum adanya reklamasi.
"Bukan ikan yang kita dapat ketika memasang bubuh di perairan ini, melainkan diisi oleh lumpur laut," tutur Sani.
Untuk itu, dia berharap kepada pihak-pihak terkait agar memberikan perlindungan sebagai payung hukum bagi nelayan dan perairan tersebut. Karena jika hal ini terus dibiarkan maka nelayan akan terancam hilang mata percarian.
"Kita hanya nelayan tradisional yang hanya menggunakan sampan dan peralatan seadanya. Ruang gerak kita hanya tergantung di perairan ini," tukas Sani.
Di tempat terpisah, Ahua, nelayan lainnya mengatakan sebagai nelayan tradisional dengan peralatan seadanya, ia dan rekan-rekan hanya menggantungkan nasib di kawasan pantai yang tertimbun sekarang. Sementara untuk melaut jauh ke tengah, harus menggunakan armada yang lebih besar dengan alat tangkap yang lebih baik.
"Dulu kalau lagi mujur, pendapatan sehari bisa dapat Rp200 hingga Rp300 ribu. Namun sejak adanya penimbunan pendapatan jauh menurun, paling banyak Rp30 ribu, itupun kalau dapat. Untuk melaut ke tengah, nelayan kita hanya pakai sampan," terang Ahua.
Disebutkannya, nelayan yang ada di daetah tersebut sekitar 67 orang, diantaranya 45 nelayan yang berasal dari pulau Tering, dan 22 nelayan dari Kampung Nelayan. Bukan hanya itu ada tiga tempat pembakaran arang yang dikerjakan sedikitnya 10 orang juga terancam, karena tempat kerjanya di pulau Tanye Rawe juga ikut tergusur.
Sementara itu, pihak Kadis KP2K, Suhartini belum berhasil dimintai keterangan terkait kerusakan hutan mangrove tersebut.
"Maaf ya, saya lagi rapat. Satu jam lagi lah ya," kata Suhartini melalui via ponselnya, kemarin.
Namun sayangnya setelah satu jam menunggu, wartawan coba menghubunginya kembali, tapi meskipun nomor ponsel nya terdengar nada sambung, namun tidak diangkatnya.
Sementara itu, Walikota Batam, Ahmad Dahlan terlihat kaget ketika ditanya semakin maraknya kegiatan reklamasi di sejumlah kawasan di Batam, termasuk di kawasan Tiban III yang sudah menjorok hingga ke Pulau Bokor.
"Ya kita lihat dulu kegiatannya seperti apa, nanti kita cek dulu," janjinya.
Seperti diberitakan sebelumnya, reklamasi Pantai di kawasan utara Tiban III saat ini sudah menjorok sekitar ratusan meter ke Pulau Bokor kini mulai dikeluhkan para nelayan setempat. Jika tidak diatasi secara serius, reklamasi ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan keluarga di kawasan itu.
Kondisi yang memprihatinkan ini terungkap, ketika tim Haluan Kepri memantau aktifitas reklamasi di kawasan Pantai Tiban III. Terlihat sejumlah kendaraan keluar- masuk membawa tanah untuk reklamasi. Di atas hamparan lahan reklamasi yang telah dipadatkan, juga terlihat sejumlah pekerja yang tengah menyelesaikan pekerjaan. Hingga saat ini area penimbunan bibir pantai sudah mendekati Pulau Tanye Rawe, bersebelahan dengan Pulau Bokor. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar