Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan, meminta agar Ranperda tentang perlindungan konsumen disikapi secara arif. Terkait dengan Ranperda ini, diminta ada pembedaan antara barang konsumsi dan industri. Namun, dalam penyusunan Ranperda diharap lebih hati-hati dan diperhatikan agar jangan mengurangi daya saing Batam.
“Ada tiga peraturan yang mengatur soal perlindungan konsumen. Kita harus arif menyikapi ini. Di Batam perlu dibedakan, mana barang konsuntif dan mana barang industri,” katanya.
Hanya saja, Dahlan tidak secara tegas menyampaikan sikapnya atas polemik Ranperda ini. Dia hanya menyebut jika untuk barang elektronik dalam jumlah sedikit, perlu buku petunjuk berbahasa Indonesia. Ini dimaksud lebih untuk mengantisipasi black market.
Di pihak lain, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, mengatakan, harusnya di Batam, barang konsumsi bebas masuk. Selain itu, barang elektronik untuk masyarakat, tidak harus menggunakan garansi dan buku petunjuk berbahasa Indonesia.
“Tapi, barang konsumsi di Batam, Bintan dan Karimun tidak dijual ke daerah lain,” katanya.
Menurut Harry, pembedaan antara barang elektronik ke daerah FTZ dan yang non, harus dilakukan. Namun, dalam teknis pelaksanaannya, perlu peran Bea Cukai. “Jadi perlu perubahan fungsi Bea Cukai. Kalau sekarang BC menjaga barang masuk, ke depan harus menjaga barang keluar,” bebernya.
Dia berjanji akan memperjuangkan perubahan fungsi BC. Di kawasan FTZ, untuk barang masuk, BC disebutkan, tidak memiliki fungsi lagi karena sudah bebas kepabeanan. BC juga dinilai perlu membuat pos-pos untuk mendata barang keluar, agar tidak dipermainkan pengusaha.
“Yang dideteksi BC, barang keluar, bukan barang masuk. Karena tak ada fungsi BC untuk barang masuk di BBK, yang bebas bea masuk,” katanya.(MARTUA)
“Ada tiga peraturan yang mengatur soal perlindungan konsumen. Kita harus arif menyikapi ini. Di Batam perlu dibedakan, mana barang konsuntif dan mana barang industri,” katanya.
Hanya saja, Dahlan tidak secara tegas menyampaikan sikapnya atas polemik Ranperda ini. Dia hanya menyebut jika untuk barang elektronik dalam jumlah sedikit, perlu buku petunjuk berbahasa Indonesia. Ini dimaksud lebih untuk mengantisipasi black market.
Di pihak lain, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, mengatakan, harusnya di Batam, barang konsumsi bebas masuk. Selain itu, barang elektronik untuk masyarakat, tidak harus menggunakan garansi dan buku petunjuk berbahasa Indonesia.
“Tapi, barang konsumsi di Batam, Bintan dan Karimun tidak dijual ke daerah lain,” katanya.
Menurut Harry, pembedaan antara barang elektronik ke daerah FTZ dan yang non, harus dilakukan. Namun, dalam teknis pelaksanaannya, perlu peran Bea Cukai. “Jadi perlu perubahan fungsi Bea Cukai. Kalau sekarang BC menjaga barang masuk, ke depan harus menjaga barang keluar,” bebernya.
Dia berjanji akan memperjuangkan perubahan fungsi BC. Di kawasan FTZ, untuk barang masuk, BC disebutkan, tidak memiliki fungsi lagi karena sudah bebas kepabeanan. BC juga dinilai perlu membuat pos-pos untuk mendata barang keluar, agar tidak dipermainkan pengusaha.
“Yang dideteksi BC, barang keluar, bukan barang masuk. Karena tak ada fungsi BC untuk barang masuk di BBK, yang bebas bea masuk,” katanya.(MARTUA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar