15 Oktober 2011 (Sumber Batam Pos)
Kasus lahan di Sagulung banyak membuat masalah. Mulai dari soal tumpang tindih kepemilikan lahan, penggusuran rumah liar, hingga ke masalah sertifikat kavling dan kampung tua.
”Ini yang menjadi ‘hantu’ bagi warga Sagulung. Bagaimana Sagulung mau berkembang kalau masalah lahan tidak jelas begini,” ujar John M Sembayak, Ketua Keluarga Besar Pedagang Kaki Lima Sagulung.
Warga yang menghuni Kavling Bukit Melati, Seipelenggut, misalnya, setiap hari takut digusur lantaran lahan yang sudah mereka beli dari developer hingga saat ini belum ada sertifikatnya. Status lahan yang sudah dapat Hak Pengelolah Lahan (HPL) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum jelas. Padahal warga rutin membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) ke BP Batam.
”Warga terus dihantui berbagai ancaman pihak ketiga. Bahkan mau mengagunkan lahannya ke bank saja tak bisa karena tak ada sertifikat. Ini salah satu penghambat, warga mau maju malah terkendala sertifikat,” tukas John.
Dia mengatakan, Sagulung punya potensi untuk maju karena banyak perusahaan besar yang ingin berinvestasi di sana.
Namun terhambat masalah ketidak jelasan lahan.
Hal sama dirasakan warga Tembesi Tower. Lahan seluas 400 hektare di sana yang sudah dikukuhkan OB dan Pemko Batam sebagai kampung tua, kini mulai diusik pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik lahan. MTB Hasibuan, warga Tembesi Tower yang juga kuasa hukum warga di sana mengatakan, masalah ini sudah disampaikan ke Wapres Boediono, Kemendagri, dan Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Dari hasil pengaduan itu, kata dia, Kemendagri dan BPN menyetujui lahan seluas 40 hektare di Tembesi Tower jadi kampung tua.
”Kalau hitam ya sekalian hitam jangan abu-abu kayak gini. Biar warga bisa tenang dengan kerjaannya,” kata Hasibuan.
Dia menjelaskan, kampung itu sudah dihuni warga sejak 1968 ini punya pontensi di bidang pertanian sayur-sayuran.
Karena 80 persen warga di sana adalah petani sayur yang memasok sayur Batam selama ini. Kasus lahan di Sagulung banyak membuat masalah. Mulai dari soal tumpang tindih kepemilikan lahan, penggusuran rumah liar, hingga ke masalah sertifikat kavling dan kampung tua.
”Ini yang menjadi ‘hantu’ bagi warga Sagulung. Bagaimana Sagulung mau berkembang kalau masalah lahan tidak jelas begini,” ujar John M Sembayak, Ketua Keluarga Besar Pedagang Kaki Lima Sagulung.
Warga yang menghuni Kavling Bukit Melati, Seipelenggut, misalnya, setiap hari takut digusur lantaran lahan yang sudah mereka beli dari developer hingga saat ini belum ada sertifikatnya. Status lahan yang sudah dapat Hak Pengelolah Lahan (HPL) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum jelas. Padahal warga rutin membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) ke BP Batam.
”Warga terus dihantui berbagai ancaman pihak ketiga. Bahkan mau mengagunkan lahannya ke bank saja tak bisa karena tak ada sertifikat. Ini salah satu penghambat, warga mau maju malah terkendala sertifikat,” tukas John.
Dia mengatakan, Sagulung punya potensi untuk maju karena banyak perusahaan besar yang ingin berinvestasi di sana. Namun terhambat masalah ketidak jelasan lahan.
Hal sama dirasakan warga Tembesi Tower. Lahan seluas 400 hektare di sana yang sudah dikukuhkan OB dan Pemko Batam sebagai kampung tua, kini mulai diusik pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik lahan. MTB Hasibuan, warga Tembesi Tower yang juga kuasa hukum warga di sana mengatakan, masalah ini sudah disampaikan ke Wapres Boediono, Kemendagri, dan Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Dari hasil pengaduan itu, kata dia, Kemendagri dan BPN menyetujui lahan seluas 40 hektare di Tembesi Tower jadi kampung tua.
”Kalau hitam ya sekalian hitam jangan abu-abu kayak gini. Biar warga bisa tenang dengan kerjaannya,” kata Hasibuan.
Dia menjelaskan, kampung itu sudah dihuni warga sejak 1968 ini punya pontensi di bidang pertanian sayur-sayuran. Karena 80 persen warga di sana adalah petani sayur yang memasok sayur Batam selama ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar