Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Senin, 17 Oktober 2011

Banyak Mafia Lahan di BP Batam

(sumber Batam Pos) 15 Oktober 2011
Dugaan adanya perlakuan diskriminatif dalam penerbitan izin alokasi lahan di Otorita Batam (BP Batam) yang dilansir Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), semakin menguat. Adanya permainan dalam alokasi lahan diungkapkan sejumlah pengusaha di Batam  kepada Batam Pos, Jumat (14/10).
PH, salah satu pengusaha mengaku memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan  saat mengajukan permohonan hak pengelolaan lahan (HPL) ke BP Batam (waktu itu masih  Otorita Batam/OB), beberapa tahun lalu.

Kata PH, dirinya harus menyuap sejumlah pejabat OB untuk mendapatkan izil HPL tersebut.
”Saya tak perlu sebutkan. Yang jelas banyak mafia di bagian pengawas internal Otorita  Batam,” kata PH.
Sayangnya, PH enggan menyebut berapa nominal suap yang diberikan kepada pejabat OB  waktu itu. PH juga menolak merinci nama-nama oknum pejabat tersebut.
Sumber lain mengatakan, pengurusan izil HPL di OB juga sering menggunakan jasa  makelar. Pengusaha harus siap merogoh kocek dalam-dalam jika menempuh jalur ini.  Sebab tarif uang wajib tahunan otorita (UWTO) yang dipasang para makelar jauh lebih  tinggi dari tarif UWTO yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Pengusaha harus membayar UWTO sebesar 40 dolar Singapura per meter tanah. Padahal  tarif UWTO OB hanya 3 dolar Singapura per meter,” ujar sumber yang enggan disebut  namanya itu.
Menariknya, para makelar tersebut menggunakan perjanjian resmi lengkap dengan  pengesahan notaris. Dalam perjanjian itu tertuang besaran UWTO yang harus dibayar  pengusaha kepada makelar. Secara umum, para makelar ini bertugas melobi para pejabat  OB tentunya dengan imbalan uang dari kliennya.
Sumber tadi menyebut, makelar biasanya berasal dari kalangan tokoh yang dianggap  berpengaruh. Nama-nama yang disebut cukup sering muncul di media massa.
Menanggapi hal ini, Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Humas BP Batam,  Dwi Djoko Wiwoho, membantah ada praktik makelar dan mafia lahan di institusinya. Bahkan  Djoko menantang pengusaha untuk melaporkan oknum pejabat yang dituding menjadi  mafia lahan itu.
“Kalau memang ada lapor saja, biar kami tindak,” kata Djoko.
Dia menjelaskan, mekanisme penerbitan izin HPL di BP Batam tidak terlalu rumit. Asalkan  pemohon memenuhi persyaratan yang ada, dan lahan yang diminta sesuai dengan  masterplan, maka BP Batam akan mengalokasikan ke pengusaha sebagai pemohon.
Adapun mekanismenya, kata Djoko, pemohon cukup mengirim surat permohonan dan  melengkapi beberapa persyaratan. Antara lain akta pendirian perusahaan, NPWP, SIUP  dan lain sebagainya.
Setelah permohonan disetujui, pengusaha wajib menyetor UWTO sebesar 10 persen.  Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran lahan sesuai permintaan pengusaha. Setelah  pengukuran selesai, pengusaha wajib melunasi sisa UWTO, yakni 90 persen.
“Prosesnya tidak terlalu sulit, jadi mengapa pengusaha harus lewat makelar,” kata Djoko.
Namun Djoko tidak menampik, praktik makelar lahan ini berpotensi terjadi untuk lahan- lahan tidur yang berada di lokasi strategis.
Djoko menambahkan, tarif UWTO beragam, tergantung lokasi lahan. Semakin strategis  maka tarif UWTO juga semakin mahal. Selain itu penentuan tarif UWTO juga tergantung  peruntukan investasi. (suparman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar