(sumber Batam Pos) 15 Oktober 2011
Dugaan adanya perlakuan diskriminatif dalam penerbitan izin alokasi lahan di Otorita Batam (BP Batam) yang dilansir Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), semakin menguat. Adanya permainan dalam alokasi lahan diungkapkan sejumlah pengusaha di Batam kepada Batam Pos, Jumat (14/10).
PH, salah satu pengusaha mengaku memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan saat mengajukan permohonan hak pengelolaan lahan (HPL) ke BP Batam (waktu itu masih Otorita Batam/OB), beberapa tahun lalu.
Kata PH, dirinya harus menyuap sejumlah pejabat OB untuk mendapatkan izil HPL tersebut.
”Saya tak perlu sebutkan. Yang jelas banyak mafia di bagian pengawas internal Otorita Batam,” kata PH.
Sayangnya, PH enggan menyebut berapa nominal suap yang diberikan kepada pejabat OB waktu itu. PH juga menolak merinci nama-nama oknum pejabat tersebut.
Sumber lain mengatakan, pengurusan izil HPL di OB juga sering menggunakan jasa makelar. Pengusaha harus siap merogoh kocek dalam-dalam jika menempuh jalur ini. Sebab tarif uang wajib tahunan otorita (UWTO) yang dipasang para makelar jauh lebih tinggi dari tarif UWTO yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Pengusaha harus membayar UWTO sebesar 40 dolar Singapura per meter tanah. Padahal tarif UWTO OB hanya 3 dolar Singapura per meter,” ujar sumber yang enggan disebut namanya itu.
Menariknya, para makelar tersebut menggunakan perjanjian resmi lengkap dengan pengesahan notaris. Dalam perjanjian itu tertuang besaran UWTO yang harus dibayar pengusaha kepada makelar. Secara umum, para makelar ini bertugas melobi para pejabat OB tentunya dengan imbalan uang dari kliennya.
Sumber tadi menyebut, makelar biasanya berasal dari kalangan tokoh yang dianggap berpengaruh. Nama-nama yang disebut cukup sering muncul di media massa.
Menanggapi hal ini, Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Humas BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho, membantah ada praktik makelar dan mafia lahan di institusinya. Bahkan Djoko menantang pengusaha untuk melaporkan oknum pejabat yang dituding menjadi mafia lahan itu.
“Kalau memang ada lapor saja, biar kami tindak,” kata Djoko.
Dia menjelaskan, mekanisme penerbitan izin HPL di BP Batam tidak terlalu rumit. Asalkan pemohon memenuhi persyaratan yang ada, dan lahan yang diminta sesuai dengan masterplan, maka BP Batam akan mengalokasikan ke pengusaha sebagai pemohon.
Adapun mekanismenya, kata Djoko, pemohon cukup mengirim surat permohonan dan melengkapi beberapa persyaratan. Antara lain akta pendirian perusahaan, NPWP, SIUP dan lain sebagainya.
Setelah permohonan disetujui, pengusaha wajib menyetor UWTO sebesar 10 persen. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran lahan sesuai permintaan pengusaha. Setelah pengukuran selesai, pengusaha wajib melunasi sisa UWTO, yakni 90 persen.
“Prosesnya tidak terlalu sulit, jadi mengapa pengusaha harus lewat makelar,” kata Djoko.
Namun Djoko tidak menampik, praktik makelar lahan ini berpotensi terjadi untuk lahan- lahan tidur yang berada di lokasi strategis.
Djoko menambahkan, tarif UWTO beragam, tergantung lokasi lahan. Semakin strategis maka tarif UWTO juga semakin mahal. Selain itu penentuan tarif UWTO juga tergantung peruntukan investasi. (suparman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar