"Saya setuju (peleburan BC ke BP Batam), karena aturan BC hanya berlaku di daerah kepabeanan, bukan di daerah non pabean. Daerah FTZ kan daerah non pabean," ujar anggota DPR asal Daerah Pemilihan Provinsi Kepri itu kepada wartawan di sela-sela sosialisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Kampus Politeknik Negeri Batam, Batam Centre, Jumat (7/10).
Dengan adanya peleburan tersebut, kata dia, maka nantinya aturan ataupun kebijakan yang dikeluarkan BP Batam di kawasan FTZ akan mengikat BC. Untuk merealisasikan peleburan itu, politisi Partai Golkar ini mendorong elemen masyarakat Batam dan Kepri untuk memperjuangkannya ke pemerintah pusat. "Kalau memang itu semangatnya, maka daerah harus mendesak dan memperjuangkannya ke pusat," katanya.
Seperti diberitakan harian ini Jumat (7/10), Ketua Umum Kadin Kepri Johannes Kennedy Aritonang dalam sambutannya saat Rapat Pimpinan Kadin Kepri di Hotel Vista, Kamis (6/10), mengusulkan agar BC dileburkan ke dalam BP Batam, khusus untuk wilayah FTZ, sedangkan wilayah pabean tetap mengacu pada BC.Johannes mengusulkan peleburan BC ke dalam BP Batam tersebut sebagai bentuk optimalisasi sektor kapabeanan dalam rangka menyukseskan pelaksanaan FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
Selama ini, lanjut John, terlalu banyak 'titipan' kewenangan dari berbagai kementerian/lembaga negara lain di BC. Ia menyebut antara lain 'titipan' itu dari Kementerian Pertanian tentang bahan pengolahan makanan, dari Kementerian Perhubungan tentang importir navigasi kapal, dan lain sebagainya.
Menurutnya, banyaknya 'titipan-titipan' tersebut berpotensi menghambat pelaksanaan perizinan yang seharusnya menjadi tugas BC. Ia mengatakan, 'titipan-titipan' tersebut seharusnya memiliki regulasi tersendiri sehingga pelaksanaan FTZ bisa berjalan dengan mulus. "Kemudahan di sektor kepabeanan dan imigrasi diharapkan mampu menggenjot perdagangan dan arus keluar masuk barang," ujar John.
Tapi, usulan itu langsung dimentahkan oleh Gubernur Kepri HM Sani yang juga Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK. Sani mengatakan usulan Kadin itu sebagai sesuatu yang impossible atau tidak mungkin. Sani meminta agar Kadin mengajukan permintaan yang mungkin-mungkin saja, dan tidak meminta sesuatu yang impossible. "Kita semua ingin Ketua DK punya kewenangan yang besar, seperti OB dulu. Tetapi kini hal itu tidak bisa lagi, karena masing-masing departemen punya kewenangan-kewenangan. Karena itu, kita lakukan saja sekarang apa yang bisa dilakukan. Minta yang mungkin-mungkin saja, jangan minta yang tidak mungkin. Bersama kita bisa untuk melakukan yang terbaik," ujar Sani. "Untuk peleburan BC ke BP itu butuh perjuangan panjang. Cari yang pendek saja. Dukung program yang ada. Semua sudah progress. Bila sampai sekarang PP No 2 belum direvisi jangan ditangisi, cari terobosan-terobosan, ciptakan sejarah," pungkasnya.
Bukti Bentrok Kepentingan BC-BP
Sementara itu, dalam workshop yang digelar Federasi Gabungan Usaha Penunjang Migas (Guspen Migas) di Turi Beach Resort Nongsa, 6-7 Oktober 2011, banyak disorot mengenai bentrok kepentingan antara dua instansi pemegang regulasi impor barang ke Batam, yakni BP Batam dan BC. Salah satunya terjadi dalam impor pipa ke Batam.
Dalam kasus ini, BC mengizinkan pipa impor masuk ke Batam, sementara BP tidak mengizinkannya dengan alasan pipa yang masuk merupakan pipa jadi sehingga tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU FTZ.
Anggota II Bidang Pelayanan Jasa BP Batam Fitrah Kamaruddin mengatakan, pihaknya selaku pengatur izin masuk dan keluar barang di FTZ Batam telah melarang pipa impor tersebut masuk ke Batam karena merupakan pipa jadi atau siap pakai yang sesuai ketentuan UU FTZ tidak boleh masuk. Oleh karena itu, sesuai aturannya pipa jadi tersebut harus di reekspor ke negara asalnya.
"Namun pada kenyataannya BC Batam tetap mengizinkan pipa impor tersebut masuk ke Batam. Padahal sudah jelas-jelas kami sebagai pihak pemberi izin tidak memperbolehkan pipa tersebut masuk," katanya kesal di hari pertama workshop, Rabu (6/7).
Kukuh Sumardono Basuki selaku Kepala BC Batam mengakui pihaknya memang telah mengizinkan masuknya pipa jadi impor tersebut karena tidak mengetahui kriteria pipa impor itu apakah siap pakai atau tidak. Tapi setelah diberitahu bahwa itu adalah pipa jadi, kata dia, pihaknya memiliki dua opsi untuk menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan aturan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kedua opsi penyelesaian itu adalah direekspor atau pipa bisa tetap masuk akan tetapi dikenakan pajak.
"Pipa impor tersebut tetap bisa masuk dan dikenakan bea pajak masuk sebesar 12,5 persen dari total impor, dimana pajak tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam kas negara. Pengenaan pajak itu juga telah sesuai dengan aturan PP Nomor 02 (Tahun 2009), dimana untuk pengecualian barang yang dikenakan pajak adalah barang impor sesuai dengan perizinan dari kementerian terkait lainnya," papar Kukuh.
Sementara itu, Kepala Divisi Pengadaan dan Manajemen Aset (PMA) BP Migas, Gerhard Rumeser, mengatakan masih akan ada dua kali impor lagi pipa asal Cina ke Batam. Oleh karena itu, ia berharap permasalahan yang terjadi pada impor pipa pertama tidak terulang lagi. "Akan ada 2 kali impor pipa lagi dari Cina ke depannya. Impor tersebut masih boleh karena masih berbentuk pipa kasar belum berbentuk pipa ulir dan hetreatment," katanya.
Dalam workshop yang diikuti Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, dan BP Migas itu, disepakati impor barang ke Batam harus lebih selektif dan ketat lagi. Sebab, dikhawatirkan impor barang sejenis yang juga diproduksi di dalam negeri akan mengancam keberadaan pengusaha lokal karena tidak bisa bersaing dari segi harga dan mutu.
Bos PT Citra Tubindo Tbk Kris Taenar Wiluan yang hadir dalam workshop meminta pemerintah untuk memproteksi industri dalam negeri penunjang minyak dan gas bumi agar memperbesar serapan belanja nasional di sektor itu yang setiap tahun mencapai 13 miliar dolar AS, namun belum separuhnya untuk produk dalam negeri. "Kurang dari 50 persen untuk produk dalam negeri. Sebagian besar peralatan penunjang migas masih dibeli di luar negeri, terutama di Singapura," kata Kris.
Selaku penasihat Federasi Gabungan Usaha Penunjang Migas (Guspen Migas), ia mengemukakan, proteksi dari pemerintah Indonesia perlu dikembalikan seperti pada era 1980-an, karena zaman perdagangan bebas dewasa ini, negara-negara lain memberlakukan kontrak migas berdasarkan perlindungan bagi masing-masing industri dalam negeri.
Pada 1970 hingga 1980-an, kata dia, pemerintah Indonesia memberlakukan hal tersebut melalui program nasional peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, meski kontraktor-kontrak kerja sama (K3S) migas multinasional semula berkeberatan dan meragukan mutu dan ketepatan waktu pengiriman pipa migas buatan dalam negeri.
Citra Tubindo, katanya, merupakan contoh dari keberhasilan program tersebut yang kini justru dicontoh Malaysia, Vietnam, Eropa, Amerika Serikat dan Timur Tengah. Dulu, waktu persiapan produksi pertama untuk menyuplai Mobil Oil di Ladang Migas Arun, Citra Tubindo diinspeksi ketat oleh tim Mobil Oil dari Dallas karena pipa yang dibuat harus mampu menahan tekanan tinggi.
"Tahun 1988 pengirimam pertama dilakukan dengan baik. Dari segi harga pun karena produksi pertama waktu itu lebih mahal ketimbang buatan Jepang dan karena belum yakin Mobil pun secara paralel memesan dari Jepang," kenang Kris.
Dengan kesempatan untuk tumbuh dengan kebijakan proteksi pemerintah, produk pipa migas PT Citra Tubindo Tbk kini berkelas dunia dan sebagian besar atau sekitar 70 persen diekspor ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, serta Timur Tengah.
Kris mengatakan, program peningkatan penggunaan produksi dalam negeri relevan diintensifkan kembali agar indusrtri penunjang migas dalam negeri dapat tumbuh dan kelak menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dengan demikian, akan semakin banyak investasi baru, penghematan devisa negara, penyerapan tenaga kerja dan dampak positif bagi perekonmian di luar bisnis inti industri penunjang migas. (wan/cw35/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar