(sumber Batam Pos) 24 Oktober 2011
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kepri, Rudi Chua, mengatakan pengusaha di Batam kini resah dengan mulai diterapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan itu mewajibkan setiap jenis barang yang diimpor ke Batam punya buku panduan Bahasa Indonesia.
“Menurut kami, itu suatu langkah mundur untuk kondisi Batam setelah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ),” kata Rudi Chua.
Persoalannya, kata Rudi, Peraturan Menteri tersebut berbunyi: untuk setiap barang yang diimpor oleh importir ke dalam “daerah pabean”. “Padahal, kawasan FTZ kan bukan daerah pabean. FTZ itu merupakan wilayah di luar pabean. Nah, itu yang sampai sekarang tidak dipatuhi oleh berbagai kementerian, khususnya Kementerian Perdagangan,” ujar Rudi, yang juga anggota Komisi II DPRD Kepri.
Rudi menegaskan, dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas, dinyatakan Batam bukan daerah pabean. Karena itu, Rudi meminta kepada Pemprov Kepri dengan hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk melakukan lokakarya dengan mengundang Kementerian Perdagangan untuk membahas kejelasan masalah ini.
Rudi mengatakan, PHRI Kepri sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Perdagangan untuk menyatakan keberatan ini. Untuk itu, diharapkan hal ini juga didukung berbagai kalangan di Batam, baik pengusaha maupun birokrat. “Kondisi Batam ini perlu dijaga sedemikian rupa,” katanya.
Ia mengatakan, bisa memahami tugas Kementerian Perdagangan untuk menjamin kualitas barang yang masuk ke Indonesia. “Tapi jangan hanya untuk menjaga kualitas malah membuat berbagai polemik, misalnya barang-barang yang sudah dimasukkan oleh Bea Cukai harus disegel, kemudian ditangkap atau dirazia dengan mengacu aturan-aturan di bawah Permen tersebut,” katanya.
Karena ini akan menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif dan merugikan pengusaha di Batam, baik sebagai tempat belanja maupun kawasan FTZ. (cr11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar