BATAM (BP) – Pementerian Perdagangan ternyata hanya mengundurkan
pemberlakuan izin impor buah dan sayuran di kawasan perdagangan bebas
dan pelabuhan bebas Batam, Bintan dan Karimun hingga 28 November atau
delapan hari ke depan. Setelah itu, pengusaha impor buah dan sayuran di
kota ini diwajibkan untuk mengantongi izin Menteri Pertanian (Mentan)
dan Menteri Perdagangan (Mendag).
Pasalnya, menurut Fathullah, Kasubdit Lalulintas Barang BP Batam, telah diatur dalam Permentan Nomor 60/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Di sana disebut, Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dikeluarkan oleh Mentan dan Persetujuan Impor (PI) oleh Mendag.
Mendag, kata Fathulah, telah mengirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian nomor 1686/M-DAG/SD/11/12 tanggal 12 November, yakni impor hortikultura yang tiba sampai tanggal 28 November 2012 dapat dilakukan importasi tanpa surat persetujuan impor atau PI, pengakuan sebagai importir produsen dan laporan surveyor.
“Juga pengusaha harus tetap menyelesaikan dokumen penetapan sebagai impor produsen, importir terdaftar dan persetujuan impor sampai 31 Desember 2012,” ujarnya di sela-sela hearing antara Komisi II DPRD Batam, BP Batam, Bea dan Cukai, Balai Karantina, Apindo, Disperindag dan Dinas KP2K Kota Batam, Senin (19/11).
Ia juga mengatakan saat ini pemerintah pusat masih dalam proses untuk melimpahkan kewenangan PI dan RIPH itu ke BP Batam.
Untuk itu, Arinaung Siregar, Staf Balai Karantina Batam mengatakan jika setelah tanggal 28 November pengusaha impor buah dan sayuran tidak mengurus PI dan RIPH, maka produk hortikultura yang diimpor ke kota ini akan tetap ditahan.
“Kalau tidak tetap akan kita tahan,” katanya.
Karena menurut Arinaung, pihaknya hanya bekerja berdasarkan peraturan yang ada.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi II DPRD Batam Yudi Kurnain, minta semua pihak termasuk Wali Kota Batam untuk mendorong pemerintah pusat agar mempercepat proses pelimpahan kewenangan tersebut.
Selain itu, dewan juga minta ada dorongan dari daerah agar tenggat waktu impor buah dan sayuran tanpa PI dan RIPH ini diperpanjang sampai kewenangan pemerintah pusat itu dilimpahkan ke BP.
Yudi juga menilai adanya ketidaksinkronan antara Undang-Undang nomor 44 tahun 2007 soal FTZ dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Impor Produk Hortikultura.
Dalam UU nomor 44 tahun 2007 kata dia, untuk memperlancar kegiatan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, BP diberi kewenangan mengeluarkan izin-izin usaha dan izin usaha lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di kawasan FTZ melalui pelimpahan wewenang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Tapi di bagian lain dalam UU nomor 13 tahun 2012 masih ada kewenangan pemerintah pusat terkait hal ini sehingga pengusaha dirugikan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Abidin Hasibuan, geregetan. Seharusnya, katanya, semua pihak harus berpatokan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
“Semuanya sudah jelas, patokannya PP, bukan peraturan menteri. Apa mereka yang masih berpatokan pada peraturan menteri itu tak ngerti hukum. Mana tinggi PP sama peraturan menteri, kok peraturan menteri yang diikuti,” katanya, belum lama ini.
Abidin mengutip PP 10/2012 Pasal 3 ayat 1. Di sana disebut, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan. Dia juga mengutip Pasal 3 ayat 3. Isinya; Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari luar daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
“Batam kan kawasan FTZ. Sudah jelas yang mengeluarkan izin itu BP Batam, tak perlu yang lain. Kecuali yang dimasukkan itu narkoba, senjata api atau barang terlarang,” katanya.
Menurut Abidin, Permentan Nomor 60/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/2012 tumpang tindih dengan PP Nomor 10/2012 dan UU 44/2007 tentang FTZ, yang notabene merupakan aturan yang lebih tinggi.
“Kalau Permentan dan Permendag ini masih diberlakukan, akan ada gejolak sosial di Batam ini. Harga sayur dan buah akan tinggi, imbasnya masyarakat akan dirugikan,” ujarnya.
Saat ini, kata Abidin, banyak pengusaha buah impor yang terkena imbasnya. Banyak kontainer buah yang ditahan Karantina, dan merugikan pengusaha hingga miliaran rupiah. (spt) (4)
Pasalnya, menurut Fathullah, Kasubdit Lalulintas Barang BP Batam, telah diatur dalam Permentan Nomor 60/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Di sana disebut, Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dikeluarkan oleh Mentan dan Persetujuan Impor (PI) oleh Mendag.
Mendag, kata Fathulah, telah mengirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian nomor 1686/M-DAG/SD/11/12 tanggal 12 November, yakni impor hortikultura yang tiba sampai tanggal 28 November 2012 dapat dilakukan importasi tanpa surat persetujuan impor atau PI, pengakuan sebagai importir produsen dan laporan surveyor.
“Juga pengusaha harus tetap menyelesaikan dokumen penetapan sebagai impor produsen, importir terdaftar dan persetujuan impor sampai 31 Desember 2012,” ujarnya di sela-sela hearing antara Komisi II DPRD Batam, BP Batam, Bea dan Cukai, Balai Karantina, Apindo, Disperindag dan Dinas KP2K Kota Batam, Senin (19/11).
Ia juga mengatakan saat ini pemerintah pusat masih dalam proses untuk melimpahkan kewenangan PI dan RIPH itu ke BP Batam.
Untuk itu, Arinaung Siregar, Staf Balai Karantina Batam mengatakan jika setelah tanggal 28 November pengusaha impor buah dan sayuran tidak mengurus PI dan RIPH, maka produk hortikultura yang diimpor ke kota ini akan tetap ditahan.
“Kalau tidak tetap akan kita tahan,” katanya.
Karena menurut Arinaung, pihaknya hanya bekerja berdasarkan peraturan yang ada.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi II DPRD Batam Yudi Kurnain, minta semua pihak termasuk Wali Kota Batam untuk mendorong pemerintah pusat agar mempercepat proses pelimpahan kewenangan tersebut.
Selain itu, dewan juga minta ada dorongan dari daerah agar tenggat waktu impor buah dan sayuran tanpa PI dan RIPH ini diperpanjang sampai kewenangan pemerintah pusat itu dilimpahkan ke BP.
Yudi juga menilai adanya ketidaksinkronan antara Undang-Undang nomor 44 tahun 2007 soal FTZ dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Impor Produk Hortikultura.
Dalam UU nomor 44 tahun 2007 kata dia, untuk memperlancar kegiatan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, BP diberi kewenangan mengeluarkan izin-izin usaha dan izin usaha lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di kawasan FTZ melalui pelimpahan wewenang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Tapi di bagian lain dalam UU nomor 13 tahun 2012 masih ada kewenangan pemerintah pusat terkait hal ini sehingga pengusaha dirugikan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Abidin Hasibuan, geregetan. Seharusnya, katanya, semua pihak harus berpatokan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
“Semuanya sudah jelas, patokannya PP, bukan peraturan menteri. Apa mereka yang masih berpatokan pada peraturan menteri itu tak ngerti hukum. Mana tinggi PP sama peraturan menteri, kok peraturan menteri yang diikuti,” katanya, belum lama ini.
Abidin mengutip PP 10/2012 Pasal 3 ayat 1. Di sana disebut, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan. Dia juga mengutip Pasal 3 ayat 3. Isinya; Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari luar daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
“Batam kan kawasan FTZ. Sudah jelas yang mengeluarkan izin itu BP Batam, tak perlu yang lain. Kecuali yang dimasukkan itu narkoba, senjata api atau barang terlarang,” katanya.
Menurut Abidin, Permentan Nomor 60/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/2012 tumpang tindih dengan PP Nomor 10/2012 dan UU 44/2007 tentang FTZ, yang notabene merupakan aturan yang lebih tinggi.
“Kalau Permentan dan Permendag ini masih diberlakukan, akan ada gejolak sosial di Batam ini. Harga sayur dan buah akan tinggi, imbasnya masyarakat akan dirugikan,” ujarnya.
Saat ini, kata Abidin, banyak pengusaha buah impor yang terkena imbasnya. Banyak kontainer buah yang ditahan Karantina, dan merugikan pengusaha hingga miliaran rupiah. (spt) (4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar