Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Senin, 19 November 2012

3.700 Ha Bakau Rusak sebab Dialokasikan untuk Pembangunan Kantor dan Industri

Perusakan dan kepunahan hutan bakau atau mangrove di Batam sudah pada tahap mengkhawatirkan. Setidaknya sekitar 80 persen dari luas hutan bakau di Pulau Batam rusak beserta ekosistemnya. Ironisnya, kerusakan ini diakibatkan tangan jahil pemerintah dan masyarakat.
Demikian disampaikan Ketua Audit Lingkungan Sedunia, Ali Maskur Musa, kepada wartawan di sela-sela Sosialisasi Audit Lingkungan dan Penanaman Pohon bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI di Batam Center, Minggu (18/11).

Data yang dihimpun koran ini, luas Pulau Batam sekitar 415 kilometer persegi atau 400.000 hektare (Ha). dengan kawasan hutan sekitar 23.430 hekatre atau sekitar 58,57 persen dari total daratan dan sekitar 20 persennya atau 4.600 hektare adalah hutan bakau.
Dengan demikian, luas hutan bakau di pulau berbentuk kalanjengking ini telah mencapai 3.700 hektare.
“Kita sudah audit sekitar 80 persen hutan mangrove di Batam telah rusak,” ungkap Ali Maskur Musa.
Anggota IV BPK RI ini juga mengemukakan selain di Batam, kerusakan juga dialami di sepanjang Selat Melaka dan Indonesia pada umumnya.
“Hutan mangrove di sepanjang Selat Melaka juga sudah 80 persennya rusak,” katanya.
Penyebabnya, menurut Ali Maskur yakni adanya alih fungsi lahan untuk kawasan industri, perkantoran dan perumahan serta kegiatan masyarakat sendiri seperti pembuatan arang mangrove.
Penyebab lainnya yakni lemahnya penegakan hukum dan lambatnya pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh Pemko maupun Pemprov.
“Pemerintah dalam membuat RTRW untuk pertahankan hutan tidak efektif,” ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengungkapkan, sebagian besar hutan mangrove telah dialih fungsikan untuk industri perkapalan.
“Mangrove yang rusak hanya di Tanjunguncang. Banyak digunakan untuk galangan kapal karena perlu loading dan unloading dan dibuat di pantai,” katanya.
Namun demikian, Dahlan juga berdalih bahwasannya perusahaan yang menggunakan hutan bakau itu telah diwajibkan untuk menanam ulang dua kali lipat tanaman mangrove di tempat lain sebagai pengganti.
“Kita ingin konsisten terhadap RTRW, di mana 32 persen harus hijau termasuk mangrove,” katanya.
Sementara itu, pantauan Batam Pos di lokasi galangan kapal Tanjungpura Dapur 12, Seipelenggut, Sagulung, lahan pantai yang merupakan muara sungai dan jalur pipa gas negara dengan luas sekitar 10 hektare kini sudah diratakan. Di lokasi reklamasi itu tertulis plang nama PT Bintan Shipping Bioteknik. Lokasi itu diapit dua perusahaan galangan kapal lainnya yakni PT Tanjungpura Shipyard dan PT Yasa Prima Mandiri.
Informasi yang diperoleh dari sekitar lokasi itu, bahwa aktivitas penimbunan dan pelebaran pantai itu untuk kepentingan PT Bintan Shipping Bioteknik yang berencana membangun perusahaan galangan kapal di sana.
Akibat aktivitas reklamasi lahan pantai itu, nelayan sekitar lokasi menerima risikonya. Tangkapan nelayan mulai menurun bahkan perairan di sekitar lokasi reklamasi sudah dangkal dan tercemar.
“Sudah lama reklamsi ini berlangsung, tapi Pemerintah Kota Batam seperti tak tahu. Kami nelayan yang menanggung akibatnya, mata pencaharian kami hilang karena kepentingan orang berduit ini,” kata Masjil, nelayan dapur 12 Sagulung, Sabtu (17/11).
Pihak perusahaan, kata Masjil, sama sekali tak ada sosialisasi atau pemberitahuan kepada warga sekitar tentang aktivitas reklamasi itu. Awalnya, nelayan mengira itu aktivitas pelebaran lahan dari PT Tanjungpura Shipyard, namun belakangan di lokasi reklamasi dipajang plang nama PT Bintan Shipping Bioteknik.
“Itu PT baru katanya, tapi kami tak ada pemberitahuan sama sekali, padahal jelas-jelas merusak ekosistem pantai ini,” kata Budi, nelayan lainnya yang mengadu aktivitas reklamasi itu ke Batam Pos.
Sebelum direklamasi, kata Budi, lokasi itu merupakan lokasi aliran sungai dari Dapur 12. Namun sejak ada reklamasi itu, aliran sungai ditimbun sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan pantai dan menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan.
Pantauan koran ini di lokasi reklamasi itu dampak yang paling berbahaya adalah kerusakan pipa gas negara. Karena lokasi reklamasi itu merupakan jalur pipa gas negara. Sehingga jalur pipa gas negera milik PT Transportasi Gas Indonesia terancam rusak atau bocor. Padahal jelas di plang peringatan pipa gas negera itu melarang keras adanya aktivitas pengerukan atau penggalian lahan di sekitar lokasi pipa gas. Karena pipa gas bertekanan tinggi itu sangat berisiko.
“Itulah yang kami khawatirkan juga, kalau sempat pipa ini bocor, maka hancurlah pantai ini,” kata Budi lagi.
Sebelumnya, Pemko Batam melalui Asisten II Ekonomi dan Pembangunan Syuzairi, mengakui kalau kebanyakan perusahaan galangan kapal merusak lingkungan perairan. Sehingga Pemko Batam diminta untuk memberhentikan pemberian izin pendirian perusahaan galangan kapal baru.
“Jangan bangga dengan perusahaan galangan kapal, karena selain melanggar ketenaga kerjaan juga merusak lingkungan. Jadi untuk izin pendirian galangan kapal baru sebaiknya distop dulu,” kata Syuzairi, belum lama ini.
Pihak perusahaan PT Bintan Shipping Bioteknik sendiri saat didatangi wartawan belum bisa menerima wartawan. “Bos lagi liburan, jadi nggak bisa,” ujar Set Beni, sekuriti kawasan perusahaan itu kepada wartawan. (spt/eja) (7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar