Sabtu 30 Juni 2012 (sumber Batam Pos)
BATAM KOTA (BP) – Hakim Agung Supandi, mengatakan tidak mulusnya
FTZ berjalan di Kepri karena payung hukum yang tidak responsif. Hal ini
diungkapkannya dalam Seminar Nasional Universitas Batam dengan tema
”Sinergitas Kemitraan Supremasi Hukum dan Manajemen Profesional untuk
Pertumbuhan Investasi di Kepulauan Riau” di Hotel Harmoni One, Batam
Centre, Jumat (29/6) lalu.
”FTZ jalan di tempat, karena antara hukum dan ekomoni di Kepri ini sangat berbenturan, harusnya ada yang berpikir sistemik dan menggagas pelaksanaannya dalam indeks pemerintahan,” ujar Supandi.
Lantas bagaimana penyelesaiannya? Supandi menjawab, penyelesaiannya, hitung seluruh variabel positif dan negatif.
Ambil segera kesimpulan dari variabel. Jangan bertumpu di alternatif dan kepentingan, dan segera terapkan. Dulu Korea Selatan juga seperti ini, namun karena semua berpikir global, akhirnya mereka sukses,” ujarnya.
Mengenai tiga kawasan di Kepri seperti Bintan, Karimun dan Batam yang sudah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ) sejak tahun 2000 lalu, hingga 12 tahun berjalan namun belum optimal karena belum optimalnya payung hukum.
”Berbicara supremasi hukum, itu akan muncul dengan seluruhnya manakala seluruh komponen bangsa konsisten menegakkan hukum sesuai dengan unsur variabel dengan konsisten dan taat azas, harusnya pemerintah Kepri khususnya tiga kawasan memperhatikan ini,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kepri Suhajar Diantoro, mengatakan, FTZ mulai digerakkan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Kemudian digantikan dengan UU Nomor 3 Tahun 1970, lalu berubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan hingga akhirnya menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 2000. ”Tidak berjalan secara optimal karena aturan mengenai FTZ selalu datang silih berganti, sehingga tahapan implementasinya perlu dikaji secara mendalam,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, hadirnya berbagai aturan pelaksanaan seperti Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur standarisasi jasa, impor barang-barang yang diperdagangkan di wilayah FTZ masih belum memberikan kepastian hukum.
”Masih banyak persepsi dan polemik yang berkepanjangan, kalau ini tidak segera diselesaikan bisa berdampak pada terhambatnya kegiatan usaha, investasi dan iklim perekonomian di Kepri,” jelasnya.
Acara seminar ini dihadiri sebagian besar praktisi hukum dan mahasiswa program pasca sarjana Universitas Batam (Uniba). (cha) (2)
”FTZ jalan di tempat, karena antara hukum dan ekomoni di Kepri ini sangat berbenturan, harusnya ada yang berpikir sistemik dan menggagas pelaksanaannya dalam indeks pemerintahan,” ujar Supandi.
Lantas bagaimana penyelesaiannya? Supandi menjawab, penyelesaiannya, hitung seluruh variabel positif dan negatif.
Ambil segera kesimpulan dari variabel. Jangan bertumpu di alternatif dan kepentingan, dan segera terapkan. Dulu Korea Selatan juga seperti ini, namun karena semua berpikir global, akhirnya mereka sukses,” ujarnya.
Mengenai tiga kawasan di Kepri seperti Bintan, Karimun dan Batam yang sudah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ) sejak tahun 2000 lalu, hingga 12 tahun berjalan namun belum optimal karena belum optimalnya payung hukum.
”Berbicara supremasi hukum, itu akan muncul dengan seluruhnya manakala seluruh komponen bangsa konsisten menegakkan hukum sesuai dengan unsur variabel dengan konsisten dan taat azas, harusnya pemerintah Kepri khususnya tiga kawasan memperhatikan ini,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kepri Suhajar Diantoro, mengatakan, FTZ mulai digerakkan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Kemudian digantikan dengan UU Nomor 3 Tahun 1970, lalu berubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan hingga akhirnya menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 2000. ”Tidak berjalan secara optimal karena aturan mengenai FTZ selalu datang silih berganti, sehingga tahapan implementasinya perlu dikaji secara mendalam,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, hadirnya berbagai aturan pelaksanaan seperti Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur standarisasi jasa, impor barang-barang yang diperdagangkan di wilayah FTZ masih belum memberikan kepastian hukum.
”Masih banyak persepsi dan polemik yang berkepanjangan, kalau ini tidak segera diselesaikan bisa berdampak pada terhambatnya kegiatan usaha, investasi dan iklim perekonomian di Kepri,” jelasnya.
Acara seminar ini dihadiri sebagian besar praktisi hukum dan mahasiswa program pasca sarjana Universitas Batam (Uniba). (cha) (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar