Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Kamis, 29 September 2011

Terlalu Banyak Raja-Raja Kecil

 (sumber Batam Pos ) 29 september 2011


Hampir tiga tahun berjalan, implementasi Free Trade Zone (FTZ) di Batam, Bintan dan Karimun belum juga efektif. Para pengusaha mengaku dibuat bingung dengan aturan yang dinilai tidak jelas.
Hal ini terungkap dalam rapat evaluasi penerapan FTZ BBK antara pengusaha dengan Dewan Kawasan dan Pemerintah Provinsi Kepri di Hotel Novotel Jodoh, Selasa (27/9). Dalam kesempatan tersebut para pengusaha mengeluhkan sejumlah hambatan yang ditemui di lapangan.
Ketua Tim Ekonomi Kepri yang juga Presiden Direktur PT Citra Tubindo Tbk, Kris T Wiluan, menyoroti banyaknya aturan di Kepri yang belum memiliki kepastian hukum bagi para pengusaha. Sehingga hal ini membuat pengusaha bingung.

“Sementara revisi PP 02 (tentang arus barang dari dan ke FTZ BBK, red) sampai saat ini belum juga selesai,” kata Kris, kemarin.
Hal serupa disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri, Johanes Kennedy. Menurutnya perizinan di Batam masih sangat membingungkan pelaku usaha.
Tak hanya itu, saat ini, kata Johanes, antara aturan dan implementasi oleh aparat di lapangan sering berbeda. Misalnya soal kepabeanan. Banyak oknum-oknum petugas Bea dan Cukai yang menghambat lalu lintas barang meskipun importir atau pengusaha telah memenuhi persyaratan.
Selain itu, menurut Johanes, saat ini banyak oknum petugas Bea dan Cukai yang ‘bermain’ di balik keistimewaan Batam sebagai salah satu kawasan FTZ. Menurut laporan pengusaha, ada istilah jalur cepat dan jalur biasa di Bea dan Cukai. Jika ingin cepat, pengusaha harus membayar mahal.
“Di Batam ini terlalu banyak raja-raja kecil yang harus kami hadapi,” kata Johanes.
Keluhkan Razia SNI
Johanes juga menyoroti razia labelisasi SNI barang elektronik di Batam belum lama ini. Menurutnya, razia itu sangat meresahkan pengusaha. “Kebijakan tersebut sama saja mematahkan semangat Free Trade Zone (FTZ). Bahkan membunuh FTZ dan kanibalisme undang-undang,” kata Johannes.
Menurut dia, barang yang  masuk ke Batam umumnya pabrikan luar negeri. Sehingga seharusnya tidak diwajibkan melengkapi label SNI dan buku panduan berbahasa Indonesia.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Penasehat Apindo Kepri, Abidin Hasibuan. Kata dia, razia barang elektronik sangat merugikan pengusaha. Razia tersebut terkesan sengaja dibuat untuk menjebak pengusaha.
“Kalau memang barang dilarang, kenapa bisa masuk lewat Bea dan Cukai. Setelah barang disimpan di gudang kemudian dirazia, ini namanya jebakan,” kata Abidin, kemarin.
“Jika aturan itu diterapkan di Batam, maka Batam tidak memiliki keistimewaan sama sekali,” katanya, lagi.
Abidin juga mengeluhkan masih diterapkannya master list untuk barang-barang konsumsi. Menurut dia kebijakan ini sering menjadi penghambat arus lalu lintas barang ke kawasan FTZ.
Menanggapi keluhan tersebut, Ketua Dewan Kawasan (DK) FTZ BBK yang juga Gubernur Kepulauan Riau, HM. Sani, mengatakan akan segera berkoordinasi dengan instansi terkait. Jika masalahnya terkait persoalan internal, maka cukup diselesaikan di daerah.
“Tapi untuk keluhan yang menyangkut kebijakan pusat, ya akan kita sampaikan ke pusat,” kata Sani, kemarin.
Dalam kesempatan itu Sani mengakui pelaksanaan FTZ di BBK belum optimal. Menurutnya ada tiga hal yang menghambat optimalisasi FTZ di Kepri itu. Yakni krisis ekonomi dunia, masalah internal yang berkaitan dengan regulasi kebijakan yang belum tuntas (PP 02) serta masalah tata ruang wilayah.
Akibatnya, kata Sani, ada beberapa investor yang belum bisa berjalan optimal rencana investasinya di Batam-Bintan-Karimun (BBK). Misalnya investor yang ingin membangun industri di Pulau Kepala Jerih terkendala RTRW karena lokasi tersebut sebelumnya dialokasikan untuk pertanian.
“Untuk dua faktor yang terakhir ini (revisi PP 02 dan RTRW), bola panasnya tidak di provinsi tapi ini jadi kewenangan pusat,” kata Sani.
Sementara, soal Razia SNI, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan (Disperindag) dan ESDM Kota Batam, Ahmad Hijazi, mengatakan razia labelisasi Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) merupakan amanah undang-undang. Setiap produk yang masuk wajib dilengkapi label SNI dan buku panduan dalam Bahasa Indonesia.
Kata Hijazi, langkah ini diambil guna melindungi produk dan konsumen dalam negeri sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kebijakan ini, lanjut Hijazi, juga mereferensi UU Otonomi Daerah dan UU Kepabeanan.
“Di Batam memang ada undang-undang FTZ, tapi secara bersamaan ada 3 undang-undang lain yang harus diterapkan secara bersamaan,” kata Hijazi.
Namun Hijazi mengakui, keempat undang-undang tersebut tidak bisa ‘dipaksakan’ di Batam. Ini mengingat keistimewaan Batam sebagai salah satu kawasan FTZ. Minimal perlu proses dan sosialisasi yang cukup lama. Jika perlu ada reformulasi terhadap keempat undang-undang itu.
“Kalau dipaksakan tiap hari toko-toko elektronik di Nagoya akan tutup,” kata Hijazi.
Sebab, kata Hijazi, faktanya saat ini banyak barang-barang elektronik yang masuk ke Batam tidak dilengkapi label SNI serta buku panduan dalam Bahasa Inonesia. Bahkan banyak barang elektronik yang tidak terdaftar di BP Batam dan tidak memiliki dokumen kepabeanan.
Promosikan FTZ ke Washington
Meskipun penerapan FTZ belum efektif, namun Gubernur Kepri, Muhammad Sani, tetap otimis ada perbaikan. Ia pun tetap percaya diri mempromosikan peluang investasi Kepri ke Washington DC, Amerika, awal pekan lalu. Selama sehari di sana, gubernur bertemu dengan sejumlah pengusaha serta pejabat pemerintah terkait.
“Secara umum kita mempresentasikan potensi investasi di Kepri, terutama di kawasan free trade zone Batam, Bintan dan Karimun (FTZ-BBK),” kata Sani, kemarin.
Menurut Sani, respon pengusaha Amerika cukup bagus. Kebanyakan mereka banyak bertanya seputar aturan pemerintah. Misalnya soal kepabeanan, keimigrasian, ketenagakerjaan, sistem pengupahan dan lain sebagainya.
“Karena sistem pemerintahan Indonesia dan Amerika berbeda. Di sana seorang gubernur memiliki kewenangan penuh. Tapi di Indonesia sebagian kebijakan masih ditangani pusat,” kata Sani.
Selain bertemu dengan calon investor, Sani dan rombongan juga bertemu sejumlah manajemen perusahaan asal Amerika yang memiliki perwakilan di Kepri. Salah satunya McDermott.
Dalam kesempatan tersebut, kata Sani, pihak McDermott memastikan tidak akan hengkang dari Batam. Dalam presentasinya, pihak McDermott menyampaikan perkembangan McDermott di Batam cukup bagus sehingga perusahaan galangan kapal itu memastikan akan tetap bertahan di Batam.
“Kalau ada berita McDermott mau tutup, itu cuma isu. Saya bertemu langsung dengan top manajemen McDermott dan mereka memastikan akan bertahan di Batam,” kata Sani.
Penegasan senada juga disampaikan Ketua BP Batam, Mustofa Widjaja. Dia menyampaikan McDermott Batam tidak akan tutup. Namun dia mengakui, beberapa waktu terakhir ada beberapa perusahaan asing yang menutup operasinya di Batam.
Misalnya PT Panasonic. Namun tutupnya perusahaan asal Jepang itu bukan karena iklim investasi Batam yang kurang kondusif, melainkan karena perusahaan tersebut sudah tidak bisa berkompetisi dengan perusahaan lain yang sejenis.
“Selama ini Panasonic memproduksi baterai jenis nicad, sementara saat ini pasar banyak yang menggunakan baterai jenis lithium. Jadi Panasonic tidak bisa bertahan,” katanya. (par)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar