Tribun Batam - Jumat, 16 September 2011
BATAM, TRIBUN - Razia terhadap importir printer beberapa waktu lalu memantik kekecewaan di tubuh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri. Ketua Apindo Kepri Ir Cahya orang yang paling menyayangkan razia tersebut.
Ia mencium, adanya ketidak sepahamanan antara pejabat berwenang dalam masalah ini. "Sekarang terjadi gontok-gontokan di dalam, gimana majunya Batam ini," cetus Cahya kepada Tribun, Kamis (15/9).
Cahya menilai, dengan status Free Trade Zone (FTZ) di Batam, seharusnya tidak ada lagi permasalah-permasalah seperti itu terjadi. "Harusnya dengan status FTZ perdagangan di Batam sudah standar globalisasi bukan standar nasional lagi," ungkapnya.
Menurut Cahya, barang yang memiliki tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Makanan Luar (ML) juga tidak berlaku lagi di Batam. "PP No 2 Tahun 2009 seolah mandul. Mau dibawa kemana Batam ini," tegasnya.
Cahya menjelaskan, status FTZ saat ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menarik investor sebanyak mungkin. Sehingga, mampu membangun perekonomian di Batam, Bintan, Karimun untuk kepentingan nasional. "Kita berharap pemerintah menghargai status FTZ," terangnya.
Cahya menerangkan, jika FTZ di Batam sukses, bukan tidak mungkin Batam akan menjadi contoh atau pioner bagi daerah lain. "Indonesia punya ribuan pulau, kalau FTZ berhasil pemerintah bisa buka di beberapa pulau lainnya seperti Batam," ungkapnya.
Importir
Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam, Fatullah mengatakan importir printer yang dirazia Kementerian Perdagangan Senin lalu terdaftar di BP Batam. Begitu juga dengan ratusan printer yang diamankan, sudah didaftarkan ketika akan dibawa masuk ke Batam.
"Izin dari BP ada. Pada saat BP berikan izin, barangnya belum sampai. Tapi kami sudah memberikan persyaratan harus sesuai ketentuan," kata Fatullah di Batam Centre, Kamis (15/9).
Meski posisi Batam sebagai kawasan pelabuhan bebas perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ), pemerintah pusat tetap punya peraturan untuk melindungi konsumen dan pasar dalam negeri. Seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan yang dijadikan dasar razia.
Manurut Fatullah, razia yang dilakukan pemerintah pusat bertujuan untuk mengawasi barang-barang yang tidak sesuai ketentuan. Salah satu aturannya yaitu harus disertakan buku petunjuk dalam Bahasa Indonesia.
"Salah satu hal yang diatur dalam Kepmendag ini adalah barang konsumsi seperti barang elektronik, harus ada label. Labelnya berupa buku penjelasan atau manual book berbahasa Indonesia," kata Fatullah.
Namun diakui Fatullah, keputusan menteri tersebut baru diterbitkan akhir 2010 lalu. Sehingga perlu diperiksa apakah barang milik PT Mega Com yang diamankan tersebut masuk ke Batam sebelum atau setelah keputusan menteri berlaku. Jika barang tersebut masuk sebelum peraturan baru berlaku, maka tidak ada masalah. Oleh karena itu perlu untuk ditelusuri.
"Kalau saya tidak salah sekitar bulan Desember lalu keputusannya. Sudah disosialisasikan kepada para pengusaha. Hanya karena ini produknya dari luar negeri mungkin perusahaannya butuh waktu untuk memproduksi buku manual berbahasa Indonesia. Ini yang perlu ditelusuri," kata Fatullah.
Ketua Perdagangan, Logistik dan Perhubungan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Pusat, Harry Warganegara Harun menilai lain. Menurutu FTZ merupakan salah satu keunggulan Batam tapi juga sekaligus menjadi tantangan.
Kata dia, Indonesia merupakan target pasar yang paling besar untuk produk-produk luar negeri. Oleh karena itu pemerintah harus punya aturan untuk melindungi pasar dalam negeri. Salah satunya dengan mewajibkan adanya SNI atau manual book bahasa Indonesia.
"Supaya Indonesia punya nilai tawar dan bisa membuat pertahanan (defense). FTZ bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. FTZ hanya konsep delay," kata Harry.(tik)
Editor : dedy suwadha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar