Gubernur Kepulauan Riau, H Muhammad
Sani, terus melobi dan mendesak pemerintah pusat untuk memberikan
kemudahan berinvestasi di Kepri. Salah satunya, percepatan revisi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan
Kepabeanan dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran
Barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Selasa (10/1) kemarin, Sani yang ditemani Kepala Biro Protokol dan Humas Pemprov Kepri Misbardi, langsung menemui Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sani menyampaikan perkembangan investasi di Kepri dan permasalahannya. Ia juga meminta semua permasalahan yang menghambat dapat segera diselesaikan, supaya mempercepat laju invetasi di Kepri.
Hatta sendiri langsung menyanggupi. Rencananya, pada 18 Januari ini, Hatta akan ke Kepri dan memberi hadiah terindah untuk kemajuan ekonomi Kepri.
Meski belum mau menyebutkan apa hadiah terindah itu, namun informasi yang diperoleh Batam Pos di Kementerian Ekonomi dan Sekretariat Negara menyebutkan, hadiah terindah itu adalah revisi PP Nomor 02 Tahun 2009 yang sudah diteken Presiden SBY. Artinya, sudah lahir PP baru pengganti PP 02.
Di hadapan Hatta, Sani menyerahkan berbagai usulan dan harapan guna mempercepat pembangunan di Kepri. Antara lain, meminta pelabuhan Batam dapat ditetapkan menjadi pelabuhan pintu masuk barang untuk kawasan FTZ-BBK.
Terutama dalam mengantisipasi Permentanian No.89/Permentan/OT/140/12/2011, soal pemasukan barang-barang produk pertanian, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran yang harus melalui tiga pelabuhan (Jakarta, Medan, Surabaya) dan satu bandara (Soekarno-Hatta). Berdasarkan Permen Kelautan No.15/MEN/2011, Batam/Kepri tidak ditunjuk sebagai pelabuhan tempat pemasukan, padahal Batam, Bintan dan Karimun merupakan kawasan FTZ.
Selain itu, saat ini pemberian kuota dan Izin Pemasukan Barang Produk Pertanian, seperti telur, daging, daging ayam berada di Dirjen Pertanian/Dirjen Peternakan. Padahal sesuai dengan Undang-undang nomor 44 tahun 2007 tentang FTZ hal ini dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan Batam, Bintan, Karimun.
”Kami usulkan agar untuk pemberian Kuota dan Izin Pemasukan Barang produk pertanian dilimpahkan kepada BP Batam, Bintan, Karimun,” kata Sani.
Sani juga minta Kepri bisa melakukan impor kebutuhan bahan pokok dan pangan. Ini karena, di Kepulauan Riau pada bulan-bulan tertentu, biasanya pada November sampai dengan Februari ombak laut sangat tinggi, sehingga mengganggu distribusi barang yang diangkut dengan kapal laut. Akibatnya terjadi kelangkaan barang hal ini memicu naiknya harga barang-barang di pasar yang cukup tinggi.
”Kami minta pada bulan-bulan tersebut diizinkan impor, khususnya kebutuhan pokok dan pangan, apalagi pada bulan-bulan tersebut dilakukan penghitungan KHL (kebutuhan hidup layak) untuk penetapan UMK yang berpotensi menimbulkan demonstrasi buruh,” kata mantan Bupati Karimun ini.
Tak hanya itu, masih diberlakukannya SKI (Surat Keterangan Import) oleh Balai POM, memberatkan pengusaha dan menimbulkan biaya yang tinggi dan birokrasi, padahal izin import tersebut sesuai dengan UU No. 44 tahun 2007 tentang FTZ, izin import cukup oleh Badan Pengusahaan FTZ setempat. “Usulan kita sebaiknya SKI tidak diperlukan,” kata Sani ke Hatta.
Ia juga minta agar NIK cukup diterbitkan oleh Kepala Bea dan Cukai setempat di kawasan FTZ-BBK. Karena selama ini banyak hambatan. Sebab, sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan No. 63/PMK 04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan, bahwa seluruh importir wajib registrasi NIK (Nomor Identitas Kepabeanan) mulai 1 Juli 2011, sementara pedoman teknis No. Per22.BC/2011 yang menetapkan bahwa dapat diurus di kantor pelayanan utama kawasan perdagangan bebas FTZ belum dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama setempat. “Usulan kita, sebaiknya NIK yang lama masih tetap dapat diberlakukan,” pinta Sani.
Menurut Gubernur, Pengurusan NIK saat ini dikeluarkan oleh Dirjend Bea dan Cukai KEMENKEU (di Jakarta) yang prakteknya memakan waktu yang lama, biaya yang tinggi bagi calon pengusaha importir. Usulan agar NIK cukup di terbitkan oleh Kepala Bea dan Cukai setempat di kawasan FTZ-BBK.
Dalam kesemptan tersebut, Gubernur juga membicarakan soal perluasan FTZ di Karimun. Juga penyatuan FTZ di Bintan. Malah, untuk Batam, ada kemungkinan penambahan wilayah FTZ ke Tanjung Sauh.
Dalam pertemuan selama hampir satu jam itu, Sani tampak puas. Karena ada kemajuan-kemajuan yang akan didapat Kepri. Termasuk soal PP 02 Tahun 2009 yang direvisi. Karena PP ini dirasakan oleh para pengusaha kurang pro-bisnis, tidak sejalan dengan semangat UU FTZ No. 44 tahun 2007, yang seharusnya memberikan kemudahan kepada pengusaha sebagai kekhususan kawasan FTZ. “Ini semua untuk kemajuan ekonomi Kepri,” kata Sani. (nur)
Selasa (10/1) kemarin, Sani yang ditemani Kepala Biro Protokol dan Humas Pemprov Kepri Misbardi, langsung menemui Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sani menyampaikan perkembangan investasi di Kepri dan permasalahannya. Ia juga meminta semua permasalahan yang menghambat dapat segera diselesaikan, supaya mempercepat laju invetasi di Kepri.
Hatta sendiri langsung menyanggupi. Rencananya, pada 18 Januari ini, Hatta akan ke Kepri dan memberi hadiah terindah untuk kemajuan ekonomi Kepri.
Meski belum mau menyebutkan apa hadiah terindah itu, namun informasi yang diperoleh Batam Pos di Kementerian Ekonomi dan Sekretariat Negara menyebutkan, hadiah terindah itu adalah revisi PP Nomor 02 Tahun 2009 yang sudah diteken Presiden SBY. Artinya, sudah lahir PP baru pengganti PP 02.
Di hadapan Hatta, Sani menyerahkan berbagai usulan dan harapan guna mempercepat pembangunan di Kepri. Antara lain, meminta pelabuhan Batam dapat ditetapkan menjadi pelabuhan pintu masuk barang untuk kawasan FTZ-BBK.
Terutama dalam mengantisipasi Permentanian No.89/Permentan/OT/140/12/2011, soal pemasukan barang-barang produk pertanian, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran yang harus melalui tiga pelabuhan (Jakarta, Medan, Surabaya) dan satu bandara (Soekarno-Hatta). Berdasarkan Permen Kelautan No.15/MEN/2011, Batam/Kepri tidak ditunjuk sebagai pelabuhan tempat pemasukan, padahal Batam, Bintan dan Karimun merupakan kawasan FTZ.
Selain itu, saat ini pemberian kuota dan Izin Pemasukan Barang Produk Pertanian, seperti telur, daging, daging ayam berada di Dirjen Pertanian/Dirjen Peternakan. Padahal sesuai dengan Undang-undang nomor 44 tahun 2007 tentang FTZ hal ini dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan Batam, Bintan, Karimun.
”Kami usulkan agar untuk pemberian Kuota dan Izin Pemasukan Barang produk pertanian dilimpahkan kepada BP Batam, Bintan, Karimun,” kata Sani.
Sani juga minta Kepri bisa melakukan impor kebutuhan bahan pokok dan pangan. Ini karena, di Kepulauan Riau pada bulan-bulan tertentu, biasanya pada November sampai dengan Februari ombak laut sangat tinggi, sehingga mengganggu distribusi barang yang diangkut dengan kapal laut. Akibatnya terjadi kelangkaan barang hal ini memicu naiknya harga barang-barang di pasar yang cukup tinggi.
”Kami minta pada bulan-bulan tersebut diizinkan impor, khususnya kebutuhan pokok dan pangan, apalagi pada bulan-bulan tersebut dilakukan penghitungan KHL (kebutuhan hidup layak) untuk penetapan UMK yang berpotensi menimbulkan demonstrasi buruh,” kata mantan Bupati Karimun ini.
Tak hanya itu, masih diberlakukannya SKI (Surat Keterangan Import) oleh Balai POM, memberatkan pengusaha dan menimbulkan biaya yang tinggi dan birokrasi, padahal izin import tersebut sesuai dengan UU No. 44 tahun 2007 tentang FTZ, izin import cukup oleh Badan Pengusahaan FTZ setempat. “Usulan kita sebaiknya SKI tidak diperlukan,” kata Sani ke Hatta.
Ia juga minta agar NIK cukup diterbitkan oleh Kepala Bea dan Cukai setempat di kawasan FTZ-BBK. Karena selama ini banyak hambatan. Sebab, sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan No. 63/PMK 04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan, bahwa seluruh importir wajib registrasi NIK (Nomor Identitas Kepabeanan) mulai 1 Juli 2011, sementara pedoman teknis No. Per22.BC/2011 yang menetapkan bahwa dapat diurus di kantor pelayanan utama kawasan perdagangan bebas FTZ belum dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Utama setempat. “Usulan kita, sebaiknya NIK yang lama masih tetap dapat diberlakukan,” pinta Sani.
Menurut Gubernur, Pengurusan NIK saat ini dikeluarkan oleh Dirjend Bea dan Cukai KEMENKEU (di Jakarta) yang prakteknya memakan waktu yang lama, biaya yang tinggi bagi calon pengusaha importir. Usulan agar NIK cukup di terbitkan oleh Kepala Bea dan Cukai setempat di kawasan FTZ-BBK.
Dalam kesemptan tersebut, Gubernur juga membicarakan soal perluasan FTZ di Karimun. Juga penyatuan FTZ di Bintan. Malah, untuk Batam, ada kemungkinan penambahan wilayah FTZ ke Tanjung Sauh.
Dalam pertemuan selama hampir satu jam itu, Sani tampak puas. Karena ada kemajuan-kemajuan yang akan didapat Kepri. Termasuk soal PP 02 Tahun 2009 yang direvisi. Karena PP ini dirasakan oleh para pengusaha kurang pro-bisnis, tidak sejalan dengan semangat UU FTZ No. 44 tahun 2007, yang seharusnya memberikan kemudahan kepada pengusaha sebagai kekhususan kawasan FTZ. “Ini semua untuk kemajuan ekonomi Kepri,” kata Sani. (nur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar