Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Senin, 16 Januari 2012

Izin Mal dan IMB Diobral

BATAM- Forum Diskusi yang digelar Haluan Kepri di Press Room Gedung Haluan Kepri Batam, Kamis (12/1) lalu yang mengangkat tema "Prospek Investasi Kepri 2012" berlansung hangat. Empat panelis yang dihadirkan merupakan orang-orang yang sangat menguasai topik yang dibahas.

Membahas investasi di Kepri, tidak bisa lepas dari kondisi investasi Batam saat ini. Karena topik investasi tidak hanya bagaimana cara untuk mendatangkan investor ke Batam, tetapi juga merawat investor yang ada. Hanya saja, pembahasan dalam hal merawat investor tidak terbahas menditail karena keterbatasan waktu yang ada.

Seperti yang dipaparkan dalam dua tulisan terdahulu, permasalahan carut-marut kepastian hukum berdampak besar kondisi investasi di Batam. Di akhir diskusi, topiki menyerempet tentang investasi properti, yaitu perumahan, ruko dan pusat perbelanjaan. Dalam diskusi tersebut tersirat bahwa izin mal dan IMB perumahan seolah diobral, diberikan terus menerus kepada pengusaha tanpa melalui mekanisme pembahasan dan penelitian lebih mendalan.

Pimpinan Redaksi Haluan Kepri, H Ahmad Zulkani yang mendapat kesempatan pertama dalam menanggapi materi yang telah dipaparkan oleh empat panelis, Direktur Investasi, dan Marketing Badan Pengusahaan (BP) Batam Rustam Hutapea, Ketua Apindo Kepri Ir Cahya, Ketua PHRI Kepri Rudy Chua yang juga anggota DPRD Kepri dan Sekretaris Dewan Kawasan FTZ BBK Jon Arizal yang juga Kepala BKPM Kepri.

Disebutkan Zulkani, suatu pukulan yang sangat berat bagi Batam yang selama ini digadang-gadangkan sebagai daerah tujuan investasi, namun tidak masuk dalam peta investasi oleh BKPM. Di samping itu, permasalahan kepastian hukum, tidak hanya tentang aturan FTZ, siapa 'pemilik Batam' dalam artian siapa yang berwenang di Batam tidak diketahui, apakah BP Batam, Pemko Batam, Bea Cukai atau yang lainnya. Sementara, bagi investor hal ini sangat penting, sehingga proses masuknya investasi sulit ke Batam karena terlalu banyak birokrasi.

"Ada anekdot, katakan satu kapal saat ini sedang mengarah ke Batam, ditengah laut dicegat TNI AL, kemudian datang kapal Bea Cukai, setelah itu datang lagi Polair. Dari jauh perompak melihat dengan teropongnya. Saat ketiganya saling baku hantam memperebutkan kapal yang datang, perompak menonton dari jauh. Setelah ketiganya ambruk, perompak menikmati kapal itu," ujar Zulkani yang disambut gelak tawa oleh lebih dari 20 peserta yang hadir.

Permasalahan yang terjadi di Batam tidak terlepas dari permasalahan dari pusat. Seakan-akan Pemerintah Pusat tidak pernah iklas melihat daerah. Sudah pasti pusat punya kepentingan di daerah, tetapi tidak iklas daerah tampil. Sehingga, apapun yang dibuat di daerah, selalu masalah. Praktik-praktik inilah yang tidak pernah hilang di Indonesia.

Kasus SNI misalnya, sebagai kawasan free trade zone berdasarkan undang-undangnya, Batam seharusnya bebas produk internasional. Namun, kondisinya diwajibkan menggunakan SNI, padahal quality insurance international jauh lebih tinggi dibandingkan SNI. Hal ini semakin memperumit suasana di Batam. Penyebabnya tidak lain karena ketidak pastian hukum.

"Kita boleh optimis investasi Kepri semakin membaik, tetapi kita juga harus lihat permasasalahan yang ada, dan ini harus dituntaskan," ujar Zulkani mengakhiri tanggapannya.

Tanggapan kedua disampaikan Kepala Sub Direktorat Penanaman Modal Badan Pengusahaan Batam/Otorita Batam, Yayan Achyar. Yayan mengatakan sangat optimis investasi di Kepri semakin meningkat. Berdasarkan blue print rencana investasi 2012 di Indonesia, diperkirakan sekitar Rp230 triliun investasi akan masuk ke Indonesia. Sektor yang diminati adalah migas dan pariwisata disamping industri lainnya. Potensi ini sangat besar untuk Batam dan Kepri, apalagi Batam telah dilebihkan dalam berbagai aturan.

Dari segi ingfrastruktur, 80 persen infrastruktur Batam sudah sangat memadai. Tinggal masalah pariwisata. Dilihat dari sisi tingkat hunian hotel, Batam sangat tinggi, tetapi nilainya rendah. Hal ini tentunya menjadi tanda tanya besar.

Diketahui, ada dua jenis izin, yaitu izin dari pemerintah pusat dan izin dari pemerintah daerah.  Kenyataan yang terjadi di Batam, ada ruko yang dalam 3 tahun memiliki izin ruko, kemudian tahun ke empat izinnya berubah menjadi hotel. Tingkat hunian hotel ruko ini cukup besar, akibatnya, bisnis hotel besar terganggu. Inilah yang seharusnya lebih ini di perhatikan kedepan.

Disamping itu, perkembangan penelitian yang semakin maju juga telah mewajibkan sebuah kawasan industri untuk memikirkan masalah limbah untuk mengatasi dampak lingkungannya karena sangat berkaitan dengan keamanan, kesehatan dan penghijauan (ketersediaan udara bersih).

"Kini kita lihat hotel, tarif hotel di batam termurah, ruko dalam tiga tahun berubah fungsi. Batam tidak boleh begitu, jika memang ingin meningkatkan investasi di Batam, hal seperti ini harus dirubah," ujar Yayan.

Belum lagi ada investor yang telah siap menanamkan investasinya Rp1,5 triliun, sudah mendapat izin dari pemerintah pusat. Namun, dalam izin pelaksanaan di daerah sulit, TDP tidak keluar, akibatnya investor lari.

Sebagai kawasan bebas investasi, regulasi perizinan PMA sangat mudah, hanya saja dalam pengurusan izin daerah masih lama yang memakan waktu berbulan-bulan.

"Kita harusnya satu, jika harus lari 150 km/jam, semua harus lari 150 km/jam, jangan lagi ada yang larinya 90 km/jam," ujar Yayan.

Tanggapan ke tiga disampaikan Nana Marlina yang masih memiliki korelasi dengan pandangan Yayan Achyar. Disebutkannya, investasi properti tidak bisa dipisahkan dengan investasi-investasi lainnya yang ada di Batam.

Kondisi real Batam saat ini, hampir 50 persen kawasan darat di gunakan untuk investasi rumah dan ruko. Persentase pembangunan rumah dan ruko tersebut bahkan mungkin lebih besar bila pemerintah memaparkannya secara riil. Sayangnya, data tersebut hingga kini belum di publis kepada masyarakat.

Kita masih ingat, beberapa kali baik Pemko Batam maupun Otorita Batam yang kini berganti nama menjadi BP Batam menyampaikan ke publik bahwa pertumbuhan penduduk Batam sangat tinggi. Bahkan, jumlah penduduk Batam tidak pernah di prediksi mencapai 1,1 juta jiwa seperti saat ini.

Dengan realisasi tersebut, kita tahu, seharusnya pemerintah juga mencarikan solusi perumahan. Karena minimnya lahan di Batam akan menyulitkan dalam memenuhi kebutuhan papan. Karenanya, konsep rumah vertikal sudah harus diwajibkan di Batam. Namun, kenyataanya, hingga kini belum ada ketegasan dari pemerintah agar pengembang di Batam melakukan pembangunan vertikal.

Melihat konsep pembangunan Singapura, sejak awal negara tersebut telah mendisain propertinya sedemikian rupa. Sehingga hunian di negara tersebut dibangun secara vertikal, bukan horizontal. Sementara, Batam yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk sangat tinggi seolah memberikan keleluasaan kepada pengembang untuk membangun pemukiman secara horizontal yang sangat memakan banyak kawasan. Bisa dilihat, kawasan Batam Centre dalam beberapa tahun telah menjadi kawasan padat perumahan.

Belum lagi izin ruko diberikan bersamaan dengan izin perumahan. Akibatnya, banyak ruko-ruko di Batam yang tidak digunakan, yang akhirnya memperburuk perwajahan Kota Batam.

Karena semakin banyaknya ruko di Batam, pemilik kemudian mengubahnya menjadi hotel melati. Hal inilah yang kemudian berdampak pada harga hotel besar.

Disamping itu, pemerintah juga sangat mudah dalam memberikan izin pusat perbelanjaan di Batam. Bahkan, banyak diantara masyarakat Batam yang tidak mengetahui ada pusat perbelanjaan di daerah lain karena saking banyaknya pusat perbelanjaan yang berdiri di Batam.

Karena banyaknya pusat perbelanjaan berdiri di Batam, mengakibatkan satu sama lain kanibal. Saat satu pusat perbelanjaan ramai, yang lain sepi. Akibatnya tidak mampu beroperasi secara maksimal. Tidak heran bila banyak ditemui pusat perbelanjaan yang hanya beroperasi satu atau dua lantai saja. Hal ini tentunya juga membawa dampak pada kesejahteraan pegawai yang bekerja di pusat perbelanjaan tersebut.

Sayangnya, karena keterbatasan waktu yang ada, panelis tidak bisa menjawab banyak. Seperti yang disampaikan Ketua Apindo Kepri Ir Cahya. Tentang pembangunan properti serta izin pusat perbelanjaan seharusnya ditanggapi oleh pemerintah.

"Pemerintah tidak pernah membatasi izin pembangunan mall atau ruko. Akibatnya bisa kita lihat sekarang, semua mall megap-megap, hanya dua mall saja yang hidup. Ini tanggung jawab pemerintah. Tidak ada kajian tentang pembangunan ini. Pengusaha mendapatkan izin pastinya melakukan pembangunan. Pengusaha tidak satu, banyak pengusaha. Wasitnya sudah pasti pemerintah, bila pemerintah tegas, pengusaha akan ikut aturan itu," ujar Cahya.

Sementara itu, Rudi Chua lebih banyak menanggapi tentang ketidakpastian hukum di Batam. Untuk itu, seluruh stakeholder harus bersatu memperjuangkannya kepada pemerintah pusat.

Disisi lain, Jhon Arizal menanggapi optimisme perkembangan investasi di Batam, Bintan dan Karimun. Menurutnya masih ada harapan apabila semua pihak bekerjasama. Ia juga mengatakan, pemerintah Provinsi tidak menutup-nutupi permasalahan yang ada, namun menyampaikan apa adanya.

Ia juga mengatakan pemerintah dan dewan kawasan selalu mengakomodir usulan pengusaha. Pembahasan PP 45, 46 dan 47, kemudian PP 02 yang saat ini sedang menunggu hasil revisi di berikan kepada Batam, Bintan dan Karimun. Selain itu juga, Pemprov Kepri baru-baru ini telah mengajukan Batam memiliki izin untuk mengimpor produk buah dan sayur secara lansung. Karena berdasarkan Permentan nomer 89 dan 91 tahun 2011, Batam tidak masuk dalam daftar pelabuhan yang boleh mengimpor lansung buah dan sayur. (pti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar