Wakil Ketua Komisi VI DPR RI yang
membidangi BUMN, Agus Hermanto melanjutkan perjalanan dinas di Batam
dengan menemui Kepala BP Batam Mustofa Widjaja, Selasa (20/12).
Oleh Kepala BP Batam, Agus Hermanto beserta rombongan yang berjumlah 24 orang diterima di ruang rapat lantai 8 gedung BP Batam.
Dalam pertemuan ini rombongan Komisi VI menanyakan seluk-beluk perizinan di Batam selepas ditetapkan menjadi kawasan perdagangan bebas. Dalam keterangan persnya Direktur Humas BP Batam Dwi Joko Wiwoho menjelaskan sesungguhnya tidak ada masalah dengan perizinan di Batam. Bahkan dengan menggunakan aplikasi berbasis web pengelolaan perizinan di Batam jauh lebih cepat dan ringkas.
”Sekarang tidak perlu lagi pengurusan izin dengan tatap muka, pemohon cukup mengisi aplikasi yang ada di web,” jelas Djoko.
Untuk izin keluar – masuk barang misalnya, dengan persyaratan lengkap pengurusan izin hanya memerlukan waktu empat hari saja.
”Kalau untuk izin PMA (penanaman modal asing) perizinan di BP Batam hanya perlu waktu empat hari,” imbuh Djoko.
Selama ini yang dirasa lama ialah pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang bisa memakan waktu dua minggu. ”TDP harus diurus di Menkum-HAM dan seluruh Indonesia harus ke sana memang,” jelas Djoko.
Secara umum, lanjut pria berambut ikal ini, BP Batam mengelola permohonan izin yang masuk sesuai prosedur tetap yang telah dibuat. ”Tidak ada keinginan untuk memperlambat,” tegasnya.
Djoko menambahkan masalah lain yang ditanyakan Komisi VI ialah lahan perusahaan galangan kapal PT Koja Bahari di Kabil yang hingga kini belum kelar juga. Djoko memastikan tidak ada hambatan yang dibuat-buat dalam pengurusan lahan galangan kapal BUMN itu.
Sehari sebelum bertemu BP Batam, Komisi VI bertemu dengan pengusaha dan Pemerintah Provinsi Kepri di Graha Kepri Batam Centre, Senin (19/12). Di sini pengusaha mengeluhkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan masterlist.
Pada kesempatan itu Komisi VI DPR RI mendukung penghapusan labelisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk elektronik dan penerapan masterlist dalam pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone/FTZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
Namun Djoko menjelaskan bahwa sesungguhnya masterlist telah dihapus dan tentang SNI untuk barang yang re-ekspor tidak perlu lagi kode SNI.
”SNI diperlukan untuk melindungi, jangan sampai, barang yang bisa diproduksi dalam negeri tetapi kita masih impor,” jelasnya. (nur)
Oleh Kepala BP Batam, Agus Hermanto beserta rombongan yang berjumlah 24 orang diterima di ruang rapat lantai 8 gedung BP Batam.
Dalam pertemuan ini rombongan Komisi VI menanyakan seluk-beluk perizinan di Batam selepas ditetapkan menjadi kawasan perdagangan bebas. Dalam keterangan persnya Direktur Humas BP Batam Dwi Joko Wiwoho menjelaskan sesungguhnya tidak ada masalah dengan perizinan di Batam. Bahkan dengan menggunakan aplikasi berbasis web pengelolaan perizinan di Batam jauh lebih cepat dan ringkas.
”Sekarang tidak perlu lagi pengurusan izin dengan tatap muka, pemohon cukup mengisi aplikasi yang ada di web,” jelas Djoko.
Untuk izin keluar – masuk barang misalnya, dengan persyaratan lengkap pengurusan izin hanya memerlukan waktu empat hari saja.
”Kalau untuk izin PMA (penanaman modal asing) perizinan di BP Batam hanya perlu waktu empat hari,” imbuh Djoko.
Selama ini yang dirasa lama ialah pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang bisa memakan waktu dua minggu. ”TDP harus diurus di Menkum-HAM dan seluruh Indonesia harus ke sana memang,” jelas Djoko.
Secara umum, lanjut pria berambut ikal ini, BP Batam mengelola permohonan izin yang masuk sesuai prosedur tetap yang telah dibuat. ”Tidak ada keinginan untuk memperlambat,” tegasnya.
Djoko menambahkan masalah lain yang ditanyakan Komisi VI ialah lahan perusahaan galangan kapal PT Koja Bahari di Kabil yang hingga kini belum kelar juga. Djoko memastikan tidak ada hambatan yang dibuat-buat dalam pengurusan lahan galangan kapal BUMN itu.
Sehari sebelum bertemu BP Batam, Komisi VI bertemu dengan pengusaha dan Pemerintah Provinsi Kepri di Graha Kepri Batam Centre, Senin (19/12). Di sini pengusaha mengeluhkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan masterlist.
Pada kesempatan itu Komisi VI DPR RI mendukung penghapusan labelisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk elektronik dan penerapan masterlist dalam pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone/FTZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
Namun Djoko menjelaskan bahwa sesungguhnya masterlist telah dihapus dan tentang SNI untuk barang yang re-ekspor tidak perlu lagi kode SNI.
”SNI diperlukan untuk melindungi, jangan sampai, barang yang bisa diproduksi dalam negeri tetapi kita masih impor,” jelasnya. (nur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar