Selasa, 5 Maret 2013 (sumber : Kepribangkit)
Hambatan utama bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya untuk industry shipyard di Batam adalah, lahan. Konon, lahan shipyard itu sudah dikuasai oleh mafia lahan shipyard asal Singapura. Benarkah?
INVESTIGASI mengenai lahan shipyard di Batam, belum lama ini, mengantarkan kami sampai ke sebuah lahan ideal untuk industry shipyard di Sekupang, Batam. Lautnya dalam dan bibir pantainya pun sangat layak untuk shipyard. Lahannya juga sudah matang, tinggal buka industrynya saja.
Setelah berkomunikasi dengan warga keturunan yang bertugas menjaga lokasi itu, terungkap bahwa lahan itu milik seorang warga negara Singapura bernama Mr. Goh.
“Kalau soal harga, Mr. Goh yang memutuskan,” ungkap sang penjaga lahan tersebut.
Siapa sebenarnya Mr. Goh? Menurut beberapa sumber, warga negara Singapura ini bukan saja menguasai satu lokasi lahan shipyard. Tapi juga beberapa area strategis shipyard lain di Batam juga sudah dikuasainya. Dan meskipun berniat menjualnya, namun lahan yang telah dikuasai Mr. Goh ini dilego dengan harga berkali-kali lipat. Kok mahal sekali? “Ini semua sudah sertifikat pak,” tambah sang penjaga lahan menyakinkan.
Begitulah. Bagi investor asing atau domestic yang mau invest di sektor industry shipyard pasti akan menghadapi kendala yang satu ini. Menyinggung mengenai ketersediaan lahan itu, Kasubdit Humas BP Batam, Ilham Eka Hartawan mengataka, lahan shipyard masih ada, tapi sudah hampir habis. Mengenai letak dan luasnya, belum bisa dipastikan. Harga sewa lahan industri shipyard di Kabil sekitar Rp 75 ribu per meter. “Itu tergantung lokasi. Tiap lokasi beda harga sewa,” ungkap Ilham menjawab Putra Kelana.
Pembangunan industry shipyard membutuhkan lahan yang luas. Batam memiliki lahan sewa untuk shipyard sekitar 6.700 hektar dengan garis tepi pantai sepanjang 18 km. Variasi kedalaman pantainya mencapai 6 sampai 18 meter. Gambaran topografi yang cukup representative untuk mengembangkan industry shipyard. Itulah makanya, Batam menjadi surga industri shipyard.
Selain itu, factor kedekatan Batam dengan Singapura juga menjadi factor penting. Kondisi ini mendukung kemudahan pengadaan barang industri perkapalan. Sehingga, barang yang dipesan dapat sampai hanya dalam waktu sehari. Sehingga, pengerjaan kapal tak terhambat pasokan bahan. Kondisi ini sangat menguntungkan mengingat mayoritas bahan pembuatan kapal masih diimpor dari Jepang dan Eropa melalui Singapura.
Apalagi, biaya sewa lahan industri shipyard di Singapura dan Malaysia jauh lebih mahal. Terlebih lagi, Singapura membatasi perusahaan shipyard karena membutuhkan areal yang luas dan Singapura tak mau negaranya tercemar limbah akibat industry ini. Praktis, kondisi ini menguntungkan Batam. Industri shipyard di Batam makin kemilau dengan pertumbuhan yang pesat.
Meski demikian, untuk memperoleh izin pendirian industri shipyard bukan perkara mudah. Pengusaha harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah mengenai dampak lingkungan. Ini syarat mutlak, mengingat industri ini dibangun di tepi pantai. Biasanya, melalui proses reklamasi, menggunduli mangrove.
Selain reklamasi, ada satu hal lagi yang harus dipegang oleh pengusaha shipyard. Mereka tidak boleh melakukan sandblasting menggunakan pasir silica. Penggunaan pasir silica menimbulkan polusi yang merugikan kesehatan masyarakat sekitar.
Menurut Ilham, pihak BP Batam telah mensosialisasikan hal ini kepada para pengusaha shipyard. Namun begitu, pihaknya tidak memantau apakah para pengusaha tersebut mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah.
“Sebagaimana yang pernah saya sampaikan, BP Batam semangat go green. Pengusaha shipyarad yang melakukan penggundulan mangrove harus mengganti dengan menanamnya di tempat lain,” ujar Ilham.
Industri shipyard diakui vital dalam pergerakan ekonomi di Batam. Industri dengan jumlah tenaga kerja yang besar. Jika mereka tinggal di kota ini dengan mengajak keluarganya, industri-industri lain pun ikut tergerakkan. (sas/nurul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar