30 Maret 2012 (sumber Koran Jakarta)
Kawasan Ekonomi Khusus I Kepastian Regulasi dan Besaran Pajak Masih Menghambat
ANTARA/FERI
Sejak dikukuhkan pemerintah tahun 2007 lalu sebagai
Kawasan FTZ BBK (Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun) di Provinsi
Kepulauan Riau, sampai sekarang kawasan itu diyakini masih menyimpan
daya tarik investasi asing. Bahkan kawasan FTZ BBK diperkirakan masih
mampu menyaingi kawasan sejenis di negara tetangga, seperti Malaysia,
Vietnam, dan Cina.
Sebagai kawasan khusus, FTZ BBK memiliki potensi yang tidak dapat tergantikan dengan kawasan ekonomi lainnya, seperti letak yang strategis, ketersediaan lahan yang cukup, dan sumber daya manusia yang berlimpah.
Hal tersebut diakui oleh Duta Besar RI untuk Singapura, Abdul Hadi, ketika berkunjung ke Tanjung Pinang beberapa waktu lalu. Ia mengatakan FTZ BBK masih menjadi andalan investasi nasional hingga saat ini, dan diyakini mampu bersaing dengan kawasan industri lainnya di Asia Tenggara.
"Saya yakin FTZ BBK mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara tetangga karena letaknya yang dekat dengan pusat perdagangan dunia, Singapura, dan berada di jalur perdagangan tersibuk di dunia, yakni Selat Malaka," kata Abdul Hadi.
Nilai lebih yang dimiliki FTZ BBK antara lain ketersediaan lahan yang sangat luas, sumber daya manusia (SDM) yang andal, serta pasar yang sangat menarik. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, hal itu sangat berbeda jauh.
Berkaitan dengan itu, KBRI di Singapura terus berupaya mempromosikan BBK kepada investor di Singapura. KBRI di Singapura juga berperan aktif menyinergikan hubungan antara Indonesia, khususnya FTZ BBK, dan Singapura. Bagi Abdul Hadi, sinergi tersebut sangat penting mengingat peran Singapura cukup besar dalam pertumbuhan investasi di BBK karena saat ini sebagian besar investor yang menanamkan modalnya di BBK berasal dari Singapura.
Kota pusat perdagangan itu juga diyakini akan mengalami titik jenuh sehingga, mau tidak mau, pada saatnya nanti akan mencari wilayah lain yang terdekat untuk mengalihkan sebagian industrinya karena keterbatasan lahan.
Keunggulan kawasan FTZ BBK juga diungkapkan CEO Kawasan Industri Latrade Batam, Teo Pea Ngo. Menurut dia, FTZ BBK, khususnya Batam, sangat bersaing dibanding Vietnam atau Cina dalam hal kemenarikan investasi. Contohnya, upah minimum di Cina saat ini sudah mencapai 250 dollar AS per bulan atau sekitar 2,5 juta rupiah per bulan, Thailand sekitar 200 dollar AS, dan Vietnam relatif sama dengan Indonesia, sekitar 120 sampai 140 dollar AS per bulan.
Tidak hanya itu, kualitas tenaga kerja Indonesia, khususnya di BBK, juga relatif lebih baik dibanding tenaga kerja di Vietnam atau Malaysia. Yang lebih penting lagi, ketersediaan lahannya sangat cukup, sedangkan Malaysia dan Vietnam tenaga kerjanya terbatas.
Penyempurnaan Aturan
Di balik potensi yang tersimpan, kawasan FTZ BBK masih menyisakan sejumlah tantangan terkait kendala investasi, seperti pengenaan tarif pajak perusahaan atau pajak badan yang masih besar, yakni 30 persen. Padahal, Hong Kong saja mengenakan pajak badan hanya 15 persen, Singapura 17 persen, dan Cina 25 persen. Hal itu, menurut Teo Pea Ngo, menjadikan peringkat daya saing Indonesia masih di bawah Vietnam, Malaysia, dan Cina.
Kemudian, regulasi di BBK dinilai banyak investor sering berubah-ubah dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor dalam berusaha. Padahal, pengusaha biasanya membuat rencana bisnis setidaknya untuk jangka waktu 5 atau 10 tahun. Jika regulasinya berubah setiap tahun, pengusaha harus melakukan penyesuaian kembali.
Teo menambahkan Pemerintah Indonesia semestinya belajar dari Cina yang memberi banyak kemudahan bagi investor untuk masuk ke negaranya. Untuk itu, berbagai insentif dan kemudahan berinvestasi diberikan, kemudian pajak direndahkan. Ketika perusahaan tersebut sudah berhasil dalam beberapa tahun kemudian, barulah pajak secara perlahan dinaikkan.
"Pemerintah Indonesia harus welcome terhadap investor asing, pajak harus lebih rendah dari negara lain, birokrasi harus efisien, pengurusan izin harus dipercepat dan persyaratannya dipermudah sehingga investor bersedia menanamkan modalnya di BBK," kata dia.
Menurut Teo, meski Batam saat ini memiliki banyak kelebihan dibanding kawasan lain di negara tetangga, ironisnya belum banyak investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Hal itu disebabkan pemerintah sendiri yang menghambatnya. Contohnya saja untuk membuat perusahaan di Batam, dibutuhkan waktu paling sedikit enam bulan dan terkadang bisa mencapai tiga tahun. gus/E-12
Sebagai kawasan khusus, FTZ BBK memiliki potensi yang tidak dapat tergantikan dengan kawasan ekonomi lainnya, seperti letak yang strategis, ketersediaan lahan yang cukup, dan sumber daya manusia yang berlimpah.
Hal tersebut diakui oleh Duta Besar RI untuk Singapura, Abdul Hadi, ketika berkunjung ke Tanjung Pinang beberapa waktu lalu. Ia mengatakan FTZ BBK masih menjadi andalan investasi nasional hingga saat ini, dan diyakini mampu bersaing dengan kawasan industri lainnya di Asia Tenggara.
"Saya yakin FTZ BBK mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara tetangga karena letaknya yang dekat dengan pusat perdagangan dunia, Singapura, dan berada di jalur perdagangan tersibuk di dunia, yakni Selat Malaka," kata Abdul Hadi.
Nilai lebih yang dimiliki FTZ BBK antara lain ketersediaan lahan yang sangat luas, sumber daya manusia (SDM) yang andal, serta pasar yang sangat menarik. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, hal itu sangat berbeda jauh.
Berkaitan dengan itu, KBRI di Singapura terus berupaya mempromosikan BBK kepada investor di Singapura. KBRI di Singapura juga berperan aktif menyinergikan hubungan antara Indonesia, khususnya FTZ BBK, dan Singapura. Bagi Abdul Hadi, sinergi tersebut sangat penting mengingat peran Singapura cukup besar dalam pertumbuhan investasi di BBK karena saat ini sebagian besar investor yang menanamkan modalnya di BBK berasal dari Singapura.
Kota pusat perdagangan itu juga diyakini akan mengalami titik jenuh sehingga, mau tidak mau, pada saatnya nanti akan mencari wilayah lain yang terdekat untuk mengalihkan sebagian industrinya karena keterbatasan lahan.
Keunggulan kawasan FTZ BBK juga diungkapkan CEO Kawasan Industri Latrade Batam, Teo Pea Ngo. Menurut dia, FTZ BBK, khususnya Batam, sangat bersaing dibanding Vietnam atau Cina dalam hal kemenarikan investasi. Contohnya, upah minimum di Cina saat ini sudah mencapai 250 dollar AS per bulan atau sekitar 2,5 juta rupiah per bulan, Thailand sekitar 200 dollar AS, dan Vietnam relatif sama dengan Indonesia, sekitar 120 sampai 140 dollar AS per bulan.
Tidak hanya itu, kualitas tenaga kerja Indonesia, khususnya di BBK, juga relatif lebih baik dibanding tenaga kerja di Vietnam atau Malaysia. Yang lebih penting lagi, ketersediaan lahannya sangat cukup, sedangkan Malaysia dan Vietnam tenaga kerjanya terbatas.
Penyempurnaan Aturan
Di balik potensi yang tersimpan, kawasan FTZ BBK masih menyisakan sejumlah tantangan terkait kendala investasi, seperti pengenaan tarif pajak perusahaan atau pajak badan yang masih besar, yakni 30 persen. Padahal, Hong Kong saja mengenakan pajak badan hanya 15 persen, Singapura 17 persen, dan Cina 25 persen. Hal itu, menurut Teo Pea Ngo, menjadikan peringkat daya saing Indonesia masih di bawah Vietnam, Malaysia, dan Cina.
Kemudian, regulasi di BBK dinilai banyak investor sering berubah-ubah dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor dalam berusaha. Padahal, pengusaha biasanya membuat rencana bisnis setidaknya untuk jangka waktu 5 atau 10 tahun. Jika regulasinya berubah setiap tahun, pengusaha harus melakukan penyesuaian kembali.
Teo menambahkan Pemerintah Indonesia semestinya belajar dari Cina yang memberi banyak kemudahan bagi investor untuk masuk ke negaranya. Untuk itu, berbagai insentif dan kemudahan berinvestasi diberikan, kemudian pajak direndahkan. Ketika perusahaan tersebut sudah berhasil dalam beberapa tahun kemudian, barulah pajak secara perlahan dinaikkan.
"Pemerintah Indonesia harus welcome terhadap investor asing, pajak harus lebih rendah dari negara lain, birokrasi harus efisien, pengurusan izin harus dipercepat dan persyaratannya dipermudah sehingga investor bersedia menanamkan modalnya di BBK," kata dia.
Menurut Teo, meski Batam saat ini memiliki banyak kelebihan dibanding kawasan lain di negara tetangga, ironisnya belum banyak investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Hal itu disebabkan pemerintah sendiri yang menghambatnya. Contohnya saja untuk membuat perusahaan di Batam, dibutuhkan waktu paling sedikit enam bulan dan terkadang bisa mencapai tiga tahun. gus/E-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar