Selasa, 5 Maret 2013 (sumber : ANTARA)
Terdapat empat masalah pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun menurut pengamat ekonomi yang juga anggota DPR RI Harry Azhar Azis.
"Ada beberapa permasalahan yang membutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama para penentu kebijakan pada tingkat pusat dan daerah," kata Harry di Batam.
Masalah pertama, kata dia, adalah tingginya komponen impor bahan baku industri yang terlihat dari tingginya kontribusi indusri pengolahan terhadap PDRB Provinsi Kepri 51,48 persen.
Kedua, kapal asing masih dominan dalam kegiatan bongkar muat ekspor dan impor yang mencapai 95 persen.
"Dengan demikian, kegiatan ekspor dilaukan dengan 'free on board' dan kegiatan impor dilakukan dengan 'cost, insurance and freight'," kata Harry.
Akibat pola ekspor FoB dan impor CIF, arus devisa banyak keluar dari kegiatan perdagangan internasional yang berpotensi merugikan keuangan negara, kata Harry memaparkan.
Lalu permasalahan ketiga, konsentrasi indutri di wilayah BBK belum merata sehigga terjadi ketimpangan wilayah dan FTZ gagal.
Menurut Harry, investasi PMA dan PMDN masih terkonsentrasi di Batam.
Dan permasalahan ke empat adalah tata peraturan FTZ masih tumpang tindih serta fungsi pengawasan kepabeanan yang masih lemah.
"Hal itu tercermin dalam banyaknya regulasi yang mengatur arus barang dan jasa di FTZ sehingga rantai birokrasi pada akhirnya belum dapat seperti yang diharapkan pelaku usaha," kata Harry.
Kondisi ketidakpastian itu, kata Harry, membuka peluang kolusi antara importir dan Kanwil Bea dan Cukai sehingga penetrasi barang di pasar gelap makin marak dan sulit diberantas.
Untuk mengatasi empat masalah itu, semua pihak perlu turun tangan mngatasinya.
Mengatasi masalah besarnya komponen impor dalam bahan baku industri, ia mngatakan perlu mengembangkan komponen barang modal dengan seluruh kemampuan dalam negeri.
Lalu, dalam praktek ekspor impor, ia mengatakan perlu pengembngan infrastruktur maritim serta menciptakan regulasi yang lebih tegas.
"Penciptaan regulasi yang lebih tegas dengan mengubah pola ekspor dari FOB menjdi CIF akan sulit dilakukan tanpa dukungan infrastruktur maritim yang memadai," kata dia.
Kemudian, menjawab permasalahan konsentrasi invstasi, iamengatakan perlu pengembangan infrastruktur darat dan pelabuhan agar penanamanmodal menyebar.
Dan mengenai tumpang tindih regulasi, ia mengatakan pemerintah pusat harus terbuka mengenai batas regulasi yang mengatur tata cara perniagaan dan bongkar muat barang di FTZ BBK.
"Berbagai masukan serta saran dari pelaku usaha harus menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan regulasi," kata Harry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar