Kamis, 29 Agustus 2013 ( sumber : Batam Pos )
BATAM (BP) - Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 463/MENHUT-II/2013 salah satunya mengubah 1.834 hektare lahan
bukan hutan menjadi kawasan hutan. Keresahan muncul karena areal yang
masuk zona hutan itu, hampir seluruhnya lahan ekonomis, seperti shipyard
di Tanjunguncang, hingga kawasan bisnis tersibuk di Batam, Nagoya.
Total 213.272 hektare dari 25.260.100 hektare luas wilayah Kepri diubah statusnya. Namun, sebagian besar lahan yang diubah itu berada di Batam. 124.775 hektare kawasan hutan diubah Menhut jadi bukan hutan, 86.663 hektare diubah fungsinya, dan 1.834 hektare kawasan bukan hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Menhut dalam SK-nya, melampirkan sembilan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. Di poin d dan e, disebutkan, perubahan tersebut mempertimbangkan usulan Gubernur Kepri. Ada delapan usulan yang pernah disodorkan Gubernur Kepri, sejak 2009 atau pada masa Ismeth Abdullah hingga 2012, eranya M Sani.
Masa empat tahun itu, adalah masa lobi bagi Kepri, sampai Menhut melalui rekomendasi Tim Terpadu dan mempertimbangkan usulan Gubernur Kepri menerbitkan SK 463, 27 Juni 2013. Direktur PTSP dan Humas BP Batam Dwi Djoko Wiwoho tak menapik, berdasarkan peta yang dilampirkan dalam SK Menhut tersebut, sebagian besar kawasan investasi, masuk dalam zona hutan lindung. Menurut Djoko, ini sangat fatal dan bisa menghambat pertumbuhan investasi di kota industri ini.
“SK Menhut itu kan aneh, masak Nagoya dan Batuaji yang sudah ada aktivitas di sana sejak dulu dimasukkan jadi kawasan hutan lindung. Sementara Pulau Jeri yang dulunya hutan dan tidak ada kegiatan sama sekali malah dikatakan bukan hutan lindung. Ini kan aneh,” katanya.
Djoko mengatakan, jika SK Menhut ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan investasi di Batam. Ia mengatakan saat ini ada sejumlah investasi yang sedang dijual ke daerah lain, dan butuh tindak lanjut.
”Tidak menutup kemungkinan, dengan kasus yang ada sekarang ini, investasi akan terhambat ke Batam. Bayangkan kalau kawasan investasi saja dimasukkan jadi hutan lindung dan tidak ada ketetapan hukum,” katanya. Dilihat dari peta lampiran di SK Menhut tersebut sebagian dari wilayah Batam Kota juga masuk dalam kawasan hutan lindung, khususnya kelurahan Belian. Tanjungriau, juga sebagian besar masuk dalam kawasan hutan lindung. Sebagian besar Sekupang juga masuk dalam kawasan hutan lindung.
Djoko mengimbau kepada warga untuk tidak terlalu resah dengan keputusan tersebut. Menurutnya, SK 463/MENHUT-II/2013 masih sebatas penunjukan kawasan hutan. Menurutnya untuk penatapan masih membutuhkan waktu yang lama. ”Kemarin itu kan masih penunjukan kawasan hutan, masih ada beberapa tahapan seperti penataan batas kawasan, pemetaan kawasan baru ke penetapan kawasan hutan,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Istono, Direktur Perencanaan dan Tehnik BP Batam. Menurutnya, SK Menhut itu akan menghancurkan investasi di Batam. Menurutnya, tidak ada investor yang akan mau berinvestasi tanpa ada dukungan dari kepastian hukum atas lahan. “Investasi akan hancur, masa ada orang mau berinvestasi tanpa ada dukungan lahan,” katanya.
Ketua Apindo Kepri, Cahya mengatakan, SK Menhut Nomor 463/MENHUT-II/2013 sudah sangat meresahkan pengusaha. Menurutnya SK tersebut bahkan mengganggu investasi yang ada di Batam saat ini. Banyak pengusaha yang sudah cemas dengan terbitnya SK tersebut.
”Jangankan investasi yang akan masuk, investasi yang sudah ada saat ini sudah terganggu. Siapa investor yang mau masuk ke Batam kalau status lahannya tidak jelas.” katanya. Masuknya pusat dan kantor-kantor pemerintah ke kawasan hutan lindung juga terasa menggelitik bagi Cahya. Menurutnya, sebagai pemerintah seharusnya sudah tahu bahwa kawasan tersebut bermasalah. “Kalau pemerintah saja tidak tahu, bagaimana dengan swasta,” katanya.
Ia berharap pemerintah bisa segera bertindak sebelum semuanya semakin kacau. Menurutnya, dengan tidak adanya kepastian hukum di Batam, maka investor dari luar akan berpikir sepuluh kali untuk menanamkan modal di Batam. Sebelumnya BP Batam bersama Perbanas, BPN Wilayah Kepri, Badan Pertanahan Daerah, Kadin Batam dan asosiasi lainnya menggelar rapat bersama. Salah satunya sertifikat HPL BP Batam dan dialokasikan oleh BP Batam diusulkan agar dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku oleh BPN Batam.
Semua peserta rapat juga sepakat bahwa SK Menhut No. 463/MENHUT-II/2013, berupa penunjukan yang masih membutuhkan waktu yang lama untuk penetapan. Ia juga mengatakan lampiran berupa peta yang ada dalam SK tersebut tidak bisa jadi pedoman. Keputusan selanjutnya adalah lahan-lahan yang telah dialokasikan oleh BP Batam dan/atau yang telah diterbitkan sertifikat hak atas tanah mendapat jaminan untuk dapat dilakukan perpanjangan pembayaran UWTO oleh BP Batam dan perpanjangan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kota Batam.
Indra Sudirman, pengusaha jasa pendukung galangan kapal mengaku, terbitnya SK Menhut Nomor 463/MENHUT-II/2013 yang memasukkan hampir seluruh bibir pantai dan kawasan bisnis di Pulau Batam menjadi hutan lindung benar-benar meresahkan pelaku usaha.
Indra mengaku tak habis pikir, Menhut Zulkifli Hasan mengotak-atik dan membuat pemetaan hutan lindung baru di kawasan industri seperti Batam. Apalagi di atas peta hutan lindung itu bercokol perusahaan-perusahaan besar berskala internasional. “Batam ini dirancang sebagai kawasan investasi, kenapa direcoki dengan aturan lahan yang meresahkan seperti ini,” ujarnya. Indra menuding ada kepentingan politik di balik munculnya SK Menhut 463 itu. “Kenapa tiba-tiba mau 2014 muncul SK ini. Apa pusat ingin pengusaha Batam melobi mereka supaya pemetaan itu diubah,” katanya.
Ia berharap SK Menhut tak hanya diubah, melainkan dibatalkan. Menurut Indra, sejak SK tersebut terbit 27 Juni 2013, pengusaha resah. Apalagi, kata dia, wilayah yang masuk hutan lindung adalah kawasan produktif, bahkan dihuni masyarakat. “Masak industri perkapalan Tanjunguncang yang sudah sebegitu besar harus dipindah atau angkat kaki dari sana gara-gara SK ini,” ungkap Indra. ***
Total 213.272 hektare dari 25.260.100 hektare luas wilayah Kepri diubah statusnya. Namun, sebagian besar lahan yang diubah itu berada di Batam. 124.775 hektare kawasan hutan diubah Menhut jadi bukan hutan, 86.663 hektare diubah fungsinya, dan 1.834 hektare kawasan bukan hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Menhut dalam SK-nya, melampirkan sembilan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. Di poin d dan e, disebutkan, perubahan tersebut mempertimbangkan usulan Gubernur Kepri. Ada delapan usulan yang pernah disodorkan Gubernur Kepri, sejak 2009 atau pada masa Ismeth Abdullah hingga 2012, eranya M Sani.
Masa empat tahun itu, adalah masa lobi bagi Kepri, sampai Menhut melalui rekomendasi Tim Terpadu dan mempertimbangkan usulan Gubernur Kepri menerbitkan SK 463, 27 Juni 2013. Direktur PTSP dan Humas BP Batam Dwi Djoko Wiwoho tak menapik, berdasarkan peta yang dilampirkan dalam SK Menhut tersebut, sebagian besar kawasan investasi, masuk dalam zona hutan lindung. Menurut Djoko, ini sangat fatal dan bisa menghambat pertumbuhan investasi di kota industri ini.
“SK Menhut itu kan aneh, masak Nagoya dan Batuaji yang sudah ada aktivitas di sana sejak dulu dimasukkan jadi kawasan hutan lindung. Sementara Pulau Jeri yang dulunya hutan dan tidak ada kegiatan sama sekali malah dikatakan bukan hutan lindung. Ini kan aneh,” katanya.
Djoko mengatakan, jika SK Menhut ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan investasi di Batam. Ia mengatakan saat ini ada sejumlah investasi yang sedang dijual ke daerah lain, dan butuh tindak lanjut.
”Tidak menutup kemungkinan, dengan kasus yang ada sekarang ini, investasi akan terhambat ke Batam. Bayangkan kalau kawasan investasi saja dimasukkan jadi hutan lindung dan tidak ada ketetapan hukum,” katanya. Dilihat dari peta lampiran di SK Menhut tersebut sebagian dari wilayah Batam Kota juga masuk dalam kawasan hutan lindung, khususnya kelurahan Belian. Tanjungriau, juga sebagian besar masuk dalam kawasan hutan lindung. Sebagian besar Sekupang juga masuk dalam kawasan hutan lindung.
Djoko mengimbau kepada warga untuk tidak terlalu resah dengan keputusan tersebut. Menurutnya, SK 463/MENHUT-II/2013 masih sebatas penunjukan kawasan hutan. Menurutnya untuk penatapan masih membutuhkan waktu yang lama. ”Kemarin itu kan masih penunjukan kawasan hutan, masih ada beberapa tahapan seperti penataan batas kawasan, pemetaan kawasan baru ke penetapan kawasan hutan,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Istono, Direktur Perencanaan dan Tehnik BP Batam. Menurutnya, SK Menhut itu akan menghancurkan investasi di Batam. Menurutnya, tidak ada investor yang akan mau berinvestasi tanpa ada dukungan dari kepastian hukum atas lahan. “Investasi akan hancur, masa ada orang mau berinvestasi tanpa ada dukungan lahan,” katanya.
Ketua Apindo Kepri, Cahya mengatakan, SK Menhut Nomor 463/MENHUT-II/2013 sudah sangat meresahkan pengusaha. Menurutnya SK tersebut bahkan mengganggu investasi yang ada di Batam saat ini. Banyak pengusaha yang sudah cemas dengan terbitnya SK tersebut.
”Jangankan investasi yang akan masuk, investasi yang sudah ada saat ini sudah terganggu. Siapa investor yang mau masuk ke Batam kalau status lahannya tidak jelas.” katanya. Masuknya pusat dan kantor-kantor pemerintah ke kawasan hutan lindung juga terasa menggelitik bagi Cahya. Menurutnya, sebagai pemerintah seharusnya sudah tahu bahwa kawasan tersebut bermasalah. “Kalau pemerintah saja tidak tahu, bagaimana dengan swasta,” katanya.
Ia berharap pemerintah bisa segera bertindak sebelum semuanya semakin kacau. Menurutnya, dengan tidak adanya kepastian hukum di Batam, maka investor dari luar akan berpikir sepuluh kali untuk menanamkan modal di Batam. Sebelumnya BP Batam bersama Perbanas, BPN Wilayah Kepri, Badan Pertanahan Daerah, Kadin Batam dan asosiasi lainnya menggelar rapat bersama. Salah satunya sertifikat HPL BP Batam dan dialokasikan oleh BP Batam diusulkan agar dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku oleh BPN Batam.
Semua peserta rapat juga sepakat bahwa SK Menhut No. 463/MENHUT-II/2013, berupa penunjukan yang masih membutuhkan waktu yang lama untuk penetapan. Ia juga mengatakan lampiran berupa peta yang ada dalam SK tersebut tidak bisa jadi pedoman. Keputusan selanjutnya adalah lahan-lahan yang telah dialokasikan oleh BP Batam dan/atau yang telah diterbitkan sertifikat hak atas tanah mendapat jaminan untuk dapat dilakukan perpanjangan pembayaran UWTO oleh BP Batam dan perpanjangan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kota Batam.
Indra Sudirman, pengusaha jasa pendukung galangan kapal mengaku, terbitnya SK Menhut Nomor 463/MENHUT-II/2013 yang memasukkan hampir seluruh bibir pantai dan kawasan bisnis di Pulau Batam menjadi hutan lindung benar-benar meresahkan pelaku usaha.
Indra mengaku tak habis pikir, Menhut Zulkifli Hasan mengotak-atik dan membuat pemetaan hutan lindung baru di kawasan industri seperti Batam. Apalagi di atas peta hutan lindung itu bercokol perusahaan-perusahaan besar berskala internasional. “Batam ini dirancang sebagai kawasan investasi, kenapa direcoki dengan aturan lahan yang meresahkan seperti ini,” ujarnya. Indra menuding ada kepentingan politik di balik munculnya SK Menhut 463 itu. “Kenapa tiba-tiba mau 2014 muncul SK ini. Apa pusat ingin pengusaha Batam melobi mereka supaya pemetaan itu diubah,” katanya.
Ia berharap SK Menhut tak hanya diubah, melainkan dibatalkan. Menurut Indra, sejak SK tersebut terbit 27 Juni 2013, pengusaha resah. Apalagi, kata dia, wilayah yang masuk hutan lindung adalah kawasan produktif, bahkan dihuni masyarakat. “Masak industri perkapalan Tanjunguncang yang sudah sebegitu besar harus dipindah atau angkat kaki dari sana gara-gara SK ini,” ungkap Indra. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar