Selasa, 27 Agustus 2013 ( sumber : Tribun Batam )
Tribunnewsbatam.com/Dinas KP2K Batam/Zabur Anjasfianto
Keterangan
gambar berdasarkan SK Menhut No 725/Menhut-II/2010 tanggal 30 Desember
2010 diklasifikasikan warna biru (hutan lindung), warna hijau (hutan
taman wisata), dan warna pink beralih fungsi: TWA Mukakuning, Bukit
Tiban, Batuampar I, Batuampar II, dan Batuampar III
BATAM,TRIBUN - Bukan hanya perumahan, karut-marut
hutan lindung di Batam juga menghantam investasi. Selain investasi
bidang pariwisata, status hutan lindung juga akan mematikan investasi
bidang galangan kapal (shipyard).
Perusahaan galangan kapal yang tersebar di Sagulung, Dapur 12, dan
lokasi lainnya terancam. Mereka yang sudah menginvestasikan dananya,
terancam harus menghentikan investasi menyusul isi dari SK Menhut nomor
463/Menhut-II/2013 tentang perubahan lahan berkaitan hutan lindung.Ketua Kadin Batam Akhmad Ma'ruf Maulana mengatakan, Kadin Batam
menerima keluhan dari masyarakat dan pengusaha terkait keluarnya aturan
tersebut.
"Keluarnya SK ini membuat investasi Batam dalam kondisi darurat.
Lahan yang tadinya bukan hutan lindung malah dijadikan hutan lindung.
Investor yang terlanjur keluarkan dana terancam kelangsungan usahanya,"
ujar Ma'ruf kepada Tribun Batam, Minggu (25/8/2013).
Untuk industri galangan kapal, lebih dari 70 perusahaan yang lokasinya dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Sesuai SK Menhut, izin tersebut tidak bisa diperpanjang lagi.
Ma'ruf mengatakan, di mata investor keluarnya SK tersebut menandakan ketidakpastian hukum investasi di Batam. Sehingga kondisi ini berdampak negatif terhadap perekonomian.
Selain investasi, sekitar 2.200 sertifikat rumah juga tidak jelas kepastiannya. Padahal, masyarakat sudah menunggu sekitar 10 tahun. Namun ujung-ujungnya, BPN tidak bisa mengeluarkan sertifikat rumah mereka karena terhadang status hutan lindung.
Ma'ruf memandang keluarnya SK itu terkesan menunjukkan kesewenang-wenangan pemerintah. Pasalnya lahan yang nyata-nyata bukan hutan, malah dijadikan kawasan hutan."Kita lihat saja pusat pemerintahan di Batam Centre. Sudah berdiri pusat pemerintahan, malah dijadikan kawasan hutan," tegasnya.
Menyikapi persoalan itu, Kadin Batam telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Kepri Muhammad Sani.
Kepada gubernur, Ma'ruf mendesak gubernur segera menindaklanjuti perintah Menhut degan membentuk Tim Kerja pelaksana rekomendasi dan pengukuhan hutan yang melibatkan tim dari Kadin dan instansi terkait.
Poin kedua yakni meminta gubernur untuk memberikan jaminan iklim investasi bagi para pengembang. Caranya yakni dengan menjamin berlakunya sertifikat dan transaksi yang sudah berjalan dengan mengundang BPN Batam serta perbankan di Batam.
"Selain itu gubernur harus segera mengambil keputusan lain untuk pemulihan investasi dengan cara membentuk Forum Group Discussion tentang kehutanan Batam," ujarnya.
Jika desakan itu tidak segera direspon, rencananya September ini Kadin Batam akan mengajukan judicial review SK Menhut.
"Kami sudah membentuk tim. September ini akan kami ajukan judicial review. Tentunya kami akan lampirkan data-data. Kami juga sekaligus membuka posko pengaduan," ujar Ma'ruf.
Langkah itu dipandang perlu mengingat SK tersebut juga dikhawatirkan memunculkan konflik horisontal antara masyarakat dengan pengembang maupun dengan BP Batam dan Pemko Batam.
Akhir-akhir ini, masyarakat sudah mulai mendatangi kantor perumahan untuk menanyakan kejelasan sertifikat. Selain pengembang, mereka juga berbondong-bondong ke BPN.
Untuk industri galangan kapal, lebih dari 70 perusahaan yang lokasinya dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Sesuai SK Menhut, izin tersebut tidak bisa diperpanjang lagi.
Ma'ruf mengatakan, di mata investor keluarnya SK tersebut menandakan ketidakpastian hukum investasi di Batam. Sehingga kondisi ini berdampak negatif terhadap perekonomian.
Selain investasi, sekitar 2.200 sertifikat rumah juga tidak jelas kepastiannya. Padahal, masyarakat sudah menunggu sekitar 10 tahun. Namun ujung-ujungnya, BPN tidak bisa mengeluarkan sertifikat rumah mereka karena terhadang status hutan lindung.
Ma'ruf memandang keluarnya SK itu terkesan menunjukkan kesewenang-wenangan pemerintah. Pasalnya lahan yang nyata-nyata bukan hutan, malah dijadikan kawasan hutan."Kita lihat saja pusat pemerintahan di Batam Centre. Sudah berdiri pusat pemerintahan, malah dijadikan kawasan hutan," tegasnya.
Menyikapi persoalan itu, Kadin Batam telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Kepri Muhammad Sani.
Kepada gubernur, Ma'ruf mendesak gubernur segera menindaklanjuti perintah Menhut degan membentuk Tim Kerja pelaksana rekomendasi dan pengukuhan hutan yang melibatkan tim dari Kadin dan instansi terkait.
Poin kedua yakni meminta gubernur untuk memberikan jaminan iklim investasi bagi para pengembang. Caranya yakni dengan menjamin berlakunya sertifikat dan transaksi yang sudah berjalan dengan mengundang BPN Batam serta perbankan di Batam.
"Selain itu gubernur harus segera mengambil keputusan lain untuk pemulihan investasi dengan cara membentuk Forum Group Discussion tentang kehutanan Batam," ujarnya.
Jika desakan itu tidak segera direspon, rencananya September ini Kadin Batam akan mengajukan judicial review SK Menhut.
"Kami sudah membentuk tim. September ini akan kami ajukan judicial review. Tentunya kami akan lampirkan data-data. Kami juga sekaligus membuka posko pengaduan," ujar Ma'ruf.
Langkah itu dipandang perlu mengingat SK tersebut juga dikhawatirkan memunculkan konflik horisontal antara masyarakat dengan pengembang maupun dengan BP Batam dan Pemko Batam.
Akhir-akhir ini, masyarakat sudah mulai mendatangi kantor perumahan untuk menanyakan kejelasan sertifikat. Selain pengembang, mereka juga berbondong-bondong ke BPN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar