Kamis, 01 August 2013 (sumber : Haluan Kepri)
Hidup Kami Terancam
BATAM (HK) - Nasib ratusan buruh PT Suncreation Indonesia (SCI) Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kian tak pasti pascaditinggal kabur oleh manajemen perusahaan.
Mereka pun kebingungan hendak mengadukan nasib ke mana, pemerintah dan sejumlah pihak yang diharap bisa meringankan beban, sejauh ini belum bisa berbuat apa-apa.
Kemarin, Rabu (31/7) ratusan buruh yang didominasi kaum perempuan itu kembali mendatangi gedung DPRD Batam. Mereka bertahan di rumah wakil rakyat tersebut, dengan harapan Pemerintah Kota Batam dan DPRD Batam bisa segera mencarikan solusi atas persoalan yang mereka hadapi.
Beratnya beban yang dihadapi, terlebih mereka dihadapkan pada tingginya kebutuhan menjelang Lebaran, membuat para buruh tak kuasa menahan tangis ketika sejumlah buruh perempuan mengutarakan beban perasaannya di halaman Kantor DPRD Batam.
Tangis ratusan buruh perempuan itu pecah ketika Endang Sri, Asisten Supervisor yang sudah 10 tahun mengabdi di PT SCI berbicara. Dalam orasinya, Endang Sri mengungkapkan bahwa dapur keluarganya morat-marit karena ketidakpastian gaji bulan Juli dan Tunjangan Hari Raya (THR). Apalagi, tiga anaknya yang sekarang masih bersekolah di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) sudah menuntut baju lebaran.
"Saya sedih, karena saya tidak bisa membelikan baju baru buat anak saya, saya seperti ibu yang tidak bertanggung jawab," katanya sambil terisak menahan tangis di depan teman-temannya.
Endang mengutarakan, suaminya bekerja di galangan kapal sebagai tenaga subkon. Kadang-kadang ada kerjaan, kadang juga menganggur. Hal itulah yang membuatnya bingung menghadapi hari-hari esok.
Bukan cuma soal baju lebaran, kata Endang, saat ini juga akan memasuki tahun ajaran baru, yang berarti sebagai orangtua harus menyiapkan seragam baru dan juga kelengkapan buku tulis dan buku paket sekolah.
"Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan mereka? Yang ada, mereka terancam putus sekolah," ujar wanita yang juga duduk sebagai pengurus PUK SPM SCI.
Penuturan Endang yang warga Bengkong itu rupanya langsung menyentuh perasaan rekan-rekannya. Spontan, puluhan perempuan yang berada di barisan depan menangis, bahkan ada yang histeris.
Cerita tak kalah sedih datang dari Fitri (27), Staf Production PT SCI yang saat ini tengah hamil tujuh bulan. Dia mengaku kebingunan menghadapi kelahiran anaknya. Sebelumnya, dia sangat mengandalkan fasilitas kesehatan dari perusahaan di klinik RS Permata Hati. Tapi sekarang, mereka tak bisa lagi berobat di klinik tersebut.
"Jangankan melahirkan, untuk berobat saja sudah terhenti sejak perusahaan ini sudah tidak jelas. Hidup kami terancam," ujar wanita yang sudah 8 tahun bekerja di PT SCI itu.
Katanya, suaminya selama ini hanya berjualan kecil-kecilan. Kondisi itu membuatnya semakin sedih karena terbayang di depan mata kalau mereka akan dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit. "Tidak ada persiapan, karena semua serba mendadak," tegasnya.
Dalam benaknya, kata Fitri, THR dan gaji bulan Juli merupakan dana persiapan untuk lahiran, tapi semua sirna karena kepergian manajemen yang di luar jangkauan mereka.
Perasaan terombang-ambing ratusan buruh PT SCI kian menjadi tatkala mendapat jawaban dari Ketua Komisi IV DPRD Batam, Riki Solihin yang menerima perwakilan buruh saat pertemuan di ruang Komisi IV. Sejauh ini, belum ada kepastian tentang keberadaan tiga direksi PT SCI yang kabur meninggalkan Kota Batam. Mereka hanya dijanjikan, bahwa pihak Badan Koordinasi Penanaman Modal BP Batam dan Pemko Batam masih terus menelusuri keberadaan tiga direksi tersebut di Tokyo, Jepang.
Ratusan buruh PT SCI memilih bertahan di gedung DPRD Batam hingga waktu berbuka puasa tiba. Mereka pun berbuka puasa dengan hidangan ala kadarnya bersama sejumlah anggota dewan dari Komisi IV yang membidangi ketenagakerjaan.
Harus Ada Sanksi Tegas
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Batam, Udin P Sihaloho mengutuk keras aksi tak bertanggung jawab manajemen PT SCI yang secara tiba-tiba menghilang dan meninggalkan ratusan buruh PT SCI dalam ketidakpastian.
"Ini tidak bisa dibiarkan, harus ada sanksi berat untuk memberikan efek jera," tegas Udin.
Kalau tidak, lanjut Udin, maka tidak menutup kemungkinan akan ada sejumlah perusahaan asing yang juga akan kabur secara sepihak. Karena informasi yang dihimpun, ada sejumlah perusahaan akan mengikuti jejak PT SCI.
"Kami punya analisa, kalau ini dibiarkan maka banyak PMA akan hengkang secara diam-diam," katanya.
Udin pun menekankan kepada pejabat BP Batam dan Pemko Batam, termasuk kepada asosiasi pengusaha di Batam agar bersama-sama melindungi buruh dari aksi tidak bertanggung jawab pihak pemodal asing.
Seperti diketahui, nasib sekitar 732 buruh PT SCI yang berlokasi di Kawasan Industri Tunas, Batam Centre, Kota Batam, masih terkatung-katung, pascaperusahaan pembuatan komponen elektronik itu menghentikan operasionalnya sejak tiga pekan terakhir.
"Kurang lebih tiga pekan kami terkatung-katung, anehnya belum juga ada pemberitahuan resmi dari manajemen," ungkap Supriyadi, Ketua Advokasi PUK PT SCI ditemui di lokasi pabrik, Kamis (18/7).
General Manager PT SCI Rudi Hartanto bahkan mengaku stres atas permasalahan yang menimpa perusahaan tempatnya bekerja. Rudi juga merasa geram atas tuduhan bahwa manajemen telah menerima uang pesangon pekerja.
"Saya stres menghadapi masalah ini. Sudahlah orang Jepang itu kabur, nasib saya sebagai pekerja tak jelas, harus bolak-balik ke DPRD Batam untuk RDP (rapat dengar pendapat). Keluarga saya juga pusing. Kini ada fitnah seperti ini," katanya.
Selaku GM, ujar Rudi, ia telah meminta penerjemah untuk menghubungi manajemen perusahaan di Jepang terkait perginya direksi dari Batam. Namun group di Jepang tak kunjung membalas telepon tersebut, begitu juga email yang sudah puluhan kali dikirimkan.
Dikatakannya, kewajiban perusahaan kepada pekerja sekitar Rp25 miliar, itu termasuk uang pesangon, gaji bulan Juli dan THR. Sementara, aset yang ditinggal hanya cukup untuk membayar gaji pekerja bulan Juli saja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Ir Cahya sebelumnya mengatakan, pihaknya belum bisa menemukan dan mengontak manajemen PT SCI. Dikatakan, PT SCI hadir di Batam sejak 10 tahun lalu, memiliki catatan kinerja yang bagus. Namun, sejak tiga tahun terakhir kesulitan dalam operasionalnya. Karyawan yang sebelumnya berjumlah 3.000 orang langsung menurun menjadi 700-an saja.
"Setelah kami hitung-hitung, aset perusahaan sekitar Rp1 miliar, dan mesin-mesin nilainya sekitar Rp2 miliar. Sementara, gaji dan pesangon untuk 700-an karyawan mencapai Rp25 miliar. Melihat gelagat ini, kami dari pengusaha menduga manajemen sudah kabur," katanya.
Dengan adanya kejadian ini, sebut Cahya, ini menjadi pelajaran bagi Batam agar ke depan agar masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak. Karena kuat dugaan kaburnya manajemen karena sudah tidak kuat dengan tekanan pekerja, seperti demonstrasi dan aksi mogok.
SCI merupakan group Taiyokoki Co.Ltd asal Jepang, sebuah perusahaan besar yang memiliki cabang di berbagai negara. Informasinya, perusahaan memindahkan usahanya ke Filiphina. "Perusahaan ini group yang cukup besar, jika benar mereka kabur, untuk menyelesaikannya perlu g to g (goverment to goverment/antar pemerintah Indonesia dan Jepang) yang membahas," pungkas Cahya. (ays)
BATAM (HK) - Nasib ratusan buruh PT Suncreation Indonesia (SCI) Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kian tak pasti pascaditinggal kabur oleh manajemen perusahaan.
Mereka pun kebingungan hendak mengadukan nasib ke mana, pemerintah dan sejumlah pihak yang diharap bisa meringankan beban, sejauh ini belum bisa berbuat apa-apa.
Kemarin, Rabu (31/7) ratusan buruh yang didominasi kaum perempuan itu kembali mendatangi gedung DPRD Batam. Mereka bertahan di rumah wakil rakyat tersebut, dengan harapan Pemerintah Kota Batam dan DPRD Batam bisa segera mencarikan solusi atas persoalan yang mereka hadapi.
Beratnya beban yang dihadapi, terlebih mereka dihadapkan pada tingginya kebutuhan menjelang Lebaran, membuat para buruh tak kuasa menahan tangis ketika sejumlah buruh perempuan mengutarakan beban perasaannya di halaman Kantor DPRD Batam.
Tangis ratusan buruh perempuan itu pecah ketika Endang Sri, Asisten Supervisor yang sudah 10 tahun mengabdi di PT SCI berbicara. Dalam orasinya, Endang Sri mengungkapkan bahwa dapur keluarganya morat-marit karena ketidakpastian gaji bulan Juli dan Tunjangan Hari Raya (THR). Apalagi, tiga anaknya yang sekarang masih bersekolah di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) sudah menuntut baju lebaran.
"Saya sedih, karena saya tidak bisa membelikan baju baru buat anak saya, saya seperti ibu yang tidak bertanggung jawab," katanya sambil terisak menahan tangis di depan teman-temannya.
Endang mengutarakan, suaminya bekerja di galangan kapal sebagai tenaga subkon. Kadang-kadang ada kerjaan, kadang juga menganggur. Hal itulah yang membuatnya bingung menghadapi hari-hari esok.
Bukan cuma soal baju lebaran, kata Endang, saat ini juga akan memasuki tahun ajaran baru, yang berarti sebagai orangtua harus menyiapkan seragam baru dan juga kelengkapan buku tulis dan buku paket sekolah.
"Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan mereka? Yang ada, mereka terancam putus sekolah," ujar wanita yang juga duduk sebagai pengurus PUK SPM SCI.
Penuturan Endang yang warga Bengkong itu rupanya langsung menyentuh perasaan rekan-rekannya. Spontan, puluhan perempuan yang berada di barisan depan menangis, bahkan ada yang histeris.
Cerita tak kalah sedih datang dari Fitri (27), Staf Production PT SCI yang saat ini tengah hamil tujuh bulan. Dia mengaku kebingunan menghadapi kelahiran anaknya. Sebelumnya, dia sangat mengandalkan fasilitas kesehatan dari perusahaan di klinik RS Permata Hati. Tapi sekarang, mereka tak bisa lagi berobat di klinik tersebut.
"Jangankan melahirkan, untuk berobat saja sudah terhenti sejak perusahaan ini sudah tidak jelas. Hidup kami terancam," ujar wanita yang sudah 8 tahun bekerja di PT SCI itu.
Katanya, suaminya selama ini hanya berjualan kecil-kecilan. Kondisi itu membuatnya semakin sedih karena terbayang di depan mata kalau mereka akan dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit. "Tidak ada persiapan, karena semua serba mendadak," tegasnya.
Dalam benaknya, kata Fitri, THR dan gaji bulan Juli merupakan dana persiapan untuk lahiran, tapi semua sirna karena kepergian manajemen yang di luar jangkauan mereka.
Perasaan terombang-ambing ratusan buruh PT SCI kian menjadi tatkala mendapat jawaban dari Ketua Komisi IV DPRD Batam, Riki Solihin yang menerima perwakilan buruh saat pertemuan di ruang Komisi IV. Sejauh ini, belum ada kepastian tentang keberadaan tiga direksi PT SCI yang kabur meninggalkan Kota Batam. Mereka hanya dijanjikan, bahwa pihak Badan Koordinasi Penanaman Modal BP Batam dan Pemko Batam masih terus menelusuri keberadaan tiga direksi tersebut di Tokyo, Jepang.
Ratusan buruh PT SCI memilih bertahan di gedung DPRD Batam hingga waktu berbuka puasa tiba. Mereka pun berbuka puasa dengan hidangan ala kadarnya bersama sejumlah anggota dewan dari Komisi IV yang membidangi ketenagakerjaan.
Harus Ada Sanksi Tegas
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Batam, Udin P Sihaloho mengutuk keras aksi tak bertanggung jawab manajemen PT SCI yang secara tiba-tiba menghilang dan meninggalkan ratusan buruh PT SCI dalam ketidakpastian.
"Ini tidak bisa dibiarkan, harus ada sanksi berat untuk memberikan efek jera," tegas Udin.
Kalau tidak, lanjut Udin, maka tidak menutup kemungkinan akan ada sejumlah perusahaan asing yang juga akan kabur secara sepihak. Karena informasi yang dihimpun, ada sejumlah perusahaan akan mengikuti jejak PT SCI.
"Kami punya analisa, kalau ini dibiarkan maka banyak PMA akan hengkang secara diam-diam," katanya.
Udin pun menekankan kepada pejabat BP Batam dan Pemko Batam, termasuk kepada asosiasi pengusaha di Batam agar bersama-sama melindungi buruh dari aksi tidak bertanggung jawab pihak pemodal asing.
Seperti diketahui, nasib sekitar 732 buruh PT SCI yang berlokasi di Kawasan Industri Tunas, Batam Centre, Kota Batam, masih terkatung-katung, pascaperusahaan pembuatan komponen elektronik itu menghentikan operasionalnya sejak tiga pekan terakhir.
"Kurang lebih tiga pekan kami terkatung-katung, anehnya belum juga ada pemberitahuan resmi dari manajemen," ungkap Supriyadi, Ketua Advokasi PUK PT SCI ditemui di lokasi pabrik, Kamis (18/7).
General Manager PT SCI Rudi Hartanto bahkan mengaku stres atas permasalahan yang menimpa perusahaan tempatnya bekerja. Rudi juga merasa geram atas tuduhan bahwa manajemen telah menerima uang pesangon pekerja.
"Saya stres menghadapi masalah ini. Sudahlah orang Jepang itu kabur, nasib saya sebagai pekerja tak jelas, harus bolak-balik ke DPRD Batam untuk RDP (rapat dengar pendapat). Keluarga saya juga pusing. Kini ada fitnah seperti ini," katanya.
Selaku GM, ujar Rudi, ia telah meminta penerjemah untuk menghubungi manajemen perusahaan di Jepang terkait perginya direksi dari Batam. Namun group di Jepang tak kunjung membalas telepon tersebut, begitu juga email yang sudah puluhan kali dikirimkan.
Dikatakannya, kewajiban perusahaan kepada pekerja sekitar Rp25 miliar, itu termasuk uang pesangon, gaji bulan Juli dan THR. Sementara, aset yang ditinggal hanya cukup untuk membayar gaji pekerja bulan Juli saja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Ir Cahya sebelumnya mengatakan, pihaknya belum bisa menemukan dan mengontak manajemen PT SCI. Dikatakan, PT SCI hadir di Batam sejak 10 tahun lalu, memiliki catatan kinerja yang bagus. Namun, sejak tiga tahun terakhir kesulitan dalam operasionalnya. Karyawan yang sebelumnya berjumlah 3.000 orang langsung menurun menjadi 700-an saja.
"Setelah kami hitung-hitung, aset perusahaan sekitar Rp1 miliar, dan mesin-mesin nilainya sekitar Rp2 miliar. Sementara, gaji dan pesangon untuk 700-an karyawan mencapai Rp25 miliar. Melihat gelagat ini, kami dari pengusaha menduga manajemen sudah kabur," katanya.
Dengan adanya kejadian ini, sebut Cahya, ini menjadi pelajaran bagi Batam agar ke depan agar masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak. Karena kuat dugaan kaburnya manajemen karena sudah tidak kuat dengan tekanan pekerja, seperti demonstrasi dan aksi mogok.
SCI merupakan group Taiyokoki Co.Ltd asal Jepang, sebuah perusahaan besar yang memiliki cabang di berbagai negara. Informasinya, perusahaan memindahkan usahanya ke Filiphina. "Perusahaan ini group yang cukup besar, jika benar mereka kabur, untuk menyelesaikannya perlu g to g (goverment to goverment/antar pemerintah Indonesia dan Jepang) yang membahas," pungkas Cahya. (ays)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar