"Lahan kosong yang baru untuk pemukiman sudah tidak ada," ujarnya.
Dia memaparkan, sekitar 10 ribu dari 67.400 hektar luas Pulau Batam sudah dialokasikan kepada para pengembang oleh BP Batam dan setidaknya setengah dari luas lahan itu sudah dibangun menjadi kawasan pemukiman.
Dan dia perkirakan sebagian luas lahan lainnya akan habis dibangun dalam lima tahun kedepan sehingga para pengembang dipastikannya akan terdesak keterbatasan lahan.
"Lalu 10 tahun kedepan, tidak ada lagi kawasan pemukiman baru di Batam kalau pembangunannya masih vertikal," sambungnya.
Namun para pengembang juga akan kembali mengalami hambatan jika harus meninggalkan konsep pembangunan vertikal di Batam karena belum jelasnya aturan untuk hunian horisontal seperti apartemen dan kondominium, terutama soal strata titel. Begitu pun dalam pembangunan rusun.
"Rusun masih sulit dibangun dan dikelola swasta di Batam tanpa peran pemerintah," sambungnya.
Padahal, kebutuhan hunian baru di Batam tergolong lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional dimana pertumbuhan properti di Batam hampir mencapai 9% atau di atas pertumbuhan nasional yang sebesar 6%-7%.
Seiring pertumbuhan populasi Batam yang dia perkirakan mencapai 130 jiwa per tahun sedangkan para pengembang hanya mampu membangun hunian baru maksimal 15 ribu unit setiap tahunnya.
Karena itu dia berharap agar BP Batam mengevaluasi kembali lahan yang tidak produktif di Batam.
Djaja menilai masih banyak lahan di Batam yang tidak digunakan atau dikembangkan sebagai lahan industri atau dengan peruntukan lain.
Lahan-lahan tidur itu menurutnya akan lebih baik digunakan sebagai kawasan pemukiman ketimbang dibiarkan begitu saja terbengkalai.
Memang perubahan peruntukan lahan tersebut membutuhkan waktu lama karena harus pula merubah RTRW wilayah Batam, namun menurutnya hal itu perlu dipertimbangkan oleh BP Batam.
Dia juga berharap kepada pemerintah untuk memperjelas aturan kepemilikan hunian horisontal dan kemudahan perizinan lahan, khususnya di Kota Batam.(faa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar