PT Trans Buana Logistics bekerja sama dengan Direktorat Jenderal
Bea & Cukai Tipe B Batam mengadakan Sosialisasi Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 47/48 Tahun 2012
di Hotel Pacific Palace Lantai 2 Ruangan Marcopollo, Rabu (18/4).
Seminar yang mempertemukan pemerintah, dalam hal ini Dirjen Bea &
Cukai, dengan para pelaku usaha di luar wilayah Batam tersebut berfungsi
untuk memperkenalkan kebijakan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah
itu.
PP no. 10 tahun 2012 merupakan revisi dari PP no. 2 tahun 2009. Masalah utama yang digaris bawahi dalam PP no. 2 tahun 2009 adalah kewajiban para pengusaha melaporkan penetapan jumlah dan jenis barang (masterlist) kepada Badan Pengusahaan (BP) Kawasan atau BP Batam untuk barang yang masuk atau keluar dari dan ke Batam sebagai kawasan bebas (free trade zone – FTZ). Wajib lapor masterlist tersebut menjadi beban para pengusaha terutama pengusaha di bidang industri dan produksi karena prosesnya yang lama dan berbelit-belit.
Dalam PP no. 10 tahun 2012 tersebut, pengusaha tidak perlu lagi membuat masterlist. Ini berarti wajib lapor ke BP Batam itu ditiadakan. Masterlist dari BP Batam hanya diwajibkan untuk pemasukan barang konsumsi. Selebihnya, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari FTZ berada di bawah pengawasan Dirjen Bea & Cukai.
”Ini tentu memudahkan para pengusaha karena memangkas birokrasi,” kata Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan Dirjen Bea & Cukai, Emi Ludiyanto dalam acara sosialisasi tersebut kepada Batam Pos, Rabu (18/4).
Ikut diatur dalam PP tersebut, kebijakan lampiran konversi penggunaan barang atau bahan baku dalam proses produksi. Konversi terhadap barang hasil produksi FTZ yang akan dikeluarkan ke tempat lain tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Selain itu, PP no 10 tahun 2012 ini juga memperluas jumlah pelabuhan yang dapat digunakan untuk tempat bongkar muat kapal. Jika awalnya bongkar muat kapal hanya dapat dilakukan di tiga pelabuhan, kini jumlahnya berlipat hingga 21 pelabuhan. Bahkan, 10 pelabuhan lagi kini tengah mengantre izin operasi.
Syarat pelabuhan yang dapat dipergunakan untuk tempat bongkar muat kapal hanyalah izin operasi dari Dinas Perhubungan dan izin kawasan pabean oleh Dirjen Bea Cukai. Ini semakin memudahkan para pengusaha untuk memasukkan dan mengeluarkan barang.
”Semakin mudah dan menghemat biaya, pengusaha tinggal memilih pelabuhan yang paling dekat dengan wilayah produksi mereka,” kata Emi lagi.
PP no 10 tahun 2012 ini juga mengatur tentang pemeriksaan fisik terkait keluar-masuknya barang dari dan ke FTZ. Pejabat terkait dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang yang masuk atau keluar FTZ. Namun, ini tidak termasuk barang yang dimasukkan ke FTZ dari tempat lain dalam daerah pabean.
Pengusaha yang hendak memasukkan atau mengeluarkan barang dari dan ke Batam tidak lantas terbebas dari pengawasan BP Batam. Pemasukan dan pengeluaran barang dari dan ke Batam hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari BP Batam. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, barang itu akan mengalami tiga hal, yaitu dikeluarkan kembali (re-ekspor), dihibahkan kepada negara, atau dimusnahkan.
”Jadi tentu saja kami masih berkoordinasi dengan BP Batam,” ujarnya.
Beberapa Perusahaan Asing Berencana Tutup
Sementara itu, daya tarik Batam sebagai tujuan investasi mulai diragukan oleh beberapa investor. Hal tersebut terungkap dalam diskusi yang dilakukan Kadin Kepri dengan beberapa perusahaan asing yang selama ini sudah beroperasi di Batam.
Maraknya tuntutan serikat pekerja di berbagai perusahaan bahkan hingga menghentikan operasi produksi membuat perusahaan asing mulai memikirkan untuk relokasi ke negara lain. Sebagahagian perusahaan ada yang menjaga etika dengan menyebutkan order berkurang atau sunset technologi. Tetapi pada kenyataannya banyak yang kecewa dengan lambannya pemerintah memberikan jaminan keamanan khususnya mengenai unjuk rasa dan berbagai tuntutan yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh, akibatnya Perusahaan tersebut memilih jaan menutup usaha.
Kadin Kepri akhirnya berinisiatif menyelenggarakan Focus Group Discussion tentang sistem pengupahan yang layak, tujuannya supaya ada kepastian berapa kenaikan UMK setiap tahunnya, karena metoda lama yang selama ini dipakai menjadi sumber berbagai masalah yang menimbulkan ketidak percayaan dan salaing curiga.
Dalam pengamatan Kadin pada umumnya pengusaha tidak keberatan jika ada kepastian tentang perhitungan formula kenaikan upah itu. Misalnya kalau UMK dinaikkan sesuai dengan kenaikan inflasi ditambah dua persen, itulah yang menjadi UMK pada tahun berikutnya. Sehingga ada formula yang bisa dipakai oleh investor untuk menghitung kenaikan upah ke tahun tahun berikutnya.
Karena para investor sebenarnya sangat memerlukan kepastian dan kenyamanan dalam menjalankan operasional perusahaan.
Jika seandainya formula baru dapat dirumuskan bersama, waktu, pikiran dan tenaga para serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah dapat dipakai untuk membahas masalah-masalah lainnya. Seperti kesejahteraan para buruh, transportasi, jaminan kesehatan dan sejumlah persoalan lainnya yang selama ini tidak tersentuh oleh karena waktu para serikat pekerja terkuras oleh demo dan unjuk rasa yang akhirnya merugikan semua pihak (cr18)
PP no. 10 tahun 2012 merupakan revisi dari PP no. 2 tahun 2009. Masalah utama yang digaris bawahi dalam PP no. 2 tahun 2009 adalah kewajiban para pengusaha melaporkan penetapan jumlah dan jenis barang (masterlist) kepada Badan Pengusahaan (BP) Kawasan atau BP Batam untuk barang yang masuk atau keluar dari dan ke Batam sebagai kawasan bebas (free trade zone – FTZ). Wajib lapor masterlist tersebut menjadi beban para pengusaha terutama pengusaha di bidang industri dan produksi karena prosesnya yang lama dan berbelit-belit.
Dalam PP no. 10 tahun 2012 tersebut, pengusaha tidak perlu lagi membuat masterlist. Ini berarti wajib lapor ke BP Batam itu ditiadakan. Masterlist dari BP Batam hanya diwajibkan untuk pemasukan barang konsumsi. Selebihnya, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari FTZ berada di bawah pengawasan Dirjen Bea & Cukai.
”Ini tentu memudahkan para pengusaha karena memangkas birokrasi,” kata Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan Dirjen Bea & Cukai, Emi Ludiyanto dalam acara sosialisasi tersebut kepada Batam Pos, Rabu (18/4).
Ikut diatur dalam PP tersebut, kebijakan lampiran konversi penggunaan barang atau bahan baku dalam proses produksi. Konversi terhadap barang hasil produksi FTZ yang akan dikeluarkan ke tempat lain tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Selain itu, PP no 10 tahun 2012 ini juga memperluas jumlah pelabuhan yang dapat digunakan untuk tempat bongkar muat kapal. Jika awalnya bongkar muat kapal hanya dapat dilakukan di tiga pelabuhan, kini jumlahnya berlipat hingga 21 pelabuhan. Bahkan, 10 pelabuhan lagi kini tengah mengantre izin operasi.
Syarat pelabuhan yang dapat dipergunakan untuk tempat bongkar muat kapal hanyalah izin operasi dari Dinas Perhubungan dan izin kawasan pabean oleh Dirjen Bea Cukai. Ini semakin memudahkan para pengusaha untuk memasukkan dan mengeluarkan barang.
”Semakin mudah dan menghemat biaya, pengusaha tinggal memilih pelabuhan yang paling dekat dengan wilayah produksi mereka,” kata Emi lagi.
PP no 10 tahun 2012 ini juga mengatur tentang pemeriksaan fisik terkait keluar-masuknya barang dari dan ke FTZ. Pejabat terkait dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang yang masuk atau keluar FTZ. Namun, ini tidak termasuk barang yang dimasukkan ke FTZ dari tempat lain dalam daerah pabean.
Pengusaha yang hendak memasukkan atau mengeluarkan barang dari dan ke Batam tidak lantas terbebas dari pengawasan BP Batam. Pemasukan dan pengeluaran barang dari dan ke Batam hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari BP Batam. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, barang itu akan mengalami tiga hal, yaitu dikeluarkan kembali (re-ekspor), dihibahkan kepada negara, atau dimusnahkan.
”Jadi tentu saja kami masih berkoordinasi dengan BP Batam,” ujarnya.
Beberapa Perusahaan Asing Berencana Tutup
Sementara itu, daya tarik Batam sebagai tujuan investasi mulai diragukan oleh beberapa investor. Hal tersebut terungkap dalam diskusi yang dilakukan Kadin Kepri dengan beberapa perusahaan asing yang selama ini sudah beroperasi di Batam.
Maraknya tuntutan serikat pekerja di berbagai perusahaan bahkan hingga menghentikan operasi produksi membuat perusahaan asing mulai memikirkan untuk relokasi ke negara lain. Sebagahagian perusahaan ada yang menjaga etika dengan menyebutkan order berkurang atau sunset technologi. Tetapi pada kenyataannya banyak yang kecewa dengan lambannya pemerintah memberikan jaminan keamanan khususnya mengenai unjuk rasa dan berbagai tuntutan yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh, akibatnya Perusahaan tersebut memilih jaan menutup usaha.
Kadin Kepri akhirnya berinisiatif menyelenggarakan Focus Group Discussion tentang sistem pengupahan yang layak, tujuannya supaya ada kepastian berapa kenaikan UMK setiap tahunnya, karena metoda lama yang selama ini dipakai menjadi sumber berbagai masalah yang menimbulkan ketidak percayaan dan salaing curiga.
Dalam pengamatan Kadin pada umumnya pengusaha tidak keberatan jika ada kepastian tentang perhitungan formula kenaikan upah itu. Misalnya kalau UMK dinaikkan sesuai dengan kenaikan inflasi ditambah dua persen, itulah yang menjadi UMK pada tahun berikutnya. Sehingga ada formula yang bisa dipakai oleh investor untuk menghitung kenaikan upah ke tahun tahun berikutnya.
Karena para investor sebenarnya sangat memerlukan kepastian dan kenyamanan dalam menjalankan operasional perusahaan.
Jika seandainya formula baru dapat dirumuskan bersama, waktu, pikiran dan tenaga para serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah dapat dipakai untuk membahas masalah-masalah lainnya. Seperti kesejahteraan para buruh, transportasi, jaminan kesehatan dan sejumlah persoalan lainnya yang selama ini tidak tersentuh oleh karena waktu para serikat pekerja terkuras oleh demo dan unjuk rasa yang akhirnya merugikan semua pihak (cr18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar