Selasa 17 September 2013 ( sumber : Posmetro Batam )
Dalam rakor, Istono mengatakan, kasus hutan di Batam berbeda dengan daerah lain. Di Batam menurutnya tidak ada istilah pemutihan. “Alas hak hutannya, kita menggunakan dari Keppres Nomor 461 Tahun 63 (1963). Persoalan ini sudah di bahas di Menko Perekonomian,” ujarnya.
Menurutnya di kantor Menko Perekonomian tidak hanya dihadiri pihaknya dan Kemenhut saja, tetapi ada juga Kementeri Sekretaris Negara (Mensesneg), Kementerian Sekretaris Kabinet, Kemendagri, Kementerian PU, Badan Pertanahan Nasional, BP Karimun, BP Bintan dan Bapeda Riau. Rapat tersebut lanjutnya menghasilkan beberapa kesepakatan. Di antaranya pencabutan atau perubahan SK Menhut Nomor 463.
“Atau revisi atau uji materi SK menhut 463. Kemudian penataan nasional kawasan kehutanan. Pergertian dari SK ini, masih belum final. Pemerintah di pusat melihat, pengaruhnya bukan hanya menghambat, tapi Batam menuju kehancuran. Jadi perlu adanya pengumuman oleh pemerintah dan disampaikan hal-hal yang sudah dilakukan untuk mengurangi keresahan di masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, setelah diadakan rapat koordinasi, di salah satu televisi nasional Menhut mengeluarkan pernyataan akan merevisi SK Nomor 463 tersebut. “Ini telah dilakukan secara keseluruhan. Pasca di rapat koordinasi ini, ada pernyataan dari Menhut di salah satu televisi nasional bahwa Menhut akan merevisi SK Menhut di Batam. Dan ini harus berdasarkan hasil rekomendasi dari tim terpadu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam melakukan revisi Menhut dapat mengacu pada tim terpadu. Hal ini lanjutnya sedang dilakukan Gubernur Kepri, HM Sani. Batam sendiri lanjutnya sudah membentuk tim untuk mengusulkan peta terkait hutan lindung. “Adanya gugatan, BP tidak bisa menahan hal ini. Itu secara terpisah dan itu haknya masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya SK ini dan besok akan ada rapat di tingkat kementerian,” jelasnya.
Ia juga kembali menegaskan, BP Batam bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pemberian izin yang sudah dikeluarkan. BP Batam lanjutnya memiliki dasar acuan yang cukup kuat untuk memberikan perizinan. “Bahkan kita meminta, apa yang diperlukan BPN untuk tidak menghalangi sertifikat ini,” jelasnya.
Istono mengatakan, dalam SK Menhut di dalam peta tidak ada melampiran titik koordinatnya yang menyatakan wilayah-wilayah mana saja di Batam yang masuk kawasan hijau. “Jadi bagaimana kita mengetahui yang mana hutan. Dan itu peta tahun 87 (1987). Kalau kita cermati SK 463, tidak di tujukan kepada BP. Kosedran hukumnya juga tidak ada mengenai BP sebagai daerah perdagangan bebas,” paparnya. Terlebih lanjutnya pada diktum ke 7 ayat D, terkesan seolah-olah bahwa perizinan yang dikeluarkan, dihormati sampai masa izinnya berakhir.
“Artinya ini (SK Menhut) tidak bersifat retro aktif. Masalahnya secara Psikologis, BPN nya tidak mau memproses sertifikatnya. Parahnya di Nagoya yang mau perpanjang tidak bisa, itu (sertifikat) tidak ubahnya seperti bungkus kacang dan efeknya ke Perbankan. Masalahnya saat ini masyarakat resah,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Walikota Batam, Rudi mengatakan, untuk menyelesaikan masalah ini dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Pasalnya Pemko batam sendiri, tidak masuk dalam tim terpadu. “Dalam tim du (tim terpadu) kita tidak masuk kesana. OB (BP) dan pemko sudah bekerja dan kita minta waktu.
Koordinatornya Gubernur dan proses sudah berjalan. Tinggal di tindaklanjuti apa yang mau kita berikan. Mudah-mudahan cepat selesai dan para investor di Batam tidak menjadikan ini momok bagi mereka,” jelasnya. Menurutnya data sudah ada di Bapeda. Tinggal di perjuangkan ke pusat. Tim paduserasi juga menurutnya sudah mengakomodir.
“Kalau yang sudah selesai ya harus di keluarkan (sertifikatnya) dan yang belum itu kita usulkan,” paparnya.
Sementara itu Wakil ketua III DPRD Batam, Aris Hardy Halim menilai ada celah hukum yang bisa dilakukan untuk mengugat SK Menhut Nomor 463. Pasalnya peta yang diberikan adalah peta tahun 1987.(ams)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar