Selasa, 17 September 2013 ( sumber : Haluan Kepri )
Batam (HK)- Kabar tak mengenakkan bagi warga Batam datang dari
Kementerian Kehutanan. Wakil Walikota Batam, Rudi SE menyampaikan bahwa
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tidak akan memutihkan status hutan
lindung di Batam.
"Dikatakan Menteri, saya tidak akan pernah memutihkan sampai kapan pun, (kecuali) sampai ada keputusan dari jaksa dan kepolisian," kata Rudi dalam Rapat Koordinasi DPRD Kota Batam dengan Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam, di Hotel Harris, Batam Centre, Senin (16/9).
Rudi menyatakan ia langsung menemui Menteri Kehutanan saat pelatihan di Jakarta, dan Menteri menegaskan sikapnya tersebut.
"Menteri menyatakan enggan memberikan keputusan pemutihan lahan hutan lindung karena hal itu melanggar hukum. Ancamannya 10 tahun penjara," kata Rudi menirukan Menteri.
Menteri juga menyatakan Gubernur dan seluruh kepala daerah di Kepulauan Riau juga sudah bertemu dengannya dan meminta pemutihan lahan.
Sementara itu, dalam rapat koordinasi dua pemerintahan di Batam yang difasilitasi DPRD itu, Wakil Walikota Batam Rudi berharap pemerintah daerah bersinergi untuk menyelesaikan masalah itu. Ini mengingat lebih dari 22.000 unit rumah masyarakat, kantor pemerintah, serta kawasan bisnis dan kawasan industri berstatus hutan lindung.
Di tempat yang sama, perwakilan dari BP Batam I Wayan Subawa mengatakan sepakat seluruh pihak harus bekerja sama menyelesaikan masalah hutan lindung.
"Memang terasa betul masalah hutan lindung, pengusaha banyak yang bertanya," ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi membicarakan masalah hutan lindung, Gubernur Kepri HM Sani memastikan status hutan lindung pada Kantor Pemerintah Kota Batam, DPRD Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, dan lainnya akan diputihkan oleh Kementerian Kehutanan.
"Sudah disetujui Menteri, diputihkan, saat tim terpadu mengusulkan," kata Gubernur usai rapat koordinasi membahas status hutan lindung dengan walikota dan bupati Kepri di Grha Kepri di Batam, belum lama ini.
Sementara alih fungsi hutan lindung di beberapa perumahan dan kawasan industri masih diupayakan pemerintah daerah. Meski begitu, Gubernur meminta warga tetap tenang dan mempercayakannya kepada pemerintah.
"Kami akan selesaikan baik-baik, masyarakat jangan khawatir," kata Gubernur
SK Menhut Cacat Hukum
Terkait SK Menhut No 463 tentang soal perubahan peruntukan kawasan hutan lindung di Batam, anggota DPR RI dari Dapil Kepri Harry Azhar Azis angkat bicara. Harry menilai SK tersebut cacat hukum.
"Kesalahan ada di pihak Kemenhut, karena sudah mengangkangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah mengeluarkan sertifikat tanah dan bangunan. Secara hukum BPN lah yang benar," kata Harry di Batam, Minggu (15/9).
Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR itu, terbitnya SK Menhut No 463 itu telah merugikan para pemilik rumah. Pasalnya, sertifikat mereka tidak bisa diagunkan ke bank.
Tidak hanya merugikan warga selaku pemilik rumah dan lahan, SK Menhut tersebut juga telah merusak industri keuangan. Pihak perbankan, kata Harry, mengaku tidak mau lagi menerima sertifikat rumah yang diajukan warga sebagai agunan kredit.
"Ada pihak perbankan yang ngomong kalau sertifikat yang sudah mereka terima dulu, itu menjadi risiko mereka. Ke depan bank tidak mau menerima (sertifikat rumah yang dinyatakan masuk hutan lindung) lagi," ucapnya.
Soal SK Menhut yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan iklim investasi di Batam, Harry mengatakan Pemprov Kepri dan pemerintah daerah bisa mengajukan gugatan dan menuntut SK tersebut secepatnya dicabut.
Kata Harry, gugatan itu bisa diajukan Pemko Batam ke Mahkamah Agung (MA) atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain menyarankan Pemko Batam mengajukan gugatan dan menuntut SK Menhut No 463 itu dicabut, Harry juga menyarankan hal serupa juga dilakukan Pemerintah Kabupaten Karimun. Pasalnya, Sebagian wilayah di Pulau Karimun Besar, di antaranya Desa Pongkar Kecamatan Tebing, berdasarkan informasi dari Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Karimun, telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
Sementara, berdasarkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karimun, desa tersebut ditetapkan sebagai kawasan wisata terpadu dan termasuk dalam Kawasan Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ).
"Kalau memang desa itu ditetapkan sebagai hutan lindung, sementara dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan wisata. Maka, sudah tentu keputusan menteri itu bertentangan dengan RTRW. Bupati harus cek daerah mana saja yang ditetapkan sebagai hutan lindung sebelumnya menyampaikan keberatan," ucapnya. (amir/andi/ant)
"Dikatakan Menteri, saya tidak akan pernah memutihkan sampai kapan pun, (kecuali) sampai ada keputusan dari jaksa dan kepolisian," kata Rudi dalam Rapat Koordinasi DPRD Kota Batam dengan Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam, di Hotel Harris, Batam Centre, Senin (16/9).
Rudi menyatakan ia langsung menemui Menteri Kehutanan saat pelatihan di Jakarta, dan Menteri menegaskan sikapnya tersebut.
"Menteri menyatakan enggan memberikan keputusan pemutihan lahan hutan lindung karena hal itu melanggar hukum. Ancamannya 10 tahun penjara," kata Rudi menirukan Menteri.
Menteri juga menyatakan Gubernur dan seluruh kepala daerah di Kepulauan Riau juga sudah bertemu dengannya dan meminta pemutihan lahan.
Sementara itu, dalam rapat koordinasi dua pemerintahan di Batam yang difasilitasi DPRD itu, Wakil Walikota Batam Rudi berharap pemerintah daerah bersinergi untuk menyelesaikan masalah itu. Ini mengingat lebih dari 22.000 unit rumah masyarakat, kantor pemerintah, serta kawasan bisnis dan kawasan industri berstatus hutan lindung.
Di tempat yang sama, perwakilan dari BP Batam I Wayan Subawa mengatakan sepakat seluruh pihak harus bekerja sama menyelesaikan masalah hutan lindung.
"Memang terasa betul masalah hutan lindung, pengusaha banyak yang bertanya," ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat koordinasi membicarakan masalah hutan lindung, Gubernur Kepri HM Sani memastikan status hutan lindung pada Kantor Pemerintah Kota Batam, DPRD Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, dan lainnya akan diputihkan oleh Kementerian Kehutanan.
"Sudah disetujui Menteri, diputihkan, saat tim terpadu mengusulkan," kata Gubernur usai rapat koordinasi membahas status hutan lindung dengan walikota dan bupati Kepri di Grha Kepri di Batam, belum lama ini.
Sementara alih fungsi hutan lindung di beberapa perumahan dan kawasan industri masih diupayakan pemerintah daerah. Meski begitu, Gubernur meminta warga tetap tenang dan mempercayakannya kepada pemerintah.
"Kami akan selesaikan baik-baik, masyarakat jangan khawatir," kata Gubernur
SK Menhut Cacat Hukum
Terkait SK Menhut No 463 tentang soal perubahan peruntukan kawasan hutan lindung di Batam, anggota DPR RI dari Dapil Kepri Harry Azhar Azis angkat bicara. Harry menilai SK tersebut cacat hukum.
"Kesalahan ada di pihak Kemenhut, karena sudah mengangkangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah mengeluarkan sertifikat tanah dan bangunan. Secara hukum BPN lah yang benar," kata Harry di Batam, Minggu (15/9).
Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR itu, terbitnya SK Menhut No 463 itu telah merugikan para pemilik rumah. Pasalnya, sertifikat mereka tidak bisa diagunkan ke bank.
Tidak hanya merugikan warga selaku pemilik rumah dan lahan, SK Menhut tersebut juga telah merusak industri keuangan. Pihak perbankan, kata Harry, mengaku tidak mau lagi menerima sertifikat rumah yang diajukan warga sebagai agunan kredit.
"Ada pihak perbankan yang ngomong kalau sertifikat yang sudah mereka terima dulu, itu menjadi risiko mereka. Ke depan bank tidak mau menerima (sertifikat rumah yang dinyatakan masuk hutan lindung) lagi," ucapnya.
Soal SK Menhut yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan iklim investasi di Batam, Harry mengatakan Pemprov Kepri dan pemerintah daerah bisa mengajukan gugatan dan menuntut SK tersebut secepatnya dicabut.
Kata Harry, gugatan itu bisa diajukan Pemko Batam ke Mahkamah Agung (MA) atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Selain menyarankan Pemko Batam mengajukan gugatan dan menuntut SK Menhut No 463 itu dicabut, Harry juga menyarankan hal serupa juga dilakukan Pemerintah Kabupaten Karimun. Pasalnya, Sebagian wilayah di Pulau Karimun Besar, di antaranya Desa Pongkar Kecamatan Tebing, berdasarkan informasi dari Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Karimun, telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
Sementara, berdasarkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karimun, desa tersebut ditetapkan sebagai kawasan wisata terpadu dan termasuk dalam Kawasan Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ).
"Kalau memang desa itu ditetapkan sebagai hutan lindung, sementara dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan wisata. Maka, sudah tentu keputusan menteri itu bertentangan dengan RTRW. Bupati harus cek daerah mana saja yang ditetapkan sebagai hutan lindung sebelumnya menyampaikan keberatan," ucapnya. (amir/andi/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar