Senin, 22 April 2013 (sumber : Bisnis Kepri)
BATAM — Wakil Gubernur Kepulauan Riau Soerya Respationo menilai dualisme wewenang antara Pemkot dan BP Batam memunculkan makelar lahan di kawasan ini.
Dia mengatakan tidak diaturnya hubungan antara dua institusi tersebut secara tegas justru membuka celah yang dimanfaatkan oleh makelar lahan tersebut.
“Sehingga di tengah peliknya persoalan yang ada di Batam, membuka ruang dan celah bagi para makelar tanah dan spekulan yang lebih condong pada cara kerjanya mafia,” paparnya, Minggu (21/4/2013).
Dia menjelaskan pada awal pembentukan Pemkot Batam terjadi kelambanan pemerintah pusat mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang nomor 53/1999. Kelambanan tesebut yang memicu hubungan dua insitutis tersebut masih tumpang tindih.
Dalam Ayat 3 UU tersebut ditegaskan, hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Aturan Hubungan Kerja antara Pemkot dan OB ini diberi waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak Pemkot dinyatakan sebagai kota otonom.
“UU sudah mengamanatkan, dalam satu tahun, paling lambat akan ada aturan mengenai hubungan antara Pemko Batam dan Otorita Batam. Sayangnya, hingga hari ini PP tersebut tidak pernah dikeluarkan,” kata dia.
Persoalan semakin bertambah, karena pusat, malah mengeluarkan UU nomor 44 tahun 2007, yang melahirkan PP nomor 46 junto PP nomor 5. Ini diakui menjadi penyebab munculnya makelar di Batam.
Dia menilai pemerintah pusat menjadi akar permasalahan saat tidak adanya hubungan kerja itu menimbulkan masing-masing institusi merasa berhak mengeluarkan ijin pengelolaan lahan sesuai kewenangannya.
“BP Kawasan mengeluarkan inin pengelolaan lahan diwilayah darat, sementara pemerintah kota juga mengeluarkan ijin pengelolaan lahan sekitar wilayah pantai, hingga 4 mil, yang menjadi kewenangannya,” paparnya.
Lahan di perairan, lanjutnya, ditimbun dan menjadi daratan. Kemudian, diwajibkan membayar UWTO. “Singkatnya ijin yang dikeluarkan Pemko itu, menjadi masalah dikemudian hari,” kata dia.
Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Kepri Surya Makmur Nasution menilai amanat UU No.53/1999 yang mengamanatkan agar Pemerintah segera membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur hubungan kerja Pemkot dan Otorita Batam (BP Batam) sudah tidak diperlukan lagi.
Dalam perkembangan selama 13 tahun ini, kata dia, perubahan Otorita Batam ke BP Batam melalui Kepres sudah mulai menegaskan wewenang masing-masing.
“Sudah jelas ada Kepres, tapi memang benar dulu diperlukan PP yang mengatur hubungan kerja Pemkot dan Otorita,” katanya.
Namun meski begitu dia mengakui meski sudah ada perubahan institusi saat ini memang masih ada beberapa kewenangan dua institusi itu yang masih tumpang tindih.
Dia mencontohkan kewenangan pendirian reklame di Batam saat ini masih berada di dua lembaga tersebut.
“Bagaimana kewenangan Pemkot sampai sekarang sekarang belum ada aturan hukumnya. Contohnya kewenangan reklame masih dua-duanya. Harus ada aturan yang jelas,” tuturnya.
Selain itu, dia juga meminta pemerintah untuk menjelaskan posisi pejabat struktural di Dewan Kawasan FTZ Batam Bintan Karimun. Saat ini kata dia DK diisi pejabat struktural yang merangkap sebagai ketua DPRD, Kepolisian hingga TNI. (k17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar