Selasa, 29 Mei 2012 (Sumber : Bisnis Kepri)
Dalam dua tahun terakhir, atmosfer bisnis otomotif di Pulau Batam memang sedang bergairah pasca diberlakukannya status kawasan perdagangan bebas. Harapan sekelompok orang akan terbukanya kran impor mobil ternyata memang terwujud.
Para pengusaha otomotif ini memang yang paling getol bersuara keras sejak kran impor mobil ke Batam ditutup saat Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2003 diberlakukan. Kini, kran impor itu dibuka kembali dan saatnya jalanan kota Batam dimeriahkan oleh parade mobil beragam jenis yang jarang kita jumpai.
Menurut data Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, sejak 2009 – 2012 tercatat tujuh importir umum yang telah mendapatkan izin pemasukan mobil secara completely built-up (CBU) dari pabrikan di luar negeri dengan total kuota sebanyak 1.200 unit.
Jadi jangan heran jika sejak 2009 lalu kita sudah bisa menyaksikan mobil jenis Hummer 3, Wrangler, Land Cruiser, Prado, Honda CR-Z, Nissan Fairlady, Mitsubishi Lancer EX, Toyota Vanguard, Alphard, Vellfire, Nissa Qashqay, Lexus RX-350, Land Rover Evogue, Subaru Impreza WRX, dan banyak lagi yang lainnya.
Merek-merek mobil di atas tidak dijual melalui dealer resmi yang sudah ada sebelumnya seperti PT Agung Automall (merek Toyota), PT Indomobil Batam (Suzuki, Nissan, dan Volkswagen), PT Majestic Autoworld (Chevrolet, Proton, dan Mazda), dan lain – lain.
Para dealer yang menjadi perpanjangan tangan ATPM di Jakarta itu pun juga jor – joran memasukkan mobil – mobil brand new sejak impor mobil rekondisi dari Singapura tidak diperbolehkan lagi.
Di satu sisi ini merupakan kesempatan bagi Pulau Batam untuk melakukan regenerasi mobil – mobil rekondisi yang sudah ada sebelumnya dengan mobil – mobil brand new dari pabrikan dalam dan luar negeri.
Namun pemasukan mobil secara besar – besaran itu ibarat bom waktu, karena harus dipertimbangkan juga daya dukung jalan di pulau ini. Apalagi, belum ada ketegasan dan kebijakan antisipatif dari pemerintah setempat agar Batam tidak menjadi lautan mobil pada 5 – 10 tahun mendatang.
Mobil mahal
Pulau Batam hari ini sedang memasuki masa gegap gempita pemasukan mobil CBU. Kondisi ini tidak jauh berbeda ketika Batam juga jor – joran memasukkan mobil rekondisi pada periode 1990 – 2000. Itu sebabnya, Batam dikenal sebagai gudangnya mobil impor dan murah.
Dulu, begitu mudahnya orang membeli mobil eks Singapura dengan ragam merek dan jenis yang bahkan tidak dijual oleh pabrikan dalam negeri.
Kini, 20 tahun kemudian, importir mendapatkan izin untuk memasukkan mobil impor brand new dan bukan rekondisi, untuk memenuhi kebutuhan para orang – orang berduit terhadap mobil – mobil kelas premium yang tentunya dengan harga yang mestinya jauh lebih murah.
Tapi apa kenyataannya? Mobil – mobil CBU yang dimasukkan oleh importir itu tidak murah – murah amat, bahkan harganya hanya beda tipis dibandingkan dengan mobil CBU sejenis yang diimpor oleh importir di Jakarta atau Surabaya.
Fasilitas bebas PPN, PPn-BM, dan bea masuk seharusnya membuat harga jual mobil CBU di Batam jauh lebih murah 50% dibandingkan mobil CBU di Jakarta. Tapi mengapa harga mobil CBU di sini masih masuk kategori mahal?
Penelusuran Bisnis-Kepri.com, mengungkapkan ada indikasi permainan dari pihak importir terhadap strategi pricing atas mobil CBU yang masuk ke Batam khususnya untuk mobil kelas premium di atas 3.000 cc.
Kita ambil contoh, mobil jenis Toyota Land Cruiser LX-570. Di Batam, mobil LC ini dijual Rp1,1 miliar on the road sementara PT Toyota Astra Motor, pabrikan merek Toyota di Jakarta juga menjual mobil ini dengan harga Rp1,2 miliar. Padahal, Toyota LC di Batam bebas pajak dan bea masuk.
Begitu juga dengan mobil Jeep Wrangler 3,6 L. Di Batam dibanderol Rp690 juta, sedangkan mobil sejenis yang djual PT Garansindo Chrysler Indonesia sekitar Rp750 juta – Rp850 juta.
Tentu ada yang aneh dengan disparitas harga antara di Batam dan Jakarta. Importir Batam yang bergelimang fasilitas justru memberikan harga jual yang mahal untuk mobil premium. Lantas, apa untungnya mereka diberikan fasilitas bebas pajak?
Setelah ditelusuri, ternyata pembengkakan biaya ini terjadi dalam proses bisnis dari si importir tersebut mulai dari proses mendapatkan perizinan, pemasukan mobil di pelabuhan, dan biaya angkut mobil dari pabrikan asal di luar negeri.
Biaya siluman ini terjadi pada saat mulai proses perizinan hingga pemasukan mobil di pelabuhan dimana kedua proses itu masuk dalam ranah BP Batam dan Bea Cukai Batam. Tanpa bermaksud menghakimi, tapi di dua institusi itulah terjadinya potensi pembengkakan biaya.
Menurut Ahmad Hijazi, Kadisperindag Kota Batam, mestinya harga mobil CBU di Batam lebih murah 50% dibandingkan mobil CBU di Jakarta. “Mengapa harganya lebih mahal? Saya yakin ini terkait dengan proses bisnis dari si importir. Silahkan saja ditelusuri,” ujarnya.
Walaupun sudah jelas lebih mahal, namun konsumen mobil CBU kelas premium ini tidak pernah surut. Terbukti, show room mobil CBU ini terus bermunculan menawarkan berbagai merek premium yang tidak diproduksi oleh pabrikan dalam negeri.
Memang tidak ada iming – iming mobil yang mereka jual lebih murah dari Jakarta, sebab yang mereka sasar adalah hasrat para kaum berduit yang ingin menjadi pemilik pertama mobil – mobil mewah di jalanan kota Batam. Soal harga, berapapun tidak jadi soal.
Tapi selanjutnya muncul pertanyaan, apa untungnya mobil – mobil CBU itu bagi negara dan daerah? Sudah jelas – jelas harganya tetap mahal walaupun sudah bebas pajak?
Kesimpulannya adalah FTZ dan fasilitas di dalamnya hanya menguntungkan para importir mobil dan minuman keras saja. Karena memang sejak awal ribut – ribut PP 02, yang selalu jadi topik utama adalah bagaimana supaya kran impor mobil dan miras bisa dibuka kembali.
Dan entah mengapa keinginan para pengusaha ini direspon cepat oleh Dewan Kawasan FTZ Batam dengan mengeluarkan peraturan khusus soal pemasukan kendaraan bermotor di FTZ Batam. Sebuah kebijakan yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan upaya mengoptimalkan status kawasan perdagangan bebas bagi calon investor. (suyono.saputra@bisnis.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar