Menurut Hasan, salah satu koordinator nelayan Pantai Stres, uang ganti rugi yang ditawarkan perusahaan itu benar-benar di luar batas kewajaran.
Sejak awal, dia menilai kegiatan reklamasi yang diduga dilakukan PT Bintang Sembilan Sembilan Persada (BSP) itu tidak memiliki itikad baik. Sebabnya jelas, tidak pernah ada komunikasi langsung antara perusahaan dengan seluruh warga yang ada di daerah itu.
"Jelas kita benar-benar merasa sangat dilecehkan karena dengan ganti rugi yang diberikan merupakan sesuatu yang tidak wajar," tutur Hasan.
Tak hanya nelayan yang kehilangan mata pencaharian, menurut Hasan, kegiatan reklamasi juga mengancam lenyapnya sumber pendapatan para buruh kasar, yang biasanya bekerja mengangkut barang-barang dari kapal-kapal yang berlabuh di sekitar perairan Pantai Stres.
"Ini menunjukan bahwa reklamasi yang dilakukan PT BSP benar-benar telah mengancam semua lini kehidupan di sini. Apalagi bagi para pedagang yang selalu melakukan barter dengan barang-barang bawaan kapal, kini hal itu juga sudah tidak terlihat lagi," katanya.
Suryati, perempuan yang sedang saat ini hidup tanpa didampingi sang suami, sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Dia menggantungkan hidupnya pada kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan tersebut. Namun sejak pelabuhan di daerah itu ditimbun, kegiatan bongkar muat tak ada lagi, dan pendapatannya pun menguap entah kemana.
"Biasanya untuk mendapatkan uang Rp100 ribu dalam satu hari tidak sulit, tapi sekarang untuk mendapatkan uang Rp10 ribu saja susah," tutur Suryati.
Karena itu, tak salah kalau dia berpendapat, kegiatan reklamasi yang dilakukan PT BSP telah mempersulit kehidupan mereka, kaum nelayan dan buruh bongkar muat.
"Kami bukan orang kaya yang bisa bertahan hidup tanpa kerja. Kami orang miskin yang kais (mencari) pagi untuk makan pagi," katanya dengan nada menggerutu.
Menurut sejumlah warga, di era tahun 1999, lokasi di sepanjang pelabuhan Batuampar hingga Tanjunguma itu merupakan daerah pesisir yang dibarengi dengan pelabuhan-pelabuhan tradisional. Namun kini satu persatu daerah tersebut semakin tereleminasi dengan maraknya kegiatan reklamasi pantai. Daerah-daerah strategis yang menjadi urat nadi kehidupan nelayan, sekarang telah berdiri berbagai jenis usaha, mulai dari hotel, restoran dan lainnya, seperti kawasan Harbourbay dan Pasific Palace Hotel.
Proyek reklamasi Pantai Stres ini di areal penimbunan bibir pantai sepanjang sekitar 500 meter. Sejumlah warga di Tanjunguma menyebutkan, aktifitas reklamasi ini diketahui sudah berlangsung sejak empat bulan belakangan.
Terkait reklamasi tersebut, puluhan warga meminta pihak berwenang untuk mengevaluasi aktifitas reklamasi besar-besaran di Pantai Stres. Jika memang sudah ada izin, pemerintah diminta mengkaji ulang termasuk analisis dampak lingkungan yang baru. Kajian ini penting, jika pemerintah benar-benar berpihak dan melindungi kepentingan warganya.
"Kita minta reklamasi yang hanya menguntungkan kalangan swasta dievaluasi kembali. Sebab warga kecil yang akan menanggung derita sepanjang hidup. Kami minta pemerintah mendengar keluhan kami ini. Kalau bisa reklamasi itu dihentikan saja atau ditinjau ulang," ” kata warga lainnya, Ahmad.
Sementara itu Badan Pengusahaan (BP) Batam telah mengalokasikan lahan di kawasan Pantai Stres, Batu Ampar yang kini tengah direklamasi sebagai industri pergudangan. Alokasi lahan ini sudah diberikan sejak 2005 lalu dengan luas lahan mencapai 5 hektar.
"Tadinya kawasan itu merupakan pelabuhan rakyat, namun izinnya sudah habis. Dan kemudian dialokasikan sebagai industri pergudangan," ungkap Staf Humas BP Batam, Ilham di Batam Centre, Senin (28/5) tanpa mau menyebutkan nama perusahaan yang mendapatkan alokasi lahan itu.
Ilham menjelaskan, sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW), kawasan itu merupakan peruntukan di bidang jasa. Bukan sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan komersil.
Izin alokasi lahan untuk industri pergudangan, diberikan hingga jangka waktu 30 tahun. Dan diperkirakan dalam 5 tahun mendatang, pembangunan industri pergudangan di kawasan itu akan selesai.
"Untuk mulai membangun, diperlukan waktu yang cukup setelah berbagai proses dilakukan. Seperti pembebasan lahan, pengerukan, pematangan lahan dan kegiatan lainnya," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bapedalda Kota Batam, Dendi Purnomo mengaku masih belum mendapatkan informasi terkait rencana pembangunan industri pergudangan di kawasan tersebut. Termasuk apakah dalam proses reklamasi telah mengantongi izin atau belum.
"Kita akan cek dulu nanti ke lapangan, belum ada informasi terkait itu," ujarnya saat ditemui di kantornya. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar