Penghentian reklamasi untuk industri pergudangan ini berdasarkan surat yang dikeluarkan Kanpel bernomor PP.008/2/9/Kpl.Btm-12 tertanggal 25 Mei 2012. Surat itu ditandatangani Pelaksana Harian Kepala Kanpel, Vizian Affandi Deta.
Dalam surat tersebut memerintahkan PT BSSP untuk menghentikan pekerjaan reklamasi sampai dengan dikeluarkannya izin kerja reklamasi oleh Menteri Perhubungan. Hal ini sesuai dengan pasal 318 Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
Dalam pasal itu disebutkan setiap orang yang melakukan reklamasi tanpa seizin pemerintah (Presiden RI melalui Menteri Perhubungan (Menhub) dipidana paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp300 juta.
Dalam surat itu juga disebutkan, berdasarkan pengawasan Kantor Pelabuhan Batam, PT BSSP telah mulai melaksanakan kegiatan reklamasi sebelum mendapat izin kerja reklamasi dari Menhub. Kegiatan reklamasi ini dilakukan di wilayah perairan pelabuhan utama pengembangan pelabuhan atau terminal umum Batuampar.
Selain belum memiliki izin dari Kemenhub, PT BSSP juga tidak mengantongi Amdal (analisa dampak lingkungan) dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam.
Kepala Bapedalda Kota Batam, Dendi Purnomo mengatakan pemerintah belum pernah mengeluarkan Amdal untuk reklamasi PT BSSP di kawasan tersebut. Namun demikian, ia mengaku akan menelusuri adanya kemungkinan izin Amdal untuk reklamasi dilakukan atas nama perusahaan lain.
"Saat ini masih kita telusuri, karena Bapedalda tidak ada mengeluarkan izin Amdal atas nama PT BSSP untuk kegiatan reklamasi di Pantai Stres. Sedangkan untuk kegiatan cut and fillnya dilakukan di bukit Sulaiman Abdullah Batuampar," ungkap Dendi di Batam Centre, Selasa (29/5).
Dendi menegaskan, pihaknya akan melakukan tindakan tegas jika dalam proses reklamasi yang telah berlangsung sekitar 4 bulan itu tanpa dilengkapi Amdal.
"Kalau tidak ada izin, akan langsung kita hentikan," tegasnya.
Proyek reklamasi Pantai Stres ini di areal penimbunan bibir pantai sepanjang sekitar 500 meter. Sejumlah warga di Tanjunguma menyebutkan, aktifitas reklamasi ini diketahui sudah berlangsung sejak empat bulan belakangan.
Terkait reklamasi tersebut, puluhan warga meminta pihak berwenang untuk mengevaluasi aktifitas reklamasi besar-besaran di Pantai Stres. Jika memang sudah ada izin, pemerintah diminta mengkaji ulang termasuk analisis dampak lingkungan yang baru. Kajian ini penting, jika pemerintah benar-benar berpihak dan melindungi kepentingan warganya.
"Kita minta reklamasi yang hanya menguntungkan kalangan swasta dievaluasi kembali. Sebab warga kecil yang akan menanggung derita sepanjang hidup. Kami minta pemerintah mendengar keluhan kami ini. Kalau bisa reklamasi itu dihentikan saja atau ditinjau ulang," ” kata warga lainnya, Ahmad.
Sementara terkait dengan ganti rugi, salah seorang koordinator nelayan Pantai Stres, Hasan mengaku, uang ganti rugi yang diberikan perusahaan Rp1,5 juta di luar batas kewajaran.
Sejak awal, dia menilai kegiatan reklamasi yang diduga dilakukan PT Bintang Sembilan Sembilan Persada (BSP) itu tidak memiliki itikad baik. Sebabnya jelas, tidak pernah ada komunikasi langsung antara perusahaan dengan seluruh warga yang ada di daerah itu.
"Jelas kita benar-benar merasa sangat dilecehkan karena dengan ganti rugi yang diberikan merupakan sesuatu yang tidak wajar," tutur Hasan.
Tak hanya nelayan yang kehilangan mata pencaharian, menurut Hasan, kegiatan reklamasi juga mengancam lenyapnya sumber pendapatan para buruh kasar, yang biasanya bekerja mengangkut barang-barang dari kapal-kapal yang berlabuh di sekitar perairan Pantai Stres.
"Ini menunjukan bahwa reklamasi yang dilakukan PT BSP benar-benar telah mengancam semua lini kehidupan di sini. Apalagi bagi para pedagang yang selalu melakukan barter dengan barang-barang bawaan kapal, kini hal itu juga sudah tidak terlihat lagi," katanya.
Suryati, perempuan yang sedang saat ini hidup tanpa didampingi sang suami, sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Dia menggantungkan hidupnya pada kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan tersebut. Namun sejak pelabuhan di daerah itu ditimbun, kegiatan bongkar muat tak ada lagi, dan pendapatannya pun menguap entah kemana.
"Biasanya untuk mendapatkan uang Rp100 ribu dalam satu hari tidak sulit, tapi sekarang untuk mendapatkan uang Rp10 ribu saja susah," tutur Suryati.
Karena itu, tak salah kalau dia berpendapat, kegiatan reklamasi yang dilakukan PT BSP telah mempersulit kehidupan mereka, kaum nelayan dan buruh bongkar muat.
"Kami bukan orang kaya yang bisa bertahan hidup tanpa kerja. Kami orang miskin yang kais (mencari) pagi untuk makan pagi," katanya dengan nada menggerutu. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar