TRIBUNBATAM, BATAM - Di
tengah pesta kembang api dan gegap-gempira menyambut tahun baru 2013
ini, Batam justru mendapatkan kado tahun baru yang buruk.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengeluarkan aturan impor telepon seluler, komputer genggam dan komputer tablet di Indonesia yang berpotensi menimbulkan kisruh lagi.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Senin (31/12/2012) menjelaskan, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82/M-DAG/PER/12/2012 yang mengatur tata cara impor ketiga produk tersebut.
"Aturan ini diterbitkan guna mendukung Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan (K3L), serta industrialisasi telepon seluler dan komputer di masa yang akan datang," kata Gita di Jakarta.
Salah satu poin penting dalam regulasi baru itu adalah tentang pelabuhan laut dan udara yang boleh mengimpor ponsel, komputer genggam dan tablet. Untuk pelabuhan laut, yang diperbolehkan adalah Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, dan Soekarno-Hatta di Makassar.
Sedangkan untuk pelabuhan udara adalah adalah Polonia di Medan, Soekarno-Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Hasanuddin di Makassar.
Permendag 82 yang ditandatangani tanggal 31 Desember kemarin ini berlaku mulai 1 Januari 2013. Toleransi hanya diberikan kepada IT-Produk Tertentu yang dikapalkan dari negara asal sebelum tanggal 1 Januari 2013 dan tiba di pelabuhan tujuan paling lambat tanggal 28 Februari 2013.
Tentu saja ketentuan ini berpotensi membuat kisruh lagi karena hingga saat ini, status kawasan [erdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau FTZ sampai saat ini belum jelas.
Ketua Afeksi Kepri KJapt Daniel Burhanuddin mengatakan, hingga saat ini, antara pengusaha dengan pemerintah masih beda tafsir tentang status FTZ.
Pengusaha menafsirkan UU FTZ maupun peraturan pemerintah yang mengatur tentang FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK), kawasan ini belum dihitung sebagai impor karena dalam aturan itu disebutkan bahwa kawasan FTZ adalah kawasan non-pabean yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, barang-barang yang masuk ke wilayah BBK hanya dicatat sebagai impor tetapi bukan barang impor. Karenanya, bila barang tersebut dibawa ke wilayah pabean, baru diberlakukan ketentuan impor.
Sementara, pemerintah menganggap bahwa setiap barang yang masuk tetap diberlakukan sama dengan daerah pabean lainnya. Hal inilah yang menimbulkan kisruh ketika pihak Bea dan Cukai menahan impor sayur-sayuran ke Batam, beberapa waktu lalu.
"Ini kado tahun baru yang buruk bagi Batam. Bisa heboh lagi nanti di pelabuhan kalau pemerintah daerah tidak segera meminta penjelasan kepada Menteri Perdagangan," kata Daniel kepada Tribun.
"Tahun dulu juga begitu, ketika pemerintah merazia barang-barang yang tidak berlogo SNI (Sertifikat Nasional Indonesia). Apa kita akan begini terus?" katanya kesal.
Daniel meminta pemerintah daerah dan dewan kawasan harus lebih berani menyelesaikan masalah ini di Jakarta sebab hampir setiap tahun selalu ada masalah tentang FTZ ini. Antara aturan yang satu dengan yang lain selalu bertabrakan dan selalu saja menimbulkan multi-tafsir.
"Herannya, pemerintah daerah kita membiarkan saja seolah-olah tidak mengerti bahwa hal ini masalah yang penting. Sebab, dampaknya besar bagi perekonomian Batam," kata Daniel.
Salah satu dampak itu adalah mengurangi daya tarik Batam sebagai kawasan wisata belanja.
Masyarakat dari daerah lain tahu bahwa barang-barang elektronik di Batam ini lebih murah dibanding daerah lain sehingga mereka tidak perlu lagi ke Singapura untuk belanja. Apalagi, sudah ada ketentuan Kementerian Keuangan tentang batas barang yang bisa dibawa harganya di bawah 250 dolar AS.
"Aturan baru Mendag ini jelas membunuh para pedagang elektronik di Nagoya," sengatnya.
Berulang lagi
Direktur Lalu Lintas Barang Badan Pengusahaan Kawasan (BP) Batam Fathullah juga kaget dengan munculnya peraturan tersebut. Ia mengatakan, aturan itu bisa mengulangi lagi kekisruhan impor sayuran, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, Mendag juga pernah membuat ketentuan impor sayur-mayur yang juga tidak mencantumkan Batam sebagai pelabuhan impor. Setelah ketentuan itu ramai, kemudian pemerintah membuat ketentuan baru. Impor sayur-mayur di wilayah FTZ dibolehkan, tetapi hanya untuk dijual di wilayah FTZ saja dan tidak boleh dijual di wilayah pabean lain.
Menurut Fathullah, kendati ia belum membaca peraturan Mendag yang baru ini, tetapi tidak adanya pasal yang mengsatur tentang ketentuan di wilayah FTZ, berpotensi menimbulkan masalah lagi.
"Ya, persis seperti impor sayuran dulu meskipun dampaknya tidak langsung pada kebutuhan hidup orang banyak," kata Fathullah.
Tahun lalu, kasus yang sama juga terjadi ketika pemerintah menetapkan label Standar Nasional Indonesia (SNI) kepada seluruh barang yang beredar di Indonesia. Pada September 2012, aparat kepolisian kemudian merazia kawasan Nagoya dan menyita puluhan printer tanpa SNI.
Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 10/2012 yang merupakan perubahan PP No.2/2009, diatur bahwa produk yang beredar di kawasan FTZ, tidak perlu ada SNI. Begitu juga tentang aturan impor sayuran.
Mengenai perbedaan penafsiran tentang status impor barang di wilayah pabean dan non-pabean, menurut Fathullah sebenarnya sudah jelas, yakni berlaku pembatasan untuk empat hal. Pertama menyangkut kesehatan, kemudian keamanan, lingkungan dan perlindungan konsumen.
"Untuk ketentuan baru ini, karena belum jelas, tentunya kita harus membahasnya dengan cepat agar tidak menimbulkan masalah lagi. Ya, ini pekerjaan baru kita di tahun baru," kata Fathullah. (Tribun Batam Cetak)
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengeluarkan aturan impor telepon seluler, komputer genggam dan komputer tablet di Indonesia yang berpotensi menimbulkan kisruh lagi.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Senin (31/12/2012) menjelaskan, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82/M-DAG/PER/12/2012 yang mengatur tata cara impor ketiga produk tersebut.
"Aturan ini diterbitkan guna mendukung Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan (K3L), serta industrialisasi telepon seluler dan komputer di masa yang akan datang," kata Gita di Jakarta.
Salah satu poin penting dalam regulasi baru itu adalah tentang pelabuhan laut dan udara yang boleh mengimpor ponsel, komputer genggam dan tablet. Untuk pelabuhan laut, yang diperbolehkan adalah Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, dan Soekarno-Hatta di Makassar.
Sedangkan untuk pelabuhan udara adalah adalah Polonia di Medan, Soekarno-Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Hasanuddin di Makassar.
Permendag 82 yang ditandatangani tanggal 31 Desember kemarin ini berlaku mulai 1 Januari 2013. Toleransi hanya diberikan kepada IT-Produk Tertentu yang dikapalkan dari negara asal sebelum tanggal 1 Januari 2013 dan tiba di pelabuhan tujuan paling lambat tanggal 28 Februari 2013.
Tentu saja ketentuan ini berpotensi membuat kisruh lagi karena hingga saat ini, status kawasan [erdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau FTZ sampai saat ini belum jelas.
Ketua Afeksi Kepri KJapt Daniel Burhanuddin mengatakan, hingga saat ini, antara pengusaha dengan pemerintah masih beda tafsir tentang status FTZ.
Pengusaha menafsirkan UU FTZ maupun peraturan pemerintah yang mengatur tentang FTZ Batam, Bintan dan Karimun (BBK), kawasan ini belum dihitung sebagai impor karena dalam aturan itu disebutkan bahwa kawasan FTZ adalah kawasan non-pabean yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, barang-barang yang masuk ke wilayah BBK hanya dicatat sebagai impor tetapi bukan barang impor. Karenanya, bila barang tersebut dibawa ke wilayah pabean, baru diberlakukan ketentuan impor.
Sementara, pemerintah menganggap bahwa setiap barang yang masuk tetap diberlakukan sama dengan daerah pabean lainnya. Hal inilah yang menimbulkan kisruh ketika pihak Bea dan Cukai menahan impor sayur-sayuran ke Batam, beberapa waktu lalu.
"Ini kado tahun baru yang buruk bagi Batam. Bisa heboh lagi nanti di pelabuhan kalau pemerintah daerah tidak segera meminta penjelasan kepada Menteri Perdagangan," kata Daniel kepada Tribun.
"Tahun dulu juga begitu, ketika pemerintah merazia barang-barang yang tidak berlogo SNI (Sertifikat Nasional Indonesia). Apa kita akan begini terus?" katanya kesal.
Daniel meminta pemerintah daerah dan dewan kawasan harus lebih berani menyelesaikan masalah ini di Jakarta sebab hampir setiap tahun selalu ada masalah tentang FTZ ini. Antara aturan yang satu dengan yang lain selalu bertabrakan dan selalu saja menimbulkan multi-tafsir.
"Herannya, pemerintah daerah kita membiarkan saja seolah-olah tidak mengerti bahwa hal ini masalah yang penting. Sebab, dampaknya besar bagi perekonomian Batam," kata Daniel.
Salah satu dampak itu adalah mengurangi daya tarik Batam sebagai kawasan wisata belanja.
Masyarakat dari daerah lain tahu bahwa barang-barang elektronik di Batam ini lebih murah dibanding daerah lain sehingga mereka tidak perlu lagi ke Singapura untuk belanja. Apalagi, sudah ada ketentuan Kementerian Keuangan tentang batas barang yang bisa dibawa harganya di bawah 250 dolar AS.
"Aturan baru Mendag ini jelas membunuh para pedagang elektronik di Nagoya," sengatnya.
Berulang lagi
Direktur Lalu Lintas Barang Badan Pengusahaan Kawasan (BP) Batam Fathullah juga kaget dengan munculnya peraturan tersebut. Ia mengatakan, aturan itu bisa mengulangi lagi kekisruhan impor sayuran, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, Mendag juga pernah membuat ketentuan impor sayur-mayur yang juga tidak mencantumkan Batam sebagai pelabuhan impor. Setelah ketentuan itu ramai, kemudian pemerintah membuat ketentuan baru. Impor sayur-mayur di wilayah FTZ dibolehkan, tetapi hanya untuk dijual di wilayah FTZ saja dan tidak boleh dijual di wilayah pabean lain.
Menurut Fathullah, kendati ia belum membaca peraturan Mendag yang baru ini, tetapi tidak adanya pasal yang mengsatur tentang ketentuan di wilayah FTZ, berpotensi menimbulkan masalah lagi.
"Ya, persis seperti impor sayuran dulu meskipun dampaknya tidak langsung pada kebutuhan hidup orang banyak," kata Fathullah.
Tahun lalu, kasus yang sama juga terjadi ketika pemerintah menetapkan label Standar Nasional Indonesia (SNI) kepada seluruh barang yang beredar di Indonesia. Pada September 2012, aparat kepolisian kemudian merazia kawasan Nagoya dan menyita puluhan printer tanpa SNI.
Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 10/2012 yang merupakan perubahan PP No.2/2009, diatur bahwa produk yang beredar di kawasan FTZ, tidak perlu ada SNI. Begitu juga tentang aturan impor sayuran.
Mengenai perbedaan penafsiran tentang status impor barang di wilayah pabean dan non-pabean, menurut Fathullah sebenarnya sudah jelas, yakni berlaku pembatasan untuk empat hal. Pertama menyangkut kesehatan, kemudian keamanan, lingkungan dan perlindungan konsumen.
"Untuk ketentuan baru ini, karena belum jelas, tentunya kita harus membahasnya dengan cepat agar tidak menimbulkan masalah lagi. Ya, ini pekerjaan baru kita di tahun baru," kata Fathullah. (Tribun Batam Cetak)
Editor : imans_7811
Tidak ada komentar:
Posting Komentar