Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Senin, 18 April 2011

Otorita Masih Eksis

CANDRA IBRAHIM
CATATAN CANDRA IBRAHIM SEPERTI sudah diduga sebelumnya, dan saya sempat bertaruh dengan seseorang dari keluarga sebuah partai di DPRD Batam, rencana pembentukan panitia khusus (pansus) tentang status Pulau Janda Berhias, kandas di paripurna, 12 April lalu. Dari sembilan fraksi, lima di antaranya menolak, tiga menerima (PKS, PDIP, PPP Plus), satu abstain (PAN).

Jauh sebelumnya, saya dapat bocoran dari seorang petinggi PKS bahwa pansus ini akan layu sebelum berkembang. Pulau Janda Berhias yang sebelumnya tidak masuk kawasan FTZ Batam, aman untuk sementara. Mengapa sementara?
Di PP 46 tahun 2007, pulau-pulau yang masuk ke dalam kawasan FTZ Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Pulua-pulau ini dihubungkan oleh jembatan “Barelang”.
Belum lagi FTZ Batam berjalan dengan baik, karena di sana-sini masih banyak aturan yang tidak jelasm bahkan terkesan ngawur, empat tahun kemudian, 2011, keluar pula PP 05 tahun 2011, sebagai revisi atas PP 46. Isinya, pulau-pulau yang masuk kawasan FTZ Batam ditambah satu, Pulau Janda Berhias plus gugusannya. Inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi di kalangan anggota DPRD Batam.
Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengaku tidak tahu-menahu dengan perubahan PP tersebut. Katanya, pihaknya tidak dilibatkan. Artinya, PP yang ditandatangani Presiden SBY tertanggal 4 Februari tahun 2011 itu dapat diduga merupakan permainan oknum di Pemko Batam bersama Otorita Batam yang kini berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam (sering disebut BP Batam). Paling tidak, sinyalemen tersebut diakui BP Batam, seperti dikatakan Bagian Humas Dwi Joko.
Menurutnya, kealfaan memasukkan Pulau Janda Berhias ke dalam FTZ Batam di PP terdahulu (PP 46/2007), merupakan kealfaan semata. Alasannya, Pulau Janda Berhias sudah dikelola sejak tiga tahun lalu, sudah ada investasi asing di sana, termasuk investasi PLN Batam. Tentu saja aneh, karena PP bisa keliru seperti itu.
Atas perubahan PP tersebut, Wako Ahmad Dahlan mengaku kecolongan. Dia tidak tahu, katanya. Namun sikap Dahlan sendiri ambivalen; tidak tahu, menyayangkan, namun dapat memaklumi dan terlihat ikhlas. Dua kejadian di atas itulah yang membuat geram kalangan DPRD Batam.
Pertama, Wako mengaku tidak dilibatkan dalam perubahan PP, kedua, Wako mengaku ikhlas Janda berhias masuk kawasan FTZ dan dikelola BP Batam. Ini tentu bukan sikap seorang pejabat daerah yang layak ditiru, karena tidak tegas dan mencla-mencle. Akan tetapi, jika dilihat dari background maupun posisi Ahmad Dahlan, sikapnya terhadap perubahan PP tersebut dapat dimaklumi.
Pertama, sebagai wali kota, Dahlan juga duduk sebagai wakil ketua Dewan Kawasan FTZ yang diketuai gubernur, dan kedua, Dahlan juga bekas pegawai Otorita Batam yang kini ganti baju menjadi BP Batam tersebut. Dalam istilah Ketua Fraksi PKS DPRD Batam, Ricky Indrakari di akun twitter-nya, sikap tersebut seperti sebuah “perselingkuhan” ala Pemko Batam dan “anomali otonomi daerah”.
Lantas, bagaimanakah selanjutnya nasib Pansus Pulau Janda Berhias? Sudah pasti pansus gagal dibentuk, namun ada keyakinan sebagian anggota DPRD Batam bahwa hal itu masuk bisa dibawa ke rapat komisi. Hanya saja, karena persoalan FTZ ini begitu komplek dan menyangkut banyak aspek, belum dapat diputuskan komisi mana saja kelak yang akan membahasnya. Yang jelas, gagalnya pembentukan Pansus Pulau Janda Berhias, dapat dianggap sebagai kemenangan BP Batam.
Melalui lobi-lobi yang mereka mainkan, setidaknya, menunjukkan bahwa Otorita Batam atau apapun namanya, masih eksis, masih kuat, dan masih berpengaruh. Istilah seorang anggota DPRD Batam, BP Batam masih kuat otoritas maupun entitasnya.
Melihat berbagai kejadian di atas, beberapa kalangan kemudian menilai, jika BP Batam masih sangat dominan, terutama dalam hal investasi maupun hak pengelolaan lahan (HPL), apa gunanya ada Pemko Batam yang jelas-jelas dibentuk melalui UU 53 tahun 1999? Bagaimana mungkin DPRD Batam yang merupakan satu kesatuan dalm “forum komunikasi pemerintah daerah” dapat menerima wilayah kekuasaannya diutak-atik pihak lain? Padahal, Otorita Batam “hanya” dibentuk oleh Keppres? Meskipun, kemudian, dan ini contoh lain anomali peraturan di Indonesia, dalam salah satu pasal di UU 53/1999 menyebutkan, dalam pembangunan Kota Batam, Pemko Batam “mengikutsertakan” Otorita Batam.
Lalu kemudian, muncul lagi macam-macam aturan yang semakin membuat bingung, yakni Perppu FTZ, PP 46/2007, dan UU FTZ. Kalau demikian, bukan tidak mungkin, kelak, akan ada pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, mempertanyakan keberadaan Otorita Batam yang dalam rencana sang arsitek BJ Habibie, harus dibubarkan tahun 2006 itu. Kenyataannya, OB makin eksis, meski dengan nama baru, BP Batam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar