(Batam Pos) Jan 5, '09 5:19 AM
http://batampos.co.id/Opini/Opini/Batam_Bukan_Hutan_Reklame.html
Senin, 05 Januari 2009
Oleh: NURHADI
Alumni ITS Surabaya, Bermukim Di Batam
Menarik sekali membaca Batam Pos, edisi Minggu 4-Januari-2009 yang meliput secara khusus program ”Visit Batam 2010”. Intinya adalah, ”Visit Batam 2010” ingin menjadikan Batam sebagai salah satu tujuan kunjungan wisata nomor satu di Indonesia. Sebagai warga Batam, tentunya kita ”wajib” mendukung program tersebut sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.
Namun, ada sesuatu yang ironis di sini, salah satunya adalah keberadaan reklame (termasuk poster, baliho, spanduk, poster, bendera) yang keberadaannya makin tidak terkontrol. Tidak terkontrol di sini maksudnya adalah penataannya yang tidak lagi memenuhi unsur estetika tata kota serta jumlahnya yang sudah di luar ambang batas. Ibarat seorang gadis, reklame, spanduk dan sejenisnya merupakan ”wajah”. Jika penataanya amburadul, jumlahnya tak terkontrol dan semrawut sama saja dengan menamam bisul di wajah. Kalau sudah demikian, Anda sudah bisa menebak, apakah gadis tersebut masih bisa memancarkan kecantikan dan keanggunannya?
Kolega saya, teman sekerja dan seorang ”Singaporean”, sering menceritakan keherannya dengan banyaknya spanduk/poster orang-orang yang mengiklankan diri mereka sendiri. Ini sering ia temukan di setiap sisi kanan-kiri jalan dalam perjalanan dari Pelabuhan Batam Centre menuju ke Kawasan Industri Batamindo (KIB) di Mukakuning. Katanya “What is this for?” (Untuk apa semua ini?) tentu, yang ia maksud adalah spanduk para caleg (Calon legistaif) yang sedang “mempromosikan diri” dan mencari keberuntungan di pemilu tahun 2009.
Di tempat-tempat strategis, seperti pertigaan jalan raya, pinggir-pinggir jalan raya utama, dekat lampu merah, mal, toko, hingga gang-gang kecil di kampung, semua penuh dengan spanduk, poster dan baliho para caleg. Semua seperti penjual kecap. ”Pilih saya, kecap nomer 1” Kira-kira demikian.
Dan saya yakin, tidak semua membayar pajak. Mereke bebas memasang di mana saja dan kapan saja. Padahal, berdasarkan peraturan yang berlaku, untuk setiap reklame, baliho, dan sejenisnya terrdapat pajak yang harus dibayar kepada pemerintah setempat melalui Dispenda (Dinas pendapatan daerah). Semua sudah diatur sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Ini belum termasuk reklame komersial milik perusahaan/industri yang penataanya juga masih belum optimal. Ada pula yang masa tayangnya sudah habis, namun oleh si pemilik belum juga dibongkar.
Sebagai warga Batam, kita sepatutnya prihatin dengan kondisi ini. Sudah tidak ada lagi wajah Batam yang asri dan tertata rapi. Tentunya, dari beberapa Anda pernah berfikir, bagaimana kira-kira solusi yang lebih baik untuk menata reklame dengan baik. Kondisi yang baik di sini maksudnya adalah saat reklame (dan sejenisnya tersebut) tidak merusak kecantikan dan keindahan kota. Apakah kita akan mengorbankan penampilan kota dengan reklame? Tidak bisakah mereka berdampingan? Atau kita bebaskan 100 persen Batam dari reklame?
Perlu kita ketahui bersama bahwa salah satu penyebab reklame berada tersebar dan tidak bisa disatukan pada satu lokasi adalah karena sebuah titik pemasangan reklame merupakan tempat yang banyak dilewati oleh kendaraan yang berisi calon konsumen. Seseorang yang sedang mengendarai mobil dan sepeda motornya seringkali kurang menyadari bahwa mereka selalu menjadi objek iklan. Mulai dari menyaksikan reklame-reklame kota sepanjang perjalanan, mendengar iklan di radio dan menyaksikan iklan di televisi. Kalaupun mereka menyadari, hanya sebagian dari mereka yang merasa terganggu oleh keberadaan iklan-iklan ini.
Di beberapa kota lain ada yang memberikan insentif untuk ide reklame yang pada akhirnya mempercantik wajah kota. Umumnya dilakukan dengan mengadakan kompetisi kreativitas bagi agensi periklanan di kotanya. Ini adalah sesuatu menarik, karena bagaimanapun hal tersebut memberikan pemicu bagi agensi periklanan untuk mulai melakukan sesuatu. Ada juga kota-kota yang membatasi jumlah iklan media ruang berbentuk billboard, namun berupaya menyediakan insentif bagi fasilitas publik yang disponsori oleh perusahaan (misal : kamar mandi umum, telepon umum, kursi, pembatas lalu lintas, tempat sampah, dll).
Nah, Batam bisa memilih, cara mana yang hendak ditempuh. Sebagai warga Batam, kita hanya bisa berharap dan memberikan masukan positif kepada pemerintah kota untuk melakukan yang terbaik.
Disamping itu, perlu ada ketegasan hukum terutama terhadap reklame caleg dan parpol. Bagi mereka yang terbukti melanggar, Pemko harus berani bertindak dan melakukan sweeping dengan cara mencabut dan membersihkannya dari ruas jalan. Jika perlu, diberlakukan aturan khusus daerah atau jalan mana saja yang tidak boleh dipasang gambar, poster atau apa saja yang berbau parpol dan caleg. Cara ini, terbukti efektif dilaksanakan di Kota Surabaya Jawa Timur. Di sana, di Jl. Yani, Diponegoro, Raya Darmo, Raya Wonokromo, Urip Sumohardjo, Basuki Racmat dan Embong Malang yang merupakan jalur utama kota di ”haramkan” adanya poster, gambar maupun baliho parpol/caleg. Meskipun masih ditemui pelanggaran dil apangan, namun apa salahnya mencoba menerapkannya di kota ini.
Ini juga kesempatan baik bagi caleg dan parpol. Sebelum mereka benar-benar terpilih menjadi anggota legistatif, harus bisa memberikan suri tauladan kepada masyarakat, meskipun sifatnya sederhana. Salah satunya dalam bentuk kepedulian mereka terhadap pemasangan poster dan bendera. Boleh saja mereka berdasi rapi dan terpampang manis fotonya, tetapi jika spanduk dan poster mereka sendiri justru merusak keindahan kota, apa yang hendak dipilih dari caleg/parpol semacam ini?
Batam boleh saja bangga dengan sebutan ”Pulau investasi” atau ”Gerbang Internasional”. Namun kebanggaan tersebut menjadi tidak akan berarti jika tata kotanya masih amburadul dan reklame adalah salah satu di dalamnya. Saya punya impian melihat ruas-ruas jalan kota Batam bersih dari ”sampah” bendera parpol. Atau membayangkan setiap jalur strategis ada Baliho yang cantik dengan estetika yang tinggi.
Sehingga, siapa saja yang datang ke Batam akan semakin betah. Bukan hanya betah karena surga belanjanya, namun juga suguhan tata ruang kota yang secara kesuluruhan menawarkan keindahan. Siapa tahu, suatu saat orang akan lebih betah berlama-lama di perempatan lampu merah hanya karena ingin melihat ”kecantikan reklame”.
Ini semua adalah tantangan kita semua, baik pemko, pelaku iklan, perusahaan/industri dan masyarakat. Mari kita wujudkan ”Visit Batam 2010” dan jangan jadikan ”Batam sebagai hutan reklame”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar