| | |
Ditulis oleh Redaksi , Senin, 03 May 2010 07:53 (sumber Batam Pos,versi asli) |
BATAM (BP) - Rumah-rumah itu berdempetan. Ukurannya kecil, rata-rata 4x5 meter. Sebagian semi permanen, sebagian lagi terbuat dari papan dan berdinding tripleks. Tak ada teras, apalagi halaman. Jalan utama perkampungan juga kecil, lebarnya tak sampai satu meter. Mirip lorong. Namun, sepeda motor lalu lalang hampir tiap menit. Rutenya berkelok-kelok, naik turun. Butuh kecakapan khusus menunggang kendaraan menuju perkampungan itu. Inilah Kampung Seraya Bawah, permukiman liar yang eksis sejak 1986. Letaknya tak jauh dari Markas Kodim Batam. Masuk Kecamatan Batuampar. Menempati lembah, rumah-rumah penduduk berdiri bersusun-susun. Suasana perkampungan pengap dan lembab. Saat cuaca panas, suasananya gerah. Warga banyak duduk bertelanjang dada. Jika hujan deras, seperti pekan lalu, perkampungan tersebut banjir. Air meluap. Tahun 2005 silam, Kampung Seraya Bawah longsor. Banyak rumah rusak. Puluhan warga terluka, satu orang meninggal dunia. Kampung Seraya Bawah terdiri dari dua RT: RT 05 dan RT 06. Rata-rata yang tinggal di sana para pekerja pabrik, penyapu jalan, buruh bongkar muat, dan warga golongan menengah ke bawah lainnya. Perkampungan tersebut sudah dialiri listrik, namun air ledeng dari PT Adhya Tirta Batam (ATB) tak masuk. Warga mendapatkan air bersih dari kios air atau air sumur yang ada di dalam perkampungan. Meski sarana dan infrastruktur tak memadai, Kampung Seraya Bawah tak pernah sepi. ”Di RT saya saja, penduduknya hampir seribu jiwa. Itu yang dewasa, belum lagi yang anak-anak,” kata Sadini, 41, Ketua RT 05 RW 01 Kampung Seraya, Rabu pekan lalu. Sadini sendiri tinggal di sana sejak tahun 1989. Dulu, saat pertama kali tinggal, ia masih bujangan. Sekarang, dia sudah punya istri dan anak. Tak terpikir untuk pindah? ”Kalau dulu, mungkin saya bisa saja beli rumah. Sekarang sudah berat,” katanya. Tinggal di rumah liar atau ruli, tak perlu membayar cicilan rumah tiap bulan. Namun, bukan berarti rumah-rumah semi permanen di sana harganya murah. Rumah petak ukuran 4x5 meter saja, harganya Rp5 juta. ”Bahkan ada yang mau beli rumah di ruli yang sempit seperti di sini Rp25 juta,” kata Sadini. Tak semua mereka yang tinggal di ruli, karena tak punya uang. Ada juga yang punya rumah di perumahan di tengah kota, namun memilih tetap tinggal di Kampung Seraya Bawah. ”Biasanya kalau pertama kali tinggal di sini, suka mengolok-olok. Tapi kalau sudah tinggal agak lama, susah mau ninggalin kampung ini,” tuturnya. Sutaryo, 50-an, contohnya. Tahun 1993, buruh bongkar muat di Batuampar itu pernah tinggal di Kampung Seraya, lalu pindah ke Baloi. Namun karena tempat tinggalnya digusur, ia pindah lagi ke Kampung Seraya. Kenapa tak beli rumah resmi? ”Saya bikin rumah di kampung. Anak-istri saya di sana. Kan tak selamanya saya tinggal di Batam,” kata Sutaryo. Kampung Seraya Bawah termasuk yang kebal dari penggusuran. Selama 21 tahun tinggal di sana, menurut Sadini, rumahnya tak pernah mengalami penggusuran. Pernah, ada desas-desus perkampungan itu akan digusur, bahkan banyak pengusaha yang mengaku perkampungan itu lahan mereka. ”Namun selama ini tak pernah ada yang menemui saya, kalau lahan ini mau digusur atau ada yang punya, biarkan saja,” katanya. Kampung Seraya Bawah seperti terpisah dari Kota Batam. Uang pembangunan ratusan miliar rupiah tak pernah menyentuh kampung tersebut. ”Pernah dalam Musrenbang saya usul agar ada pembangunan drainase, tapi ditolak karena lokasi kami ruli. Setiap tahun, tak pernah disetujui,” kata Sadini. Jika Kampung Seraya Bawah tak tersentuh pembangunan, beda nasibnya dengan Bengkong Kolam, Kelurahan Sadai, Kecamatan Bengkong. Meski tanah di kawasan tersebut belum jelas statusnya, sejumlah fasilitas publik dibangun di sana. Seperti gedung pertemuan, atau gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bantuan dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepri. Rumah-rumah warga di Bengkong Kolam sempat digusur tahun 2007 lalu. Namun unjuk rasa ribuan warganya selama berhari-hari di Kantor DPRD Batam, Kantor Wali Kota, dan Otorita Batam (OB), membuat penggusuran itu terhenti. ”Dulu ada kesepakatan kalau tak akan ada penggusuran, sebelum status lahan di Bengkong Kolam ini jelas. Pertemuan dengan OB dua bulan lalu, mereka janji lahan di sini tak akan dialokasikan ke siapa-siapa,” kata Ketua RT 01 RW 03, Sadai, Bengkong, Ujang Khalik. Beda dengan Kampung Seraya, rata-rata rumah di Bengkong Kolam sudah permanen. Beberapa di antaranya bertingkat. Toko banyak yang buka. Jalan perkampungan juga lebar-lebar. ”Ada rumah di sini yang harganya ratusan juta rupiah,” kata Ujang. Meski lahan perumahan itu bermasalah, belum jelas pemiliknya, warga Bengkong Kolam, kata Ujang, akan marah jika disebut tinggal di rumah liar. ”Rumah liar itu kan bentuknya seperti gubuk, tak ada halaman. Kalau di sini kan rata-rata rumah warganya sudah permanen,” ujarnya. Ujang tinggal di Bengkong Kolam sejak tahun 1998. Saat itu, ia baru saja digusur dari kawasan Bengkong Sarmen. Ia sebenarnya dapat ganti rugi berupa kavling siap bangun (KSB) di Dapur 12 berukuran 6x6 meter. Namun karena, ketika itu, Dapur 12 masih berupa kawasan hutan, ia memilih mengambil ganti rugi uang Rp200 ribu. Kemudian ia menempati lahan perkebunan warga di Bengkong Kolam dengan mengganti ongkos tebasnya. Di situlah ia mendirikan gubuk, berbahan tripleks dan beratap getah. ”Sekarang Alhamdulillah, rumah saya sudah seperti ini,” katanya. Rumah Ujang sudah permanen, berlantai keramik berdiri di atas lahan 8x12 meter. Sekarang Ujang dan warga Bengkong Kolam lainnya sedang menunggu pengakuan pemerintah atas tanah yang mereka tempati. ”Katanya, Otorita Batam sedang menunggu persetujuan dari pemerintah pusat agar kawasan Bengkong Kolam yang tadinya hutan lindung bisa jadi kawasan perumahan.” *** RUMAH liar atau ruli adalah bagian yang sulit dipisahkan dengan perkembangan Batam. Ia tumbuh jauh sebelum Batam mengalami kemajuan seperti sekarang ini. Dan, tak ada pula yang tahu pasti, siapa yang pertama kali mempopulerkan istilah ”ruli”. Hanya saja, nyaris di setiap kawasan di Pulau Batam selalu ada rulinya. Dinas Tata Kota Batam, Januari 2010 memperkirakan ada 40 ribu rumah liar yang berdiri di atas lahan milik pemerintah dan swasta. Rumah liar itu tak hanya berupa gubuk tapi juga rumah-rumah semi permanen dan permanen. Ruli-ruli itu berada di hampir semua kecamatan di Batam. Tahun 1990-an hingga tahun 2004, Otorita Batam menggusur rumah-rumah itu dan menggantinya dengan kavling siap bangun di kawasan Batuaji, Nongsa, Tiban, dan lainnya. Direktur Permukiman, Tenaga Kerja, dan Masalah Sosial Otorita Batam Fitrah Kamaruddin mengatakan, pemberian KSB adalah jalan keluar terbaik saat itu. ”Begini. Dulu, ruli itu jumlahnya 60 ribu lebih, dan itu yang kita berikan KSB. Dulu itu kita lakukan karena kita nggak bisa main usir begitu saja. Kita butuh mereka, mereka yang bangun Batam kok,” katanya. Pemberian KSB seluas 6X10 meter, justru menimbulkan masalah baru. Orang berlomba-lomba bikin ruli, agar suatu saat, jika digusur bisa dapat lahan resmi gratis dari pemerintah. Fitrah membenarkan kejadian itu. Tapi, kata dia, ”Itu kan amatan sepotong-sepotong dikutip media. Sekarang orang sudah tahu kalau kavling tinggal sedikit. Kalaupun ada yang masih bangun ruli, itu memang sekedar tempat sementara saja, dan mereka sadar suatu saat mereka akan digusur. Beberapa ruli yang didirikan penghuninya itu alasannya karena dekat tempat kerja.” Fitrah menegaskan, Otorita Batam tak lagi menyediakan lahan baru untuk KSB. ”Kita sekarang alihkan untuk pembangunan rusun (rumah susun). Kita arahkan mereka yang tinggal di ruli pindah ke rusun. Otorita sudah mengalokasikan 53 lokasi untuk pembangunan rusun,” katanya. Kepala Humas Pemko Batam Yusfa Hendri menambahkan, pemerintah membangun rumah susun sewa di sejumlah lokasi yang berdekatan dengan kawasan-kawasan industri dan ruli itu sendiri. Dengan begitu, warga yang tinggal di ruli diminta untuk pindah ke rumah susun dengan biaya sewa yang murah. Di kawasan ruli Kampung Aceh misalnya, di sana dibangun sejumlah twin blok rumah susun. ”Masyarakat Kampung Aceh kami imbau untuk tinggal di rumah susun tersebut,” kata Yusfa. Saat ini ada sekitar 48 twin blok rumah susun tipe 21, 27, dan 36 yang tersebar di Tanjungpiayu, Batam Centre, Mukakuning, Tanjunguncang, dan Batuampar. Yang saat ini sedang dibangun oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU dan akan dikelola Pemko Batam sebanyak 8 twin blok dan 1 twin blok dibangun oleh PT Jamsostek. Sementara sebanyak 18 twin blok akan dibangun oleh masing-masing Pemko Batam 2 twin blok, OB 2 twin blok, Menpera 4 twin blok, serta Jamsostek 10 twin blok. Juga ada rumah susun sederhana milik (Rusunami) yang saat ini sedang dalam proses pembangunan, sebanyak 34 twin blok yang akan dikelola Real Estate Indonesia (REI) dengan konsep pemukiman terpadu di kawasan Batam Centre. ”Targetnya, tahun 2025 ada 357 twin blok sampai dengan 400 twin blok di Batam ini,” ujarnya. *** KAVLING Senjulung di Kelurahan Kabil, Nongsa, adalah salah satu tempat relokasi bagi korban penggusuran dari berbagai wilayah di Batam. Sebelum jadi kavling, 13 tahun lalu, Senjulung hutan yang berbukit-bukit. Kini jadi perkampungan dengan ribuan rumah. Kavling Senjulung mulai dibuka tahun 1996. Dibangun Otorita Batam untuk warga korban gusuran dari Baloi, Tanjunguma, Pelita, Batubatam, dan Tanah Longsor. Suroso, 40, dan Wahidi, 50, adalah penghuni pertama Kavling Senjulung. Suroso pindah dari Baloi Cemara setelah digusur Agustus 1996. Suroso yang kini menjadi Ketua RW 10 berkisah, saat pindah ke Senjulung, di dekat rumahnya hanya ada dua rumah masing-masing milik Bobi dan Handoko. Suroso dan Handoko masih di rumahnya yang semula. Sementara Bobi pindah ke RW 11. ”Saat itu, di sekitar sini baru tiga rumah. Di sebelah juga ada, tapi rumah masih bisa dihitung jari,” kata Suroso mengenang. Karena baru dibuka, jalan masih setapak dan belum beraspal, sumber air dari sumur, dan listrik dari genset yang dibayar Rp10 per bulan. Beberapa bulan kemudian, rumah bertambah. Namun belum dibentuk blok, gang, dan RT/RW. Setahun kemudian baru ada penataan. Lantas tahun 1998, pemerintah membangun SD 007 Kabil (sekarang SD 009 Nongsa). Kemudian sekolah swasta menyusul. Jalan yang tadinya setapak akhirnya diperlebar dan diaspal tahun 1999. Angkutan kota Metrotrans pun melewati Kavling Senjulung. ”Dulu transportasi susah. Hanya ada Damri. Akhirnya warga satu per satu beli motor dan belakangan ada yang punya mobil,” ujar Suroso di rumahnya yang berlantai dua. Sarana bagi warga juga terus bertambah, listrik dari PLN Batam masuk ke rumah warga sekitar tahun 2000. Air dari ATB juga mulai dinikmati warga tahun 2000, namun masih berupa kios. ”Tahun 2006-2007 baru dapat meteran,” ungkap pria asal Jawa Timur ini. Bertambahnya sarana yang bisa nikmati warga beriringan dengan kian meningkatnya taraf hidup sebagian warga Kavling Senjulung. Ada yang bisa membeli motor bahkan mobil. Rumah-rumah beton berlantai dua kian banyak, meski jalan menuju rumah mereka masih jalan tanah berwarna merah. ”Ada program pemerintah untuk semenisasi jalan-jalan di sekitar rumah warga, tapi belum terealisasi hingga saat ini,” kata Suroso. Meski sudah ada rumah-rumah mewah dan bertingkat, itu tidak menggambarkan keadaan masyarakat keseluruhannya. Wahidi menambahkan, karena penghasilan yang rendah sebagian besar warga Kavling Senjulung membangun rumah secara bertahap. ”Jangan lihat rumah mewah itu. Di sini masih ada yang bangun rumah lima tahun baru terpasang jendelanya,” ungkap pria tiga anak ini. Keadaan umum warganya tak jauh beda dengan sarana pendukung lainnya yang lambat terealisasi. Drainase, tempat sampah, dan sekolah negeri yang tidak bisa lagi menampung anak-anak Kavling Senjulung belum terealisasi hingga sekarang. ”Bukannya kita tidak terima kasih telah diberikan lahan, tapi kami juga ingin diperhatikan,” kata Wahidi. (med/uma/bal) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar