Info Barelang

KUMPULAN BERITA BP BATAM YANG DIHIMPUN OLEH BIRO HUMAS, PROMOSI, DAN PROTOKOL

Kamis, 02 Februari 2012

Sani Tegaskan Impor Buah Tetap Jalan

BATAM-Gubernur Kepri yang juga Ketua Dewan Kawasan Free Trade Zone HM Sani menegaskan bahwa Batam bisa melakukan impor buah dan sayur lansung. Hal tersebut bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 88/Permentan/PP.340/12/2011, Nomor 89/Permentan/OT.140/12/2011, Nomor 90/Permentan/OT.140/12/2011 tentang impor holticultura.

"Saya tegaskan, Batam tetap impor buah dan sayur sesuai UU FTZ. Ini sudah saya putuskan, kita tidak perlu mempolemikan. Kita juga akan menyurati Kementan tentang hal ini, PP itu harus diubah," tegas Sani usai memberi pengarahan tentang PP no 10 tahun 2012 pengganti PP no 02 tahun 2009 kepada pengusaha yang berada di kawasan FTZ Batam, Bintan dan Karimun di Novotel Hotel Batam, Rabu (1/2).

Sani juga menegaskan bahwa impor akan diatur oleh BP Batam dan harus mendapat persetujuan dari DK FTZ. Sementara impor beras, gula, daging dan telur belum diizinkan dengan alasan untuk memberdayakan petani lokal, baik di Batam maupun daerah lain.

"Kita selesaikan satu-satu dulu. Daging, telur, beras dan gula ini masih banyak di dalam negeri. Yang tidak ada yang kita impor. Kita harus melindungi petani kita," ujar Sani.

Disisi lain, Ketua Apindo Kepri Ir Cahya mengatakan Batam tidak hanya membutuhkan impor buah dan sayur, tetapi juga komoditas lainnya. Karena itu, pengusaha meminta agar DK dan semua pihak memperjuangkan hal tersebut ke pemerintah pusat.

"Kita meminta semua produk konsumsi boleh masuk ke Batam dalam kuota yang terbatas. Untuk rembesan, itu harus menjadi tugas aparat keamanan," ujar Cahya.

Pengusaha Kecewa

Dalam pertemuan tersebut, pengusaha merasa kecewa dengan lahirnya PP 10 tahun 2012 sebagai pengganti PP 02 tahun 2009. Menurut Cahya, pengusaha sangat menginginkan agar PP 02 tahun 2009 yang mengatur tentang regulasi dicabut oleh pemerintah pusat. Kenyataanya, setelah diperjuangkan cukup lama, PP tersebut hanya diganti.

"Ibaratnya, dari 100 yang kita usulkan, dikabulkan hanya 5 saja. Masih banyak yang harus kami perjuangkan. Kami menginginkan agar DK memiliki keleluasaan dan kewenangan dalam mengatur FTZ. Baik tentang mekanisme perdagangan maupun sistem perekonomian," ujar Cahya.

Heri, salah satu pengusaha di Batam mengatakan, Dewan Kawasan (DK) pelabuhan bebas dan perdagangan bebas tidak mengatur tentang tata lakasananya, padahal sesuai dengan UU 44/2007 tentang kawasan FTZ yang mengatur masalah tersebut sudah jelas.

"Kalau kita bertahan pada PP ini maka tidak ada ada kejelasan dalam kepabenanan. Pasalnya, aturan yang terdapat didalamnya, tidak banyak mengalami perubahan. Sehingga apabila terjadi konflik 'kepentingan', maka kita akan melapor ke presiden. Sementara Batam tidak dianggap," terang Heri.

Bahkan Heri mengusulkan kalau UU FTZ yang berlaku di BBK sebaiknya dibedah bersama-sama dengan pengambil kebijakan dipusat. Bukan berarti tidak mensyukuri kalau PP 10/2012 tersebut telah disahkan.

"Kita mensyukuri PP tersebut sudah direvisi dan disahkan, tapi masih belum ada kejelasan tentang kepabeanan di kawsan FTZ," katanya.

Hal yang sama disampaikan Alfan Suheri, selaku Wakil Ketua Umum Kadin Kepri Bidang Organisasi dan Keanggotaan. Menurutnya, dalam mengatur kepabeanan dikawasan FTZ, seharusnya Bea Cukai (BC) tidak masuk kedalamnya.

"Substansinya BBK diluar dari kepabeanan, maka tidak ada bea masuk, dengan itu, dibentuklah DK dan BP. Oleh karenanya, seharusnya BC tidak masuk dikawasan FTZ, kalaupun masuk mestinya didalam pengawasan DK. Dengan tujuan untuk mengatur lalu lintas barang, bukan dari pusat lagi," katanya.

UU FTZ bisa terlaksana jika ada PP untuk pelaksanaannya, tapi regulsi yang ada tidak pernah sesuai dengan keinginan pengusaha. Sehingga PP sekarang tetap bermasalah.

Ketua Kadin Batam Nada Fasa Soraya mengusulkan agar dilakukan kajian terlebih dulu tentang isi PP tersebut agar diketahui mana yang bertentangan dengan UU FTZ. Karena itu ia menyarankan agar dibentuk tim untuk menkaji.

Menurut Nada, saat ini pengusaha seolah-olah dibenturkan dengan peraturan-peraturan yang ada. Sehingga menjadik konflik.

"PP yang saat ini secara kepabeanan benar, namun pada saat ingin dimasukkan kedalam sebuah daerah perdagangan bebas diperlukan sebuah jembatan penghubung kedua aturan ini. Hal ini yang belum ada. PP ini, terangnya, belum mengacu kepada UU FTZ namun mengacu kepada UU kepabeanan secara utuh, makanya tidak cocok diterapkan di Batam. Kita bukan tidak menerima PP ini, namun kita beranggapan bahawa ini tidak sesuai dengan napas FTZ, maka harus dikaji ulang," ujar Nada.

Sementara itu ketua DK FTZ, HM Sani menyampikan, pengusaha sebaiknya mensyukuri apa yang telah diraih. Dengan ditandatangani PP tersebut oleh presiden pada 9 januari yang lalu, maka sudah terdapat kemudahan untuk memasukkan barang import tanpa ada pemeriksaan fisik (kecuali barang konsumsi).

"Sejak diberlakukan FTZ, pertumbuhan ekonomi meningkat, hal ini bisa dilihat dengan prestasi seperti pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,22 persen pada 2011 yang lalu. Diatas dari pertumbuhan secara nasional. Walau diakui dalam perjalanannya tidak berjalan secara signifikan. Salah satu kendala adalah keluhan para pengusaha, pada PP 02/2009. Dan selama 2,5 tahun kita perjuangkan baru berhasil direvisi," kata Sani.

PP ini memang sudah lama dinanti. Jika mereview kembali , FTZ sudah direncanakan sejak tahun 2000. Saat itu, pemerintah mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Kemudian ditetapkan menjadi UU No 36 Tahun 2000. Dan UU tersebut diubah dengan Perppu No.1 Tahun 2007 dan ditetapkan kembali menjadi UU No 44 Tahun 2007. UU inilah menjadi titik tolak bermulanya semangat FTZ di BBK. Kemudian pembentukan Dewan Kawasan pada 2008.

Dengan PP pelaksananya No 02/2009. Karena ternyata master list memasukkan barang, maka tuntutan pengusaha untuk merevisi kembali PP tersebut. Baru setelah 2,5 tahun berjalan PP tersebut direvisi menjadi PP 10/2012.

Namun demikian, tambah Sani, masih membutuhkan petunjuk pelaksanaan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

"Tanpa PMK, PP ini tidak dapat berlaku efektif. ada sebanyak 20 peraturan PMK yang akan ditetapkan hingga 9 maret mendatang, yang menagatur tentang tatacara pembayaran pajak dan pasal-pasal lain yang mengatur tatacara kepabeanan," jelas Sani.

Saat wawancara dengan wartawan, Sani mengungkapkan rasa kecewanya. Pasalnya, sebelum PP yang baru direvisi, dari PP 02/2009 menjadi PP 10/2012 belum ditandatangani, para pangusaha adem ayem saja. Namun ketika disahkan, bahkan ada suara-suara untuk menolak dari PP tersebut.

"Kalau memang PP ini tidak mau diterima, terserah para pengusaha saja. Mau ditolak atau bagaimana caranya terserah. Yang jelas ini sudah ditandatangani, dan akan berlaku 9 Maret mendatang," katanya dengan nada melemah.

Katanya, perubahan PP tersebut melalui proses yang sangat panjang. Butuh waktu 2,5 tahun untuk memperjuangkannya. Dulu, sebelum adanya PP tersebut banyak pengusaha yang mendesak untuk segera dirubah. Namun setelah direvisi menjadi polemik sendiri.

Memang diakui kalau revisi tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Dan tidak sesuai dengan keinginan para pengusaha. Tapi paling tidak, harus disyukuri.

Wakil Gubernur Kepri Soeryo Respationo meminta kepada pengusaha agar Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 2012 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas agar tidak dilihat pasal perpasal.

"Kalau dipahami secara pasal perpasal saja maka akan rancu, harus dilihat secara menyeluruh sehingga tidak ada kesalahan persepsi," kata Seorya menanggapi banyaknya keluhan dari pengusaha tentang tidak ada perubahan dalam revisi PP 10 tahun 2012 tersebut.

"Jika kepedepan memang masih ada kekurangan pada aturan tersebut, kita akan mengajukan judicial review. Apalagi aturan sekarang tidak ada batasan waktu untuk melaksanakan judical tersebut. Kapan pun, bukan hanya sampai pada awal pelaksanaannya 9 maret mendatang, tapi jika ada permasalahan, kapanpun bisa dilakukan judical tersebut," terangnya.

Sekretaris DK FTZ Jon Arizal juga mengatakan hal senada. Menurut Jon, PP no 10 tahun 2012 seharusnya tidak ditanggapi dengan pesimis, karena PP tersebut sudah mengakomodir keperluan pengusaha, meskipun tidak semua yang diusulkan selama ini terakomodir di dalamnya.

"Ada pertimbangan-pertimbangan instansi terkait tentang teknis impor produk. Tujuannya untuk melindungi masyarakat kita. Tinggal bagaimana kita di daerah untuk menjalankannya. Untuk regulasi sesungguhnya sudah dijelaskan dalam PP tersebut pasal 3, bahwa jumlah dan izin barang wajib hukumnya dikeluarkan BP Batam dengan persetujuan DK. Kini tinggal bagaimana pelaksanaanya oleh BP dan harus berkoordinasi dengan DK," ujar Jon.

Jon menambahkan, tugas dan kewenangan DK adalah membuat kebijaksanaan, mengatur, mengawasi dan membina sesuai UU FTZ. Bahkan dalam UU no 44 tahun 2007 sangat jelas bahwa BP Batam dapat membuat aturan lalu lintas barang dengan disetujui oleh DK.

"Tidak perlu ribut-ribut, harusnya kita jalan dengan berpedoman pada UU. BP sudah diberi amanat untuk membuat peraturan, lakukan dan kita jalan," ujar Jon mengakhiri.(cw56/cw57/pti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar