JAKARTA: Pemerintah tampaknya akan meningkatkan target penerimaan bea
dan cukai dalam revisi APBN 2012 untuk mendongkrak penerimaan negara,
seiring capaiannya yang melebihi target pada 2011 lalu
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono
menuturkan penerimaan yang dipungut DJBC sepanjang 2011 mencapai
Rp284,64 triliun. Jumlah ini terdiri dari bea masuk Rp25,23 triliun, bea
keluar Rp28,85 triliun, cukai Rp77,0 triliun, dan pajak dalam rangka
impor (PDRI) Rp153,54 triliun.
"PDRI ini disetorkan ke Direktorat Jenderal Pajak, jadi penerimaan bea
dan cukai saja itu Rp131,1 triliun dan yang paling besar dari cukai,"
ujarnya dalam acara Coffee Meeting dengan media hari ini.
Dengan bergulirnya perjanjian perdagangan bebas, lanjut Agung, banyak
tarif bea masuk yang sudah 0%, tapi target revenue bea cukai naik terus.
Padahal penerimaan DJBC sangat bergantung pada faktor eksternal.
"Target dalam APBN-P 2012 ini pasti naik lagi. Padahal revenue itu di
luar kontrol DJBC karena tergantung pada aktivitas impor-ekspor, tapi
malah menjadi target utama. Kami ini tidak seperti Ditjen Pajak yang
bisa ekstensifikasi, kalau impor menurun ya penerimaan juga turun,"
tuturnya.
Dampak FTA
Agung mengakui perjanjian perdagangan bebas yang diteken pemerintah
berdampak pada penurunan penerimaan bea masuk impor. Free trade
agreement juga berpotensi mendorong membanjirnya produk impor di pasar
domestik.
"Misalnya FTA Asean-China, kita tahu China itu cost of production-nya
lebih rendah, dan masuk ke kita dengan harga yang murah karena tidak
dikenai bea masuk. Kalau produk impor China membanjir, ya memang benar,"
akunya.
Dengan diimplementasikannya perjanjian perdagangan bebas, lanjut Agung,
tarif barrier tidak lagi dimungkinkan sebagai proteksi terhadap impor.
Namun, pemerintah mengupayakan tarif non-barrier berupa standarisasi
produk, baik yang berlaku untuk impor maupun produksi dalam negeri.
"Industri dalam negeri harus bisa memenuhi SNI, jadi produk kita bisa
berdaya saing. Kalau tidak produk impor itu bukan ilegal tapi menang
bersaing," ungkapnya.
Saat ini Indonesia terikat kerja sama FTA dengan Asean, China, Korea
Selatan, India. Namun, Agung mengakui pihaknya cenderung menahan
keinginan pemerintah menambah daftar panjang perjanjian perdagangan
bebas. FTA Australia, Selandia Baru, dan Asean, masih ditahan padahal
inisiatifnya sudah dikaji sejak 2011 lalu.
Dirjen Bea dan Cukai ini juga menyoroti pemberlakuan free trade zone
sebagai sarang kebocoran barang konsumsi ilegal bebas bea masuk.
"FTZ Sabang, Batam, dan Bintan itu pintu perembesan barang-barang
konsumsi, karena pelabuhan keluarnya banyak sekali dan sulit dipantau,"
kata Agung. (sut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar