(sumber Koran Jakarta) 14 November 2011
Investasi Daerah| Momentum Banjir Thailand Tak Dimanfaatkan Secara Efektif
Sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau free
trade zone dengan sejumlah fasilitas dan insentifnya, Batam mulai
diragukan. Momentum banjir di Thailand terbukti tidak berdampak pada
investasi asing.
Bloomberg mengungkap banjir yang terjadi di Thailand menyebabkan kerugian materi sekitar 140 miliar baht atau setara dengan 4,6 miliar dollar AS serta rusaknya fasilitas milik produsen atau sekitar 891 pabrik di tujuh kawasan industri. Berdasarkan laporan Thai Industrial Estate and Strategic Partners Association, terdapat 460.000 pekerja yang menganggur akibat berhenti operasinya ratusan pabrik dari tujuh kawasan industri itu akibat banjir.
Tidak hanya itu, wilayah Lat Krabang, 10 kilometer dari Bandara Suvarnabhumi, dengan 231 pabrik yang mempekerjakan 48.000 pekerja juga berhenti operasi, termasuk pabrik Isuzu Motors Ltd dan Cadbury Plc. Dari ratusan perusahaan asing yang merugi akibat banjir, perusahaan Jepang paling menderita dengan klaim asuransi terbesar sekitar 190 miliar yen atau setara dengan 2,5 miliar dollar AS untuk mengganti kerusakan infrastruktur pabrik tersebut.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Abidin Hasibuan yang juga Direktur Utama PT Satnusa Persada Tbk mencatat ada dua momentum yang tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah daerah dan otoritas di Batam untuk menarik investasi, yakni bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang serta banjir di Thailand. Bencana tersebut menyebabkan ribuan perusahaan asing di Jepang dan Thailand mencari tempat investasi baru yang menarik, nyaman, aman, serta menguntungkan karena pabriknya rusak.
Sayangnya, ribuan perusahaan tersebut tidak tertarik memindahkan pabriknya ke Batam. "Kita tidak berharap musibah itu terjadi. Kita juga prihatin, tetapi itu harus kita manfaatkan. Ada tujuh kawasan industri di Thailand yang terendam banjir, 45.000 perusahaan yang tidak bisa lagi beroperasi dengan nilai investasi 19 miliar dollar AS, ada 700.000 tenaga kerja yang terancam (kehilangan pekerjaan di sana). Peluang ini harus kita tangkap, bagaimana agar perusahaan-perusahaan itu ada yang relokasi ke Batam," kata Abidin, Kamis (10/11).
Menurut Abidin, perusahaan yang infrastrukturnya rusak akibat bencana itu banyak yang memilih Vietnam, China, serta Malaysia untuk lokasi pabriknya yang baru sehingga kawasan industri di negara tersebut maju pesat, seperti yang terjadi pada kawasan industri Iskandarsyah di Johor Bahru, Malaysia.
Kawasan industri Iskandarsyah yang dibuka sama waktunya dengan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) tahun 2006, saat ini sudah memiliki ribuan perusahaan yang beroperasi dengan total investasi sekitar 770 miliar ringgit Malaysia. Dari jumlah itu, 40 miliar ringgit Malaysia berasal dari investasi Singapura. Semakin Merosot Kondisi kawasan bisnis Malaysia itu, kata Abidin jauh berbeda dengan Batam yang justru stagnan, bahkan menyusut pertumbuhan investasinya.
Sebagai contoh, Kawasan Industri Batamindo (KIB) Mukakuning yang saat ini hampir 30 persen kosong gudangnya. Padahal, KIB dibangun oleh Economic Development Board (EDB) Singapura bekerja sama dengan kelompok usaha besar Indonesia yang semestinya lebih mudah menjaring investor dari Singapura. Abidin menengarai ada beberapa faktor yang menyebabkan investor asing, termasuk asal Singapura, tidak begitu tertarik atau bahkan takut berinvestasi di Batam.
Faktor tersebut antara lain birokrasi yang berbelit-belit, masih adanya pungutan liar, banyaknya aksi unjuk rasa yang menakut-nakuti PMA, dan adanya tindakan sejumlah pejabat dan anggota Dewan yang melakukan sidak yang membuat investor tidak tenang.
Ketua Kadin Batam Nada Faza Soraya mengatakan meski minat investor asing untuk menanamkan modalnya relatif tinggi, realisasinya masih minim. Itu terlihat dari belum direalisasikannya rencana investasi itu sehingga pertumbuhan industri di Batam masih lambat. Nada menyebut salah salah satu faktor penghambatnya adalah tidak adanya lahan.
Ironisnya, banyak lahan di Batam telantar karena tidak diolah atau belum dibangun oleh investor yang telah mengantongi izin kepemilikan dari BP Batam. n gus/E-12
Bloomberg mengungkap banjir yang terjadi di Thailand menyebabkan kerugian materi sekitar 140 miliar baht atau setara dengan 4,6 miliar dollar AS serta rusaknya fasilitas milik produsen atau sekitar 891 pabrik di tujuh kawasan industri. Berdasarkan laporan Thai Industrial Estate and Strategic Partners Association, terdapat 460.000 pekerja yang menganggur akibat berhenti operasinya ratusan pabrik dari tujuh kawasan industri itu akibat banjir.
Tidak hanya itu, wilayah Lat Krabang, 10 kilometer dari Bandara Suvarnabhumi, dengan 231 pabrik yang mempekerjakan 48.000 pekerja juga berhenti operasi, termasuk pabrik Isuzu Motors Ltd dan Cadbury Plc. Dari ratusan perusahaan asing yang merugi akibat banjir, perusahaan Jepang paling menderita dengan klaim asuransi terbesar sekitar 190 miliar yen atau setara dengan 2,5 miliar dollar AS untuk mengganti kerusakan infrastruktur pabrik tersebut.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri Abidin Hasibuan yang juga Direktur Utama PT Satnusa Persada Tbk mencatat ada dua momentum yang tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah daerah dan otoritas di Batam untuk menarik investasi, yakni bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang serta banjir di Thailand. Bencana tersebut menyebabkan ribuan perusahaan asing di Jepang dan Thailand mencari tempat investasi baru yang menarik, nyaman, aman, serta menguntungkan karena pabriknya rusak.
Sayangnya, ribuan perusahaan tersebut tidak tertarik memindahkan pabriknya ke Batam. "Kita tidak berharap musibah itu terjadi. Kita juga prihatin, tetapi itu harus kita manfaatkan. Ada tujuh kawasan industri di Thailand yang terendam banjir, 45.000 perusahaan yang tidak bisa lagi beroperasi dengan nilai investasi 19 miliar dollar AS, ada 700.000 tenaga kerja yang terancam (kehilangan pekerjaan di sana). Peluang ini harus kita tangkap, bagaimana agar perusahaan-perusahaan itu ada yang relokasi ke Batam," kata Abidin, Kamis (10/11).
Menurut Abidin, perusahaan yang infrastrukturnya rusak akibat bencana itu banyak yang memilih Vietnam, China, serta Malaysia untuk lokasi pabriknya yang baru sehingga kawasan industri di negara tersebut maju pesat, seperti yang terjadi pada kawasan industri Iskandarsyah di Johor Bahru, Malaysia.
Kawasan industri Iskandarsyah yang dibuka sama waktunya dengan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) tahun 2006, saat ini sudah memiliki ribuan perusahaan yang beroperasi dengan total investasi sekitar 770 miliar ringgit Malaysia. Dari jumlah itu, 40 miliar ringgit Malaysia berasal dari investasi Singapura. Semakin Merosot Kondisi kawasan bisnis Malaysia itu, kata Abidin jauh berbeda dengan Batam yang justru stagnan, bahkan menyusut pertumbuhan investasinya.
Sebagai contoh, Kawasan Industri Batamindo (KIB) Mukakuning yang saat ini hampir 30 persen kosong gudangnya. Padahal, KIB dibangun oleh Economic Development Board (EDB) Singapura bekerja sama dengan kelompok usaha besar Indonesia yang semestinya lebih mudah menjaring investor dari Singapura. Abidin menengarai ada beberapa faktor yang menyebabkan investor asing, termasuk asal Singapura, tidak begitu tertarik atau bahkan takut berinvestasi di Batam.
Faktor tersebut antara lain birokrasi yang berbelit-belit, masih adanya pungutan liar, banyaknya aksi unjuk rasa yang menakut-nakuti PMA, dan adanya tindakan sejumlah pejabat dan anggota Dewan yang melakukan sidak yang membuat investor tidak tenang.
Ketua Kadin Batam Nada Faza Soraya mengatakan meski minat investor asing untuk menanamkan modalnya relatif tinggi, realisasinya masih minim. Itu terlihat dari belum direalisasikannya rencana investasi itu sehingga pertumbuhan industri di Batam masih lambat. Nada menyebut salah salah satu faktor penghambatnya adalah tidak adanya lahan.
Ironisnya, banyak lahan di Batam telantar karena tidak diolah atau belum dibangun oleh investor yang telah mengantongi izin kepemilikan dari BP Batam. n gus/E-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar